THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 18 Agustus 2009

IT CAN'T BE- Chapter 4

Tittle : IT CAN’T BE
Pairing : Akanishi Jin X Kamenashi Kazuya (our lovely AKame <3)
Author : The Three Musketters (Nachan + NPhe + Rie)
Rating : NC-17 for chapter 4, 6, 7 ^^

Chapter 4

“Kame-chan…” Koki cukup kaget melihat Kame datang ke café sore itu. Wajah Kame terlihat kelelahan, akibat berhujan-hujanan kemarin juga karena emosinya yang meledak-ledak. Koki bisa mengira kalau dia pasti kurang tidur. “Dimana kau semalam? Di tempat Akanishi?”
Kame menggelengkan kepalanya “Aku menyewa kamar di hotel”
Koki diam, dia agak heran kenapa Kame malah menyewa kamar di hotel? Apa dia dan Akanishi juga bermasalah??
Kame tak banyak bicara lagi, dia cepat berjalan melewati Koki menuju ruang staff. “Aku pikir kau masih marah padaku…” kata Koki.
“Memang. Aku sudah bilang kan kalau aku kecewa padamu” sahut Kame datar. Dia mengganti pakaiannya dengan seragam café.
“Lalu kenapa…??”
“Kau mau mengataiku tidak tahu diri, terserah… tapi aku masih membutuhkan pekerjaan”
“Aku tidak berpikir begitu, aku hanya kaget… aku pikir kau tak mau berteman denganku lagi”
Kame melihat pada Koki, “Kita sudah cukup lama berteman. Aku memang tak bisa menerima kelakuanmu, tapi aku rasa aku tidak peduli”
“Kame-chan…”
“Aku hanya berharap kau tak melakukan ini lagi padaku. Mungkin lebih baik kalau mulai sekarang, kita batasi hubungan hanya sebagai bos dan pegawai”
“A-apa maksudmu??” Koki memandang Kame agak shock.
“Disini aku hanya pegawai, bukan? Akan lebih baik kalau terus seperti itu, jadi kau tak perlu mencampuri urusanku, begitupun aku padamu”
“Ta-tapi…tadi kau bilang kalau kita sudah lama berteman…”
“Aku tahu. Kita memang berteman, tapi kau bisa kan tak usah berhubungan lagi dengan ayahku? Anggap dirimu tidak berhak untuk mencampuri urusanku soal itu”
“Gomen… aku memang salah telah menerima imbalan yang diberikan ayahmu. Aku hanya tak enak untuk menolaknya” Koki tiba-tiba membungkukkan badannya, menunjukkan penyesalannya. Kame jadi agak tergugah, yea mungkin dia terlalu cepat menuduh kalau Koki sudah seolah-olah menjual info tentang dirinya pada ayahnya.
“It’s okay” kata Kame akhirnya, Koki mengangkat wajahnya dan melihat pada Kame. Laki-laki tampan yang dia sukai itu tersenyum, walau tak sepenuh hati seperti biasanya, tapi setidaknya Koki tahu kalau Kame sudah tak marah padanya.

Sudah pukul 9 malam, saatnya mereka untuk menutup café. Tapi Kame merasa ada yang kurang. Dia tak melihat Jin seharian itu. Jin yang biasanya tak pernah absent menemuinya di sana, tiba-tiba seperti menghilang ditelan bumi. Kame mengeluh pelan, pertemuan terakhir mereka memang tidak enak. Dia penyebabnya. Dia sangat kesal waktu itu, kalap dan rasanya ingin menjadikan semua orang jadi sasaran kemarahannya. Telinganya pun seperti sudah tertutup untuk mendengar pendapat orang lain. Jadi wajar saja kalau sekarang Jin tidak datang, dia pasti tak ingin bertemu Kame.
“Kame-chan, ikou??” kata Koki menyentakkan Kame dari pikirannya. Kame mengikuti Koki keluar dari café tanpa banyak berkata. “Kenapa?” tanya Koki yang menyadari Kame jadi terdiam seperti itu.
“Koki, apa Akanishi datang kemari tadi pagi??” tanya Kame akhirnya.
“Hah? Tidak” jawab Koki.
“Sokka…”
“Kalian ada masalah??”
Kame menggelengkan kepalanya, “Bukan masalah besar” elaknya pula. Koki memutuskan untuk tak banyak bertanya. Mereka pun pulang menuju flat Koki. Semalaman itu Kame jadi tidak bisa tidur. Dia memandangi ponselnya. Setelah pertengkaran kemarin rupanya Jin memang tidak berniat mencarinya, dia mungkin balik marah padanya, dan dia juga rasanya tak mau menghubungi lebih dulu, malu. Kame mengeluh, dan menyimpan ponselnya di meja dekat sofa dia biasa tidur. Baru saja dia hendak memejamkan matanya, ponselnya bergetar disana. Ada yang meneleponnya.
Kame melihat nama Jin muncul di layar ponselnya, Kame langsung duduk dan menjawabnya perlahan.
“Moshi-moshi”
“Kazuya…” suara Jin terdengar tidak seperti biasanya. Dia terdengar kurang sehat. Suaranya serak dan tersendat-sendat.
“Ji-Jin??
“Aku sakit” kata Jin akhirnya. “Badanku rasanya panas, tapi aku kedinginan. Aku hampir tidak bisa bangun dari ranjangku”
“Ah, aku… aku akan kesana sekarang!”
“Eh?? Tapi ini sudah lewat tengah malam, Kazu…aku hanya ingin memberitahumu…”
“Sudahlah, jangan kemana-mana!” Kame langsung memotongnya, dia mematikan ponsel, dan tanpa banyak berpikir lagi, dia bangun, memakai jaketnya, mengambil ponselnya dan tidak lupa membawa spare key yang diberikan Jin kemarin dulu.
Beberapa lama kemudian Kame telah berada di depan pintu apartement Jin, dia langsung membukanya dan menguncinya dari dalam. Tak ada yang berubah sejak sehari yang lalu Kame kemari di hari berhujan deras itu. Handuk yang diberikan Jin untuk mengeringkan rambutnya masih tergeletak di sofa, cangkir tehnya yang masih setengah terisi juga masi ada di atas meja. Kame menggelengkan kepalanya. Dia cepat menuju kamar dan dilihatnya Jin sudah berbaring tak berdaya disana, masih menggunakan bajunya yang waktu itu. Kemeja kerjanya, lengkap dengan celana dan dasi yang sudah dilepas ikatannya. Pantas saja dia demam, dia tidak mengganti pakaiannya yang saat itu sudah sangat basah kuyup.
“Jin?”
“Kazuya… kau benar-benar datang” Jin yang memang terbangun langsung mencoba bangun dari posisi tidurnya, tapi Kame menahannya.
“Kenapa kau masih pakai baju ini?” katanya sambil reflek menyentuh pakaian Jin. Kemeja itu memang sudah tak basah, tapi Kame yakin itu sangat tidak nyaman dipakai. Dia membuka baju Jin tanpa banyak berkata lagi, tangannya membuka kancing kemeja Jin satu persatu setelah melepas dasinya.
“Aku tak sadarkan diri setelah kau pergi waktu itu. Rasanya kepalaku sudah berat” jelas Jin yang tidak protes ketika Kame melepas kemejanya.
“Lalu sekarang? Apa masih tidak enak?” tanya Kame lagi dan mulai membuka celana panjang Jin.
“Sedikit pegal-pegal. Aku tertidur sehari semalam, dan tidak menyadarinya…” kata Jin sambil tertawa kecil. “Eh, kau mau apa?!” tanyanya pula ketika sadar tangan Kame sudah membuka resleting celananya.
“Kau harus ganti semua pakaian yang dulu terkena air hujan” kata Kame yang tampak tak peduli dan terus membuka semua pakaian Jin, hingga dia nyaris telanjang hanya dengan boxer nya. Jin cepat menutupi tubuhnya dengan selimut. Kame mengulurkan tangannya dan memegang kening Jin, memastikan suhunya normal, dibandingkan dengan keningnya. Jin tersenyum diam-diam memperhatikan yang dilakukan Kame. Dia ingat kalau beberapa jam yang lalu Kame begitu marah padanya, sampai Jin mengira mungkin dia harus menerima resiko kalau Kame sampai tak mau marah padanya selamanya dan tak bisa dia dekati lagi. Tapi rupanya tidak, sekarang dia senang sekali karena Kame di hadapannya ini nampak sangat khawatir dengan keadaannya. Itu berarti Kame memang masih peduli padanya dan tak mungkin lama-lama marah padanya.
“Begini lebih mudah…” kata Jin sambil menyingkirkan tangan Kame dari keningnya, memegangnya dan menarik Kame agar lebih mendekat padanya, lalu membuat kening mereka beradu. Kame agak terhenyak dan tampak berusaha melepaskan tangannya dari pegangan Jin, tapi tangan Jin lebih kuat dan membuatnya tak bisa mengelak. Lagipula mereka memang tak melakukan apapun. Jin benar-benar hanya membantunya agar lebih mudah mendeteksi suhu tubuhnya. Kame mendadak lupa untuk mengira-ngira suhu tubuh Jin, karena tiba-tiba tangan kiri Jin telah berada di sisi kanan wajahnya, membelai pipinya lembut. Mata mereka pun saling bertemu dengan jarak sedekat itu.
“Bagaimana?” tanya Jin agak berbisik, nafas yang keluar dari bibirnya terasa mengusap bibir Kame dan senyum nakal Jin membuat Kame seperti tersadar. Dia cepat menjauhkan wajah mereka dan melihat ke arah lain, menghilangkan rona di pipinya. Kame bisa mengira kalau sekarang wajahnya pasti memerah. “Ha? Apa suhu ku normal?” Jin terus pura-pura membahas suhu tubuhnya, padahal dalam hatinya dia sangat menikmati menggodai Kame seperti ini. Wajahnya yang memerah karena malu, benar-benar pemandangan imut dan Jin menyukainya.
“Kazuya?” Jin bertanya lagi, karena Kame tak juga menyahut.
“Ah… normal. Kau sudah baik-baik saja” kata Kame yang sudah bisa menguasai dirinya. Dia beranjak dari ranjang Jin sambil membawa baju Jin. “Kau sebaiknya cepat mengganti pakaianmu, ehm… pakaian dalammu juga maksudku”
“Kau mau mengambilkannya juga?” kata Jin sambil bersiap membuka pakaian dalamnya di dalam selimut. Tapi Kame cepat pergi dari sana.
“Kau buka di kamar mandi saja” kata Kame sambil agak berteriak karena sudah diluar kamar Jin. Dia ke dapur dan menyimpan pakaian Jin tadi di mesin cuci. Jin hanya tersenyum sendiri, lagi-lagi dia sukses menggodai Kame. Padahal temannya yang lebih muda itu sudah sengaja datang di pagi buta seperti ini untuk merawatnya.
“Aku lapar” kata Jin setelah selesai mengganti pakaiannya dan dia menghampiri Kame di dapur. “Whoa, kau sedang membuat makanan rupanya” Jin nyaris berteriak senang, Kame meliriknya sekilas. Dia terlalu sehat untuk orang yang baru sembuh dari demam dan sudah terkapar sehari semalam, pikir Kame.
“Yeah, tunggu sebentar lagi” kata Kame. Dia membuat sphagetti karena hanya itu yang dia temukan di lemari es Jin. Seperti biasa makanan Italy, yang Kame pun tak mengerti kenapa Jin sangat menyukainya.
“Ok” sahut Jin dengan aksen Amerika nya. Kame hanya menggelengkan kepalanya, dan meneruskan sphagetti yang dia buat.

Jin memakan sphagettinya tanpa suara, dan Kame hanya menemani di sampingnya sambil melihat pada televisi di hadapan mereka. suara dari televisi satu-satunya yang terdengar disana.
“Na, Kazu…” panggil Jin tiba-tiba setelah dia mengambil sekaleng bir dan meminumnya. Kame menoleh pada Jin yang kembali duduk disampingnya. “Dunia ini terlalu besar buat kau genggam, semakin banyak yang kau inginkan, semakin kau banyak kehilangan, menjadi sempurna itu tidak penting, karena sempurna hanya kata yang semu. Percayalah…di dunia ini setiap orang ditakdirkan tidak sempurna. Aku memang tidak bisa menyelesaikan masalahmu, tapi kalau kau membutuhkanku, aku akan selalu ada disini” kata Jin panjang lebar. Wajahnya serius, dan itu membuat Kame agak terhenyak. Dia memandang Jin mencerna kalimat yang dikatakan laki-laki itu. Sangat membuatnya merasa ringan, entah kenapa. Kame tahu Jin menasehatinya lagi, memberitahunya agar tak terlalu memerangi ayahnya. Tapi mendengar kalimat kalau Jin akan selalu ada kalau dia membutuhkannya, membuat Kame benar-benar tersentuh.
“Na?” kata Jin lagi, tersenyum lalu menghabiskan birnya.
“Arigato” kata Kame dan membalas senyuman Jin. Mereka saling melihat beberapa detik, sampai tiba-tiba Jin menyimpan tangannya di sandaran sofa di belakang badan Kame, lalu membuat jarak tubuh dan wajah mereka semakin dekat.
“Hanya arigato??” kata Jin agak berbisik.
“Eh??”
Jin tak perlu menjelaskan pertanyaannya pada Kame, karena sedetik kemudian bibir mereka telah bersentuhan. Jin menciumnya, dan Kame tak melakukan apapun, seperti mengelak atau… membalasnya. Dia diam, dengan mata yang terbuka, melihat bagaimana mata Jin terpejam di depannya, memijat bibirnya lembut. Kame terlalu shock. Sesaat kemudian, Kame merasakan tangan Jin memegang pinggangnya, membuat tubuh mereka semakin merapat, dan Kame pun tak lagi bisa terus bertahan dengan kepasifannya. Dia mulai menutup matanya tanpa sadar, dan membuka sedikit mulutnya untuk membiarkan bibir Jin yang terus menguasainya, seolah tak peduli dengan keterdiaman Kame. Mereka semakin memiringkan kepala mereka demi mendapatkan posisi yang nyaman untuk ciuman mereka yang semakin meningkat. Lidah mereka bertemu dan hanya keajaiban di bibir dan lidah Jin yang membuat Kame jadi terlena dan menyerah seperti itu. Dia mulai membalas ciuman Jin, mengikuti irama yang dibuat laki-laki tampan itu. Tangannya yang tadi hanya memegang lengan Jin, mulai bergerak dan menemukan belakang kepala Jin, dia meremas rambut ikal Jin, mencoba memperdalam ciuman mereka. Hingga tanpa sadar dia jadi membuat tubuhnya tersudut dengan sendirinya. Sekarang Kame menyandar ke sandaran sofa, dengan Jin di hadapannya, terus membuatnya meleleh dengan amazing kiss nya. Setelah beberapa menit, Kame mulai merasakan paru-parunya kekurangan udara. Dia melepas ciuman mereka perlahan, untung Jin pun dengan tenang ikut melepaskannya. Sepertinya dia pun kehabisan oksigen. Mereka saling memandang dengan napas yang terengah-engah, selama berciuman tadi Kame bisa merasakan rasa bir yang sudah diminum Jin. Kame merasa dia akan dengan senang hati mabuk oleh bir yang sudah masuk ke rongga mulut Jin. Itu 2x lipat lebih memabukkan dan membuatnya tak keberatan untuk merasakannya terus-menerus.
Kame menyentuh bibir Jin yang sedikit terbuka itu, perlahan dengan jarinya. Dan tanpa dia duga, tiba-tiba Jin menjepit jari Kame diantara bibirnya yang berwarna merah muda itu dan telah sedikit bengkak karena sesi berciuman mereka tadi. Kame tersenyum, dia bisa merasakan wajahnya semakin menghangat, pasti dari tadi mukanya sudah memerah tak karuan. Tapi dia sudah tak begitu peduli, dia tak mau memikirkan yang lain. Sekarang hanya ada dia dan Jin. Kame tertawa kecil karena sekarang dia merasa geli jarinya di permainkan Jin di bibirnya. Mereka tak tahu apa yang mereka lakukan, tapi rasanya itu membuat mereka makin tak bisa mengendalikan diri. Kame berdebar-debar melihat pemandangan seksi di hadapannya itu, Jin berhasil membuatnya melupakan semua hal, dia malah menginginkan yang lebih.
Perlahan Kame melepaskan jarinya dari tangan Jin, dan kali ini Jin yang harus dibuat berdebar kencang karena dia melihat Kame memasukkan jarinya sendiri ke mulutnya. Mempermainkannya seperti yang tadi dilakukan Jin. Sangat sensual, dan Jin berani bertaruh siapapun tak akan bisa menahannya. Apalagi pandangan mata Kame begitu membuatnya merasa tertantang. Dia tak ada pilihan lain, dengan cepat dia mengambil jari Kame dari mulutnya dan menggantinya dengan bibirnya lagi. Mereka berciuman lagi, tapi kali ini Kame lebih menunjukkan ekspresinya. Dia membalas ciuman Jin tanpa ragu-ragu. Malah terkesan agresif, begitupun Jin. Keduanya berciuman seperti tak akan ada hari esok.

Jin mendengar suara Kame yang seperti keluhan tertahan dari bibirnya, ketika dia mulai memasukkan tangannya ke balik kaus Kame. Menyentuh perut datarnya, dan memijatnya perlahan.
“Mmmhhh…” Kame bersuara lagi saat Jin menurunkan ciumannya ke leher mulus Kame. Reflek, Kame memiringkan wajahnya ke samping, memberikan akses yang lebih luas untuk Jin menjelajahi lehernya dengan leluasa. Jin membuat love bite disana, tepat di dekat urat lehernya, dan membuat Kame menggerakkan tubuhnya karena sensasi luar biasa dari gigitan Jin.
“Pe-pelan…” pinta Kame saat Jin membuat love bite yang kedua. Agak sakit, tapi Kame sangat menikmatinya. Jin menurutinya dan membuat love bite yang kedua dengan hati-hati, tak mau membuat Kame kesakitan. Tangan Kame semakin erat memegang rambut Jin, bahkan tangan kanannya mulai menyelusup ke belakang leher Jin, masuk ke kemejanya, ingin merasakan kulit Jin langsung di jarinya.
Tangan Jin yang telah dengan sengaja terjebak di balik kaus Kame terus menjelajahi kulit perut Kame dan semakin naik hingga menemukan nipple Kame yang sepertinya telah dari tadi menunggu untuk disentuh. Lama-lama keduanya makin merasa kalau pakaian yang mereka pakai itu mengganggu. Keduanya ingin segera melepaskan semua yang menghalangi mereka.
“Sepertinya kita harus pindah” kata Jin akhirnya yang sadar kalau gerak-gerik mereka memang terbatas sekali di atas sofa nya yang mungil itu.
Kame masih dikuasai sensasi yang luar biasa, jadi dia hanya menganggukkan kepalanya pasrah saat Jin bertanya seperti itu. Mereka beranjak dari sana, Kame mengikuti Jin yang masuk ke dalam kamarnya. Jin duduk di sisi ranjangnya, mendadak hasratnya tadi sedikit berkurang setelah mereka saling melepaskan diri dan berjalan ke kamar seperti itu. Awan nafsu yang tadi seperti menutupi akal sehatnya sekarang perlahan telah pergi. Dia melihat pada Kame yang menghampirinya, laki-laki itu pun tampaknya jadi bingung seperti dirinya.
“Tadi itu…” Jin bermaksud meminta maaf karena takut Kame tak suka dengan yang sudah mereka lakukan tadi. Bisa saja tadi dia sedang tak sadar. Tapi dia menahannya, dia takut salah bicara juga.
“Kenapa?” tanya Kame, karena Jin tak juga melanjutkan perkataannya.
“Betsuni” Jin menggelengkan kepalanya dan menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Dia mencoba tersenyum, dan malah jadi senyuman gugup.
“Jadi??”
“Jadi?!” Jin melihat pada Kame lagi mengulang pertanyaannya.
“Yeah, jadi… kita mau apa? Tadi kau yang mengajak kita pindah” tanya Kame apa adanya. Sebenarnya dia juga malu bertanya seperti itu.
“Oh…” gumam Jin pendek.
“Oh???”
Mereka saling melihat beberapa detik, sampai akhirnya Jin mengambil gerakan pertama. Dia menarik tangan Kame hingga laki-laki yang lebih muda darinya itu jatuh ke pangkuannya. Kedua tangan Kame memegang bahu Jin, menahan dirinya yang takut terjatuh. Tapi sebenarnya dia tak perlu khawatir karena kedua tangan Jin memegang pinggangnya dan tak akan membuatnya terjatuh. Lagi, mereka saling memandang, tapi dalam jarak yang lebih dekat tentunya. Tanpa banyak mengulur waktu, Jin kembali melancarkan ciumannya di bibir pink Kame.
Perlahan, Jin melepaskan pakaian Kame lalu membaringkannya di atas ranjang Jin yang berukuran king-size itu, tanpa menghentikan ciuman mereka yang semakin dalam. Sesaat, Jin beranjak membetulkan posisinya hingga berada di atas Kame dan mulai mencium laki-laki yang lebih muda itu. Jemari Kame pun mulai menelusuri kemeja Jin dan coba membuka kancingnya satu persatu, tanpa sekalipun melepaskan ciuman panas mereka. Setelah beberapa detik menikmati bibir masing-masing, Jin tiba-tiba melepaskan ciumannya, lalu melihat ke arah tangan Kame yang tampak kesulitan membuka kancing kemejanya yang agak stuck disana. Diliriknya wajah Kame yang sedikit cemberut karena sebal tak bisa membuka kemejanya, Jin tertawa kecil lalu mencium pipi Kame.
“Baka” gumamnya. Dengan cepat dia pun membuka kemejanya dan melemparnya ke sudut kamarnya. Tanpa harus menunggu lagi, Jin mencium telinga Kame lalu turun ke sisi telinga Kame, Kame memegang tangan Jin.
“Nggghh… Jin” Kame mengeluarkan suara-suara yang mengindikasikan dia sangat menikmatinya. Ciuman Jin pun turun ke dada Kame, memainkan nipple dengan lidahnya. Tangan Jin yang bebas mulai membuka celana Kame. Tangan Kame semakin erat memegang tangan Jin, dan wajahnya memerah ketika Jin berhasil membuka seluruh celananya. Dengan cepat Kame mematikan lampu sentuh yang ada di samping ranjang Jin.
“Kenapa dimatikan?” tanya Jin agak berbisik.
“Aku malu, Jin…” jawab Kame pelan dan jujur. Jin tertawa mendengar jawaban Kame.
“Kawaii Kazuya~” godanya. Wajah Kame otomatis makin memerah. Jin dengan segera membuka celana yang masih melekat di tubuhnya, juga membantu Kazuya untuk melepas celananya hingga mereka berdua sama-sama polos tanpa sehelai benang pun di tubuh mereka. Jin mendekatkan bibirnya ke telinga Kame, “Na.. Kazu, can I do it now??” bisiknya. Dia menciumi telinga Kame sambil menunggu jawaban dari laki-laki di bawahnya itu. Kame menatap Jin lalu mencium bibir Jin singkat.
“Yes” satu kata saja cukup untuk menjelaskan semuanya.

Jin menyentuh manhood laki-laki yang sekarang terbaring pasrah di bawahnya itu, mengusapnya lembut.
“Aahh.. Jinn!!” Kame melenguh malu ketika Jin mulai meremas-remas bagian bawah tubuhnya. Jin mencium leher mulus yang terpampang di hadapannya, reflek Kame memiringkan kepalanya untuk memudahkan Jin menjilat dna menggigit setiap inci dari leher putihnya. Kame hanya bisa mendesah setiap dia merasakan pijatan lembut Jin di bagian tubuhnya yang paling sensitive, seklaigus gigitan di lehernya. Setelah puas dengan leher Kame, Jin menurunkan kepalanya hingga ke manhood Kame.
“J-Jin… aah! Mmm…aah!” Kame mendesah nikmat ketika merasakan Jin menjilati, menggigit pelan hingga akhirnya seluruh manhoodnya memenuhi mulut Jin. Kame merasakan sensasi panas mengalir di tubuhnya, kenikmatan di setiap tubuhnya ketika bersentuhan dengan tubuh Jin yang berkeringat. Jin tersenyum mendengar desahan Kame, membuatnya menginginkan lebih dan lebih. Seluruh tubuhnya benar-benar dikuasai nafsu dan ketagihan akan laki-laki tampan kurus di bawahnya.
Jin mengangkat lagi wajahnya, dengan cepat dia menjilati kedua jarinya hingga benar-benar basah. Dan mulai memasukkan perlahan di anal Kame.
“Aaaaahhh….” Kame mengerang nikmat ketika merasakan jari-jari Jin memasukinya. Desahan Kame sangat menghipnotis Jin.
“Kazuya, jilat milikku!” kata Jin, nada suaranya tiba-tiba meninggi. Kame melihat Jin, bingung. Dia menerka-nerka maksud Jin. “Cepat Kazuya! disini tidak ada lube, aku sudah tidak tahan!!” teriak Jin lagi frustasi. Pipi Kame merona merah untuk kesekian kalinya. Dia segera bangun dengan agak kesulitan dan mulai menjilati setiap jengkal manhood Jin.
“Ooh.. God” Jin mendesah nikmat, merasakan setiap jilatan basah Kame memenuhi miliknya. “Berhenti” ucap Jin setelah merasa miliknya cukup basah. Kame mengikuti instruksi Jin. Jin mendorong Kame hingga terbaring lagi di ranjangnya. “Let me be inside you…” Jin menatap Kame dalam dan penuh nafsu. Kame hanya mengangguk, dia tak bisa membohongi dirinya yang begitu menginginkan sensasi luar biasa lewat sentuhan Jin.
Perlahan Kame melebarkan kakinya dan dengan segera Jin memasukkan miliknya yang menegang ke dalam anal lelaki dibawahnya.
“J-Jiinn… Aaaaahhh” Kame mengerang lagi dengan nikmatnya. Dia begitu menyukai sensasi saat Jin berada di dalamnya. Mendengar desahan sexy yang keluar dari mulut Kame, membuat Jin benar-benar bernafsu untuk memasukkannya lebih dalam. “Aaaahhhhh…Jin! Itai” Kame mencakar punggung Jin yang dari tadi dia gunakan untuk membantu menahan tubuhnya. Jin semakin cepat melakukan in-out ke dalam tubuh Kame. Dia benar-benar telah dibutakan oleh nafsu. “J-Jin! Ita-i… aaaahhh!” Kame merasakan bagian bawah tubuhnya terasa amat sakit, namun dia juga tak dapat mengelak akan kenikmatan luar biasa yang menjalar di sekujur tubuhnya yang panas dan lelah itu.
Jin merasa dirinya sudah hampir mencapai klimaks, dia menghujam keras ke dalam anal Kame.
“Aaaggggghhhh… J-Jin” desahnya lebih keras, ketika manhood Jin masuk ke dalam dirinya seutuhnya.
“Kazu—aaahhh” erang Jin dengan suara seraknya yang penuh nafsu saat mencapai klimaks. Cum menyembur dari manhood Kame mengenai perut Jin. Perlahan Jin mengeluarkan manhoodnya yang sudah melunak dari anal Kame, diikuti dengan cum miliknya yang mengenai bagian bawah tubuh Kame. Jin segera mengambil tissue di meja sebelah ranjangnya, membersihkan dirinya. Kame melawan tubuhnya yang lelah, mencoba meraba kotak tissue untuk membersihkan dirinya juga.
“Biar aku saja” suara serak Jin terdengar di telinganya.
“Tapi Jin itu kotor, biar—“ Jin membungkam mulut Kame dengan ciuman basah, tangan kanannya sibuk membersihkan cum disekitar manhood Kame, mengusapnya perlahan, nikmat dan lembut.. hingga membuat Kame yang kelelahan, terlelap…
***
Kame membuka matanya ketika merasakan ciuman lembut mendarat di bibirnya, “Ohayo” kata Jin yang telah berpakaian lengkap duduk di tepi ranjangnya, memperhatikan Kame.
Sedangkan dirinya?? Kame masih hanya dengan berbalut selimut tadi malam. Dia buru-buru bangun, mukanya memerah ketika berusaha menjawab sapaan Jin.
“Oha—ohayo” katanya gugup.
Jin tersenyum melihat tingkah Kame, lucu…pikirnya.
“Na, kau mandi saja dulu. Aku sudah menyiapkan bajunya” kata Jin, sambil hendak beranjak dari sana. Tapi dengan cepat Kame menarik tangannya.
“Mau kemana?”
“Menyiapkan sarapan”
“Hah???!” Kame agak heran, tumben sekali orang ini mau menyiapkan sarapan. Seingatnya Jin bukan orang yang biasa membuat sarapan.
“Sudahlah, kau cepat mandi. Aku tunggu” Jin menundukkan tubuhnya sedikit, lalu mencium kening Kame.
Kame pun segera merapikan pakaian kotornya yang berserakan dan bergegas ke kamar mandi. Dia menatap wajahnya di cermin dan tertawa kecil ketika melihat kiss mark di lehernya yang di tinggalkan Jin semalam. Tangannya menyentuh kiss mark itu, mengusapnya pelan, dia hampir bisa merasakan lagi bagaimana kiss mark itu bisa ada disana. Ciuman dan gigitan Jin…Kame cepat membuka matanya, yang tanpa sadar sudah terpejam tadi karena membayangkan lagi betapa luar biasanya bibir Jin dan apa yang sudah mereka lakukan semalam. Tapi Kame tak mau memikirkannya. Dia cepat membersihkan dirinya dan memakai pakaian yang diberikan Jin.

Tak lama kemudian Kame telah menyusul Jin ke ruang makan.
“Jin? Apa ini??” Kame terlihat kaget melihat makanan cepat saji yang disiapkan Jin. Tapi dia sudah menduganya, Jin memang bukan seorang pembuat sarapan. “Kau tidak memasak sendiri??”
“Sudah-sudah…” Jin mengelak, dia menarik Kame untuk mendekati meja makan, tapi Kame menghentikan langkahnya dan membuat Jin berpaling menghadapnya.
“Tapi… itu kan makanan cepat saji? Kenapa kau tidak bilang ka—“ belum sempat Kame meneruskan kalimatnya, Jin menariknya ke pelukannya dan menciumnya cepat.
“Kazu, kau berisik sekali. Ini masih pagi” katanya. Kame yang agak kesal langsung melepaskan pelukan Jin, dan memilih untuk segera makan.
“Kau mau memakannya juga…” komentar Jin setelah mereka duduk berhadapan di meja makannya. Jin tersenyum puas melihat Kame yang memakan sarapan siap sajinya walau dengan muka cemberut seperti itu.
“Kau mau aku melemparnya ke tempat sampah?” ujar Kame dingin dan agak kasar. Jin malah tersenyum lebar, Kamenashi Kazuya yang suka marah-marah padanya sudah ada disini lagi.
“Jangan kasar begitu. Tadi malam rasanya kau tidak—“ Jin tak melanjutkan perkataannya ketika dia melihat pandangan membunuh dari mata Kame. Sepertinya dia sangat tak suka Jin menyinggung soal tadi malam.
“Gomen” kata Jin pendek sambil menahan senyum. Kame menghela nafasnya. Benar juga, semalam itu… apa yang sudah mereka lakukan?! apa mereka perlu membahasnya dengan serius, menganggapnya main-main atau melupakannya begitu saja seolah tak pernah ada apapun yang terjadi?? Kame memandang Jin diam-diam yang sedang serius dengan sarapannya. Laki-laki itu tampak biasa saja, tapi Kame bingung, Jin biasa di sisi yang mana??? Apa dia harus menanyakannya? Tapi bagaimana…??
Mendadak sebuah kecupan mendarat di bibirnya, membuat Kame tersentak dari pikiran-pikirannya. Reflek dia mengedip-ngedipkan matanya, seperti baru memasuki dunia nyata lagi. Dia melihat Jin tersenyum lucu disana. Laki-laki itu mencuri kecupan dari bibirnya saat dia sedang melamun.
“Kenapa kau memandangiku seperti itu, hah?” tanya Jin yang tak peduli dengan kekagetan Kame.
“Ah tidak…aku harus kerja…” Kame melihat jam tangannya. Mengalihkan pandangannya sekalian menyembunyikan wajahnya yang pasti sudah memerah.
“Apa kau masuk pagi di hari biasa??”
“Eh??”
“Sekarang hari Kamis” kata Jin mengingatkan.
“Oh ya, aku masuk nanti sore”
“Sou da ne… kalau begitu kita menonton dvd sambil menunggu sore, bagaimana??” saran Jin, dia tampak senang dan benar-benar tak ada beban. Yang justru membuat Kame bingung. Rasanya hubungan mereka semakin tak bisa dia mengerti, apalagi setelah kejadian semalam…
“Kau tidak masuk kerja?” tanya Kame sambil membantu Jin membereskan meja makannya.
“Aku masih sakit” jawab Jin sekenanya. Kame melihat padanya datar. Sakit???! Yang benar saja!!! teriaknya dalam hati. Dari sejak semalam Kame datang kemari, Jin jelas-jelas terlalu sehat untuk disebut sebagai orang sakit. Dan yang pasti kejadian semalam pasti tak akan terjadi kalau Jin masih merasa sakit… eh? Kame malas mengingatnya. Dia menjauhi Jin membawa piring mereka ke dapur lebih dulu, karena pasti wajahnya memerah lagi. Kuso. “Kau tidak protes?” tanya Jin tiba-tiba, saat dia ikut menyimpan piring dan gelas kotor yang dia bawa ke tempat cuci piring.
“Hah??” Kame bertanya bingung.
“Biasanya kau senang sekali memprotesku”
“Oh…” Kame tak tahu harus berkata apa, dan Jin malah tertawa lucu. Perlahan dia mendekat pada Kame dan membuat diantara mereka nyaris tak ada jarak. Kame sudah bersiap, orang ini pasti akan menciumnya lagi. What a pervert!! Kame tak mengerti, tapi dari tadi malam sampai pagi ini, Jin terus memperlakukannya dengan mesra. Kenapa?!
“Jin??!” suara seorang perempuan menyentakkan mereka. Kame cepat melepaskan dirinya dari pelukan Jin. Beruntung, setelah berjauhan mereka baru melihat Chiaki berdiri di dekat pintu dapur, memperhatikan mereka.
“Chiaki?!” kata Jin terkejut. Kame hanya menahan nafasnya, berharap Chiaki tak melihat apa-apa tadi.
***

0 komentar: