THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 18 Agustus 2009

IT CAN'T BE prolog

Pairing : Akanishi Jin X Kamenashi Kazuya (our lovely AKame <3)
Author : The Three Musketters (Nachan + NPhe + Rie)
Rating : NC-17 for chapter 4, 6, 7 ^^

PROLOG
Kamenashi menjatuhkan tubuhnya di sebuah sofa di sudut café tempatnya bekerja part-time. Dia menghembuskan napasnya dalam-dalam, menenangkan dirinya. Beberapa saat lalu dia lagi-lagi bertengkar dengan ayahnya, dan itu cukup menguras tenaganya. Dia mulai bosan dengan setiap larangan juga tekanan yang diberikan ayahnya. Itu hanya membuatnya semakin ingin membangkang.
“Kenapa? Bertengkar lagi?”tanya Koki, sahabat sekaligus partner kerjanya. Laki-laki berkepala nyaris botak itu melewatinya dan melap meja-meja disekitar, ini sudah pukul 3 sore dan café akan segera buka. Kame memandang Koki, mengikuti setiap gerakannya tanpa mengatakan apapun.
“Hah? Apa?” Koki menyadari pandangan Kame.
“Kenapa kau beritahu ayahku kalau aku bekerja disini?” Kame malah balik bertanya tak memperdulikan pertanyaan Koki.
“…aku tidak…” Koki mencoba mengelak, tapi Kame dan tatapannya sudah sangat menyudutkan Koki. “Aku hanya tak mau dia berpikir kau bekerja di tempat yang salah” kata Koki akhirnya.
“Biarkan dia berpikir sesukanya, aku tak perduli! Bahkan itu lebih baik, karena dengan begitu dia tak akan bersikeras menjadikanku penggantinya di perusahaan” kata Kame dengan nada suara yang agak meninggi.
“Apa salahnya melanjutkan perusahaan ayahmu? Bukankah kau sendiripun tidak tahu apa yang ingin kau lakukan…”
“Urusai! Sudah berapa kali aku bilang, kau tak perlu mencampuri urusanku soal ini!” bentak Kame tiba-tiba, dia mengambil tasnya lalu beranjak dari sana menuju ruangan staff di belakang café. Koki hanya menghela napasnya, dia sudah terbiasa dengan kemarahan Kame jika menyangkut hal ini. Kame memang sensitive kalau harus membicarakan tentang hubungan dia dan ayahnya. Walaupun sebenarnya dia orang yang jarang sekali marah. Dia memang mengatakan kalau Koki tak perlu ikut campur, tapi sebenarnya Koki tahu sekali Kame sangat membutuhkannya. Nanti juga dia akan datang lagi padanya dan menceritakan semua yang mengganjal di hatinya. Koki tersenyum sendiri, sikap antik sahabatnya itu sangat lucu menurutnya. Dia menyukai Kame yang seperti itu, Kame yang apa adanya.
***
“Kamenashi Kazuya…” Kame terdiam di tempatnya ketika dia mendengar namanya dipanggil. Dadanya agak berdebar seperti biasa, setiap mendengar suara itu. Dia hapal suara itu, suara senpai, teman sekaligus kaki tangan ayahnya. Sejak Kame memutuskan untuk melanggar semua peraturan ayahnya dan tak menuruti keinginannya untuk menjadi penerus Kamenasi Corporation, dia sudah tak pernah berurusan lagi dengan orang ini. Kame mulai menganggap Akanishi Jin sama seperti ayahnya, orang yang berusaha memaksanya untuk berkuliah dan mengenalkannya pada dunia pekerjaan ayahnya yang memuakkan menurut Kame. Secara perlahan, pertemanan mereka pun menjadi korbannya. Padahal dulu, Kame ingat sekali dia sangat senang mengikuti Jin kemanapun, dan dia diam-diam mengagumi pria yang lebih tua dua tahun darinya itu.
“Apa maumu Akanishi?” sahut Kame dingin, tanpa membalikkan badannya sedikitpun.
“Hah? Kau berbelanja?” tanya Jin malah balik bertanya. Dia takjub melihat anak bosnya membawa-bawa dua kantong belanjaan berisi sayuran dan lainnya untuk keperluan membuka café. Kame membalikkan badannya dengan kesal, dari wajahnya terlihat kalau dia sangat terganggu.
“Memangnya kenapa kalau aku berbelanja??”
“Kenapa anak orang kaya sepertimu harus bekerja di tempat seperti itu?!”
“Bukan urusanmu! Aku mau bekerja dimanapun terserah aku!” sahut Kame agak kasar. Dia membalikkan lagi badannya dan berjalan meninggalkan Jin. Tapi pria itu cepat mengejarnya, mensejajarkan langkahnya dengan Kame.
“Aku pikir kau benar-benar bekerja di sebuah club malam, tapi ternyata…”
“Aku juga akan bekerja disana!”
“Kau tidak boleh melakukannya! Kau seharusnya berkuliah, seperti yang diinginkan Kamenashi-san…”
“Kau ini berisik sekali!” Kame berhenti dengan tiba-tiba dan membentak orang disampingnya itu. Mereka saling memandang beberapa detik. Kame sudah dua kali membentak orang hari ini, dan keduanya adalah orang yang bisa dibilang dekat dengannya. Tapi dia memang sedang sangat kesal dan dia tak mengerti kenapa orang-orang ini tidak berhenti saja mencampuri kehidupannya, dan membiarkan dia untuk memilih apapun yang dia sukai.
“Kita sudah membicarakan ini berkali-kali bukan? Aku sudah bilang, aku tak mau menggantikan ayah” suara Kame mulai melunak.
“Tapi kenapa? Kau lebih memilih untuk bekerja di tempat seperti itu?”
“Lebih baik daripada aku bekerja di club malam, bukan?”
“Kau seharusnya berkuliah dengan benar…”
Kame menghela napasnya dalam-dalam. “Aku bosan membahas ini” katanya, lalu mulai berjalan lagi, Jin kembali mengikutinya.
“Kau tidak rindu padaku?” tanya Jin tiba-tiba, membuat Kame menghentikan langkahnya. Memang sudah 3 tahun lamanya sejak Jin memutuskan untuk melanjutkan berkuliah di Los Angeles, mereka pun jarang bertemu lagi. Ditambah kebiasaan Kame yang hanya semalam dua malam menginap di rumahnya. Sepanjang hari dia menghabiskan waktunya di café dan menumpang di apartement Koki. Dulu tempat ini tak tercium oleh ayahnya, tapi sekarang beliau sudah tahu, jadi sudah pasti kalau Jin akan mencarinya juga kemari. Selama ini mereka hanya berhubungan lewat telepon, Kame tak mau mengambil resiko dengan memberitahu dimana dia berada pada Jin. Temannya itu pasti akan memberitahukannya pada ayahnya.
“Kenapa aku harus rindu padamu? Baka” gumam Kame pelan, tapi cukup terdengar di telinga Jin. Pria tampan itu tersenyum lalu berdiri di hadapan Kame, memandangnya. Kame mencoba mengalihkan pandangannya kemanapun asal tidak ke orang di hadapannya itu.
“Ne, jangan pura-pura…aku tahu kau ingin sekali melihatku” kata Jin sedikit menggodanya. Kame terus mengacuhkannya.
“Kamenashi Kazuya???” Jin memanggilnya, dan Kame mengakui hatinya agak berdebar dengan panggilan itu. Dia tak mengerti kenapa Jin suka sekali memanggil namanya selengkap itu. Kame terus bertahan dengan sikap acuhnya yang dia tahu itu sangat kekanakan. Tapi dia tak bisa mengontrol dirinya setiap di dekat Jin, dia akan berubah jadi seperti anak berusia belasan tahun lagi yang selalu dijaga pria itu. Jin selalu bisa membuat dia bersikap apa adanya , membuat dia melakukan hal yang tak pernah dia lakukan di hadapan orang lain.
Perlahan, Kame merasakan tangan Jin menyentuh dagunya. Membuat dia terpaksa menolehkan wajahnya, melihat langsung pada wajah tampan di hadapannya itu. Jin tersenyum khas, senyum yang seperti mengejeknya, tapi selalu terlihat seksi dan Kame tahu entah sudah berapa banyak wanita yang terpikat dengan senyuman itu. Karena dirinya bukan wanita, Kame tentu saja berusaha menjamin dirinya sendiri kalau senyuman itu sama sekali tak memberikan efek apapun padanya.
“Sudah puas melihatku?” tanya Jin lagi setelah beberapa menit mereka hanya saling memandang, menikmati keindahan wajah masing-masing. Kame seketika tersadar kalau dari tadi dia jadi terus mengamati Jin, dia menepis tangan Jin di dagunya dan cepat mengalihkan pandangannya lagi.
“Sebenarnya apa maumu? Sebaiknya kau cepat pergi dari sini!” katanya ketus seperti di awal mereka bertemu tadi. “Dan jangan coba-coba menggangguku, aku sedang bekerja disini. Aku tak mau dipecat hanya karena kelakuan bodohmu!” ancamnya pula sambil terus berjalan, dan kali ini Jin tak mengikutinya. Dia hanya tersenyum melihat anak bosnya yang keras kepala itu. Dia memang tak mau mengganggunya, tapi dia tak akan melepaskan Kame sedikitpun dari pengawasannya, bukan karena ayahnya, tapi karena Jin peduli. Dia sangat peduli pada laki-laki itu.
***

0 komentar: