THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 18 Agustus 2009

IT CAN'T BE- Chapter 2

Tittle : IT CAN’T BE
Pairing : Akanishi Jin X Kamenashi Kazuya (our lovely AKame <3)
Author : The Three Musketters (Nachan + NPhe + Rie)
Rating : NC-17 for chapter 4, 6, 7 ^^

Chapter 2

“Coffelatte?” Kame langsung mendahului sebelum Jin menyebutkan pesanannya. Jin tertawa kecil.
“Kau benar-benar selalu cepat mempelajari tentang kebiasaanku” katanya.
“Aku sama sekali tidak mempelajarimu, tapi karena kau selalu melakukan hal yang monoton, siapapun akan jadi terpaksa mengingatnya” kata Kame beralasan. Jin tertawa lagi. Ini memang sudah kesekian kalinya setelah Jin pindah ke dekat tempat kerjanya, Kame jadi melayani pelanggan baru café nya ini. Hampir setiap malam Jin datang kesana dan memesan minuman yang sama. Lalu mengajaknya berbincang banyak hal, penting dan tidak penting. Benar-benar seperti saat mereka kecil dulu. Tapi karena itu Kame juga harus menghadapi wajah cemberut Koki setiap kali Jin datang. Untungnya Kame bisa mengatasi itu setelah mereka berada di flat. Kame terus berusaha membuatnya tertawa dan tak mengingat-ingat Jin. Setelah kejadian pelukan dan debaran dada itu, Kame jadi sedikit berhati-hati dengan sikap Koki. Dia sudah sadar kalau memang ada sesuatu yang dirasakan laki-laki itu terhadapnya.
“Dua”
“Eh?”
“Aku pesan dua” kata Jin saat Kame menyerahkan pesanannya. Dia menunjuk ke arah sebuah meja di café itu dengan matanya. Kame mengikuti pandangan mata Jin dan dia pun melihat seorang gadis cantik sedang duduk disana. “Aku bersama Chiaki” kata Jin lagi, sambil tersenyum.
“Ah, okay” Kame pun membuatkan sebuah coffelatte lagi.
Jin mengajaknya untuk duduk bersama dengan dia dan Chiaki. Kame tak bisa menolaknya.
“Ini Kamenashi Kazuya yang sering aku ceritakan padamu” kata Jin mengenalkan Kame.
“Eh? Kau sering menceritakanku?” Kame malah bertanya heran pada Jin.
“Yea, Jin suka sekali menceritakanmu. Kalian sering melakukan hal bodoh bersama kan??” Chiaki menjawabnya. Kame langsung tersenyum malu. Aku tidak bodoh… pacarmu ini yang mencoba menularkannya padaku! Pikir Kame, sambil melirik Jin tajam. Pria tampan itu hanya tersenyum, tak tahu dengan isi pikiran Kame.
“Doumo, aku Amano Chiaki” Chiaki mengenalkan dirinya sendiri, dan agak membungkukkan badannya. Kame balas membungkuk.
“Aku juga sering mendengar tentangmu dari Akanishi”
“Benarkah?”
“Uhn, dan aku juga sudah melihat fotomu. Ternyata memang lebih cantik aslinya” kata Kame memujinya. Chiaki tersenyum malu
“Sudah, jangan menggoda pacarku!” kata Jin tiba-tiba, memukul kepala Kame pelan. Kame pura-pura kesakitan dan mereka tertawa bersama.

Ternyata bercengkrama dengan Jin dan kekasihnya tak seburuk yang Kame bayangkan. Dia cukup senang karena Chiaki ternyata bukan perempuan yang menyebalkan. Dia mudah sekali akrab dan dapat mengimbangi kekonyolan Kame dan Jin.
“Oia, aku mau mengundangmu ke apartementku” kata Jin sesaat sebelum dia pergi dari café. Chiaki sudah pergi lebih dulu dan menunggu di luar.
“Hah? Acara apa??” tanya Kame agak terkejut dengan undangan tiba-tiba itu.
“Makan malam”
“Eh??”
“Aku akan menjemputmu besok malam, ok??”
Kame belum mengatakan apapun, tapi Jin telah lebih dulu pergi dari sana. Dia tak bisa mengelak lagi. Kame mengira kalau nanti itu pasti makan malam dengan Chiaki juga, dan dia akan sedikit terjebak dalam situasi yang sebenarnya dia tak begitu suka, tapi ya sudahlah…Chiaki juga perempuan yang menyenangkan, mungkin nanti tak akan membosankan.
“Dia mengajakmu double-date” kata Koki tiba-tiba yang sudah ada di dekatnya.
“Hah? Double-date??”
“Kau tak menyadarinya? Dia kan pasti mengajak pacarnya”
“Hmm, aku juga sudah berpikir begitu…”
“Tapi kau akan tetap datang sendiri?”
“Aku memang tak ada pacar yang bisa ku ajak” kata Kame tenang sambil agak tertawa dan berlalu dari sana.
“Kau bisa mengajakku” gumam Koki, bermaksud pelan, tapi Kame malah mendengarnya.
“Jangan bercanda!” sahutnya sambil tertawa lebih keras.
Koki tersenyum pahit, anggap saja aku bercanda… gumamnya dalam hati.
***
Di hari biasa selain weekend, café mereka hanya buka sampai pukul 9 malam dari pukul 11 pagi. Dan malam itu, mereka sedang menutup café nya saat Jin datang.
“Kami sudah tutup” kata Koki begitu melihat Jin masuk kesana.
“Aku sudah tahu. Aku kemari untuk menjemput Kamenashi” jawab Jin tenang. Koki memandangnya tak suka.
“Akanishi??” Kame muncul disana dan menghentikan hawa tegang diantara kedua teman dekatnya itu.
“Ou! Aku menjemputmu” sahut Jin.
“Koki, gomen… aku akan ke tempat Akanishi dulu” Kame langsung meminta ijin disana pada sahabatnya.
“Ok, jangan pulang terlalu larut. Kau kabari aku dimana aku harus menjemputmu”
“Tidak perlu. Aku yang akan mengantarnya ke tempatmu nanti” Jin langsung menyahut sebelum Kame sempat mengatakan iya.
Koki terdiam. Dia tak mau banyak berbicara dengan orang ini.
“Ehm… yea, biar Akanishi yang mengantarku nanti” Kame langsung menengahi. Dia benar-benar merasakan ketidaknyamanan dengan keberadaan mereka dalam waktu yang bersamaan.
“Ya sudah” Koki menyerah, dia lalu pergi dari sana setelah mereka mengunci pintu café nya. Dia pergi ke arah yang berlawanan dari arah yang akan dituju Jin dan Kame. Jin tersenyum puas melihatnya.
“Ikou?” Jin memegang tangan Kame tanpa sadar, dan membawanya pergi dari sana, Kame tak melakukan apapun, hanya mengikutinya.

“Kau tahu, rasanya si botak… ah maksudku Tanaka itu, bersikap seolah-olah dia bodyguardmu” komentar Jin saat mereka sedang berada di lift menuju lantai 4 dimana apartement Jin berada. Gedung apartementnya cukup mewah, sesuai selera Jin.
“Aku rasa tidak” kata Kame pendek.
“Dia sangat protektif padamu. Kau tak menyadarinya??” Jin menoleh pada Kame, yang menggeleng pelan padanya. “Polos…” gumam Jin sambil tertawa kecil.
“Apa?!” Kame seperti mendengar gumaman Jin, tapi tak begitu jelas di telinganya.
“Kau tahu Kamenashi…dia mungkin saja sudah berkata pada Kamenashi-san agar tetap membiarkanmu bekerja disana dan tetap tinggal dengannya dengan jaminan dia yang akan menjagamu, mengabari keadaanmu pada ayahmu. Mungkin saja bukan??” Jin membeberkan analisanya.
Kame memandang Jin sekali lagi, dia tak pernah berpikir kesana. Sebenarnya memang agak ganjil, kenapa setelah tahu dia bekerja di tempat seperti itu, ayahnya tidak bertindak banyak, selain menentangnya seperti biasa tentu saja…!? itu sangat mungkin kalau memang Koki yang meminta pada ayahnya.
“Kita sudah sampai” perkataan Jin membuyarkan Kame dari pikirannya. Mereka sudah tiba di depan pintu apartement Jin. “Kau ingat-ingat, apartementku ini nomor 234, kalau kau mau, datanglah kapanpun” Kame hanya mengangguk. “Oh iya…” kata Jin lagi tiba-tiba sebelum mereka benar-benar masuk ke dalam, “Ini untukmu” Jin menyodorkan sebuah kunci pada Kame, “Aku membagi satu kuncinya untukmu”
Kame menerimanya tanpa bisa banyak berkata. Jin tersenyum, lalu mulai masuk ke dalam, diikuti oleh Kame.
Apartement itu sudah seperti yang Kame duga. Cukup mewah walau tak begitu besar. Apartement yang pasti nyaman untuk seorang pria lajang muda yang cukup sukses berusia 24 tahun seperti Jin. Sebuah kamar tidur, ruang televisi, ruang makan, dan sebuah dapur. Semuanya dalam konsep minimalis yang benar-benar bergaya tempat tinggal seorang pria mapan.
Kame melihat sebuah sofa yang di depannya terdapat sebuah televisi layar datar, dengan lemari kecil berisi DVD Player beserta DVD Disc nya. Kame sudah mengira itu pasti film-film favorite Jin. Dan yang agak menarik perhatiannya adalah sebuah poster yang terpasang di dekat perangkat televisinya. Poster seorang perempuan asing berambut pirang yang memperlihatkan keindahan tubuhnya dari belakang yang hanya dibalut bikini minim. Kame tersenyum kecut melihatnya.
“Itu poster yang aku ambil dari apartementku saat di LA dulu. Disana teman-temanku suka sekali memasang poster yang seperti itu. Kau pasti akan kaget kalau melihat poster mereka yang lebih parah dari ini” Jin menjelaskan ketika dia menyadari Kame memperhatikan poster itu.
“Yea, perkumpulan orang-orang pervert” gumam Kame pelan sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain. Beruntung Jin tidak mendengarnya. Dia mulai memperhatikan isi kamar tidur Jin. Disana ada sebuah ranjang berukuran king-size, cukup terlalu besar untuk seseorang yang tinggal sendiri. Kamar khas pria dengan lemari baju, lemari kecil di dekat ranjang dan benda-benda tak penting lainnya yang beterbaran disana, juga ranjang yang agak berantakan. Terlihat kalau Jin tak sempat membereskannya tadi pagi.
“Kenapa kau tidak cepat menjemput Chiaki-san?” tanya Kame, mendadak setelah melihat kamar yang berantakan, dia jadi ingat pada Chiaki karena dari tadi dia belum melihatnya.
“Hah??” Jin agak berteriak, dia berada di dapur sekarang.
“Chiaki-san. kau belum menjemputnya??” Kame mengulang pertanyaannya sambil keluar dari kamar Jin dan menuju ke dapur.
“Chiaki? Kenapa aku harus menjemputnya? Dia biasa pulang sendiri”
“Eh?? Dia akan datang sendiri kemari??” Kame tak percaya mendengarnya. Tadi saja Jin menjemputnya, tapi kenapa Jin membiarkan Chiaki datang sendiri!?
“Dia tak akan kemari” kata Jin akhirnya, membuat Kame mengerti.
“Hah? Jadi kita hanya makan malam berdua??”
“Memangnya kenapa kalau kita hanya makan malam berdua? Kita sudah lama tak mengobrol dengan santai seperti dulu, bukan?!” kata Jin tanpa ambil pusing dengan keterkejutan Kame.
“Sou da” gumam Kame akhirnya. Dia memang terlalu banyak menduga-duga tadi. “Eh, kau sedang apa?” tanya Kame ketika dia melihat Jin sedang membuka-buka sebuah makanan di dalam tempat plastic pengawet.
“Membuat makan malam, tentu saja”
“Tapi itu kan…”
“Ini pasta dan sphagetti, kau tahu kalau aku sangat menyukai ini” kata Jin sambil tersenyum.
“Bukan, maksudku… itu kan makanan siap saji”
“Memang, aku akan menghangatkannya sebentar, dan kita pun bisa segera makan” Jin malah menjelaskan dengan bangga.
“Akanishi~~~” Kame mengeluh pelan.
“Hah? Kenapa?” Jin memandang Kame tak mengerti.
“Kau tidak memasak makan malamnya sendiri? Aku kira kau akan memasak untukku!” protes Kame akhirnya.
“Ah Kamenashi… kau tahu kalau aku tak bisa memasak” kata Jin cepat, membela diri. Kame mengangguk-anggukan kepalanya. Yea, aku tahu kau tak bisa memasak… tapi aku pikir kau sudah bisa memasak karena kau sangat bersemangat mengundangku untuk makan malam…kata Kame dalam hati. Dia tak tega mengatkan langsung di mulutnya.
“Lain kali aku akan memasak untukmu” kata Kame tiba-tiba.
“Hontou ka??!” sahut Jin senang. Kame mengangguk.
“Yea, kau hanya tinggal menyiapkan bahannya”
“Arigato Kamenashi… aku menunggu kau mengatakan itu dari tadi”
“Baka” ledek Kame, dan mereka pun tertawa bersama. “A~ kenapa kau tidak meminta Chiaki-san untuk mengurusimu? Dia bisa membereskan kamarmu yang berantakan, juga memasak untukmu. Manfaatkanlah pacarmu dengan sebaik-baiknya” kata Kame lagi sok menasihatinya.
“Dia juga tidak bisa memasak” ujar Jin sambil tersenyum lebar.
“Eh??”
“Aku tahu… payah sekali aku malah berpacaran dengan perempuan yang tidak bisa memasak sepertiku” Jin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sekali lagi mereka tertawa bersama. Konyol.

Mereka sudah selesai makan beberapa lama kemudian. Sekarang keduanya duduk berdua di sofa yang tadi di perhatikan Kame. Melihat ke arah televisi yang entah mempertontonkan apa, karena mereka terlalu asik mengobrol, ribut dengan bahasan mereka sendiri.
“Kau masih belum bisa minum bir??” Jin mengacungkan kaleng birnya sebelum meminumnya. Kame menggelengkan kepalanya.
“Sekali-sekali saja” elaknya.
“Kau payah…berapa umurmu sekarang? Kau tahu, diluar sana banyak perempuan yang sangat pandai minum bir”
“Aku tidak peduli” kata Kame dan meminum sofdrinknya sampai habis. Jin tertawa dengan sikap Kame yang tampak terganggu, dia suka menggoda laki-laki itu.
“Kau harus memikirkannya Kame, bagaimana kalau kau kalah minum oleh pacarmu sendiri? Itu sangat memalukan…”
“Untung saja aku tidak punya pacar” sela Kame datar.
“Hah? Sekarang mungkin kau tidak punya, tapi nanti…”
“Sudahlah. Aku tak akan berpacaran dengan perempuan peminum, kau tahu itu!” Kame menyela lagi dengan kesalnya. Jin malah semakin keras tertawa, dan Kame tak tahan lagi untuk tak memukul kepalanya.
“Itai!” Jin mengusap kepalanya yang sebenarnya tidak begitu sakit. Tapi yang masih membuat Kame sebal, dia belum berhenti tertawa.
Kame pun duduk agak membelakanginya. Dia melihat ke arah lain, menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi dan memejamkan matanya, tak mau mendengar tawa Jin. Tanpa sadar, dia malah mulai tertidur. Badannya memang lumayan lelah setelah seharian bekerja.
Jin menghentikan tawanya karena tak melihat reaksi Kame lagi, dia mendekat, mengamati laki-laki tampan yang lebih muda darinya itu. Dilihatnya ternyata Kame tertidur.
“Kamenashi??” panggil Jin pelan, Kame tak bereaksi.
“Na, Kame” Jin mulai menggoyangkan tubuh Kame. Ternyata dia cepat membuka matanya. “Kau tertidur”
“Gomen, aku mengantuk” kata Kame yang langsung akan beranjak dari sana
“Tidurlah di kamarku, biar aku tidur disini”
“Hah? Tidak usah, aku akan ke tempat Koki” kata Kame sambil mengeluarkan ponselnya dan bermaksud menelepon Koki, tapi Jin cepat merebut ponselnya. Kame terkejut dan tak sempat mengamankan ponselnya.
“Tidak, kau sudah mengantuk seperti itu. Lebih baik menginap saja disini”
“Aku bilang tidak usah…”
“Apa bedanya kau tidur di tempatku dan tidur di tempat temanmu itu? Sama saja menumpang, bukan?!” Jin langsung mengatakan hal yang membuat Kame terdiam. Jin benar. “Aku akan memberitahunya…” Jin berkata lagi sambil mencari nama Koki di ponsel Kame dan men-dial nya.
Terdengar nada sambung, sesaat sebelum ponsel di ujung sana dijawab oleh Koki, “Kame-chan???” sapanya.
Jin mengeluh dalam hati mendengar panggilan Koki pada Kame.
“Dimana aku harus menjemputmu??” tanya Koki lagi.
“Tidak usah, ehm… Kamenashi akan menginap disini” jawab Jin, yang langsung membuat Koki terdiam disana. Dia tak menyangka kalau itu Jin yang menghubunginya menggunakan ponsel Kame.
“Sokka…”
“Yea, jadi kau tak perlu menjemputnya, ok? Sekarang dia sudah tidur. Jya” Jin mematikan ponselnya begitu saja, tanpa perlu menunggu jawaban Koki. Di tempatnya, Koki melempar ponselnya ke ranjang, dan mengutuki Jin di pikirannya.
“Sekarang kau cepatlah tidur, aku akan tidur disini” kata Jin lagi dan bertingkah mengusir Kame agar benar-benar pergi dari ruang TV nya, jadi dia bisa menguasai sofanya sendirian.
“Biar aku yang disini, aku kan hanya menumpang” ujar Kame dengan sengaja menekankan kata-kata ‘menumpang’. Jin malah tertawa kecil.
“Kau ini cerewet sekali” Jin mengibas-ngibaskan tangannya menyuruh Kame supaya cepat-cepat pergi. Dengan sedikit tersenyum juga, Kame akhirnya menyerah dan masuk ke kamar Jin. Dia menutup pintunya lalu mulai menjatuhkan tubuhnya di ranjang yang agak berantakan itu. Empuk dan nyaman seperti yang sudah Kame duga. Kame melihat ke sekeliling, mengamati setiap sudut kamar Jin. Semuanya terasa sangat ‘Jin’, Kame seolah-olah berada di sebuah tempat yang dimana setiap jengkalnya hanya ada Jin dan Jin…Kame tertawa sendiri dengan pikirannya. Rasanya konyol, dia mendadak seperti seorang gadis berumur belasan tahun yang baru mengenal rasa menyukai seseorang. HUH??! baka… Kame memukul kepalanya sendiri, tak terima dengan pikiran konyolnya.
Setelah puas mengamati langit-langit dan seluruh sudut di ruangan itu, Kame mulai merubah posisi tidurnya, dia berbalik dan membenamkan wajahnya ke bantal Jin. Eh?? Bantal ini juga… Kame bisa mencium aroma Jin disana, aroma khas yang entah kenapa dia bisa mengenalinya seperti ini. Kame memindahkan wajahnya ke bantal satunya, menghirupnya lagi, ke bantal yang lain, ke gulingnya, ke selimutnya, semuanya beraroma Jin, tanpa sadar juga dia jadi menghirup ke seprainya, nyaris ke semua titik di ranjang itu, saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan Jin ada disana memandangnya dengan mata mengantuk.
“Kau sedang apa? Kau belum tidur?” tanyanya heran dengan tingkah Kame yang entah sedang apa dengan posisi seperti itu. Kame cepat mengangkat tubuhnya dan duduk dengan benar.
“Ah… aku baru akan tidur” jawab Kame salah tingkah. Dia cepat berbaring lagi dan membelakangi Jin. Dia merasa pipinya sudah menghangat, pasti sudah merah sekali sekarang. Memalukan kalau Jin sampai tahu kelakuan konyol yang tadi dia lakukan.
Jin tak begitu menyadari dengan tingkah Kame tadi. Dia pun masuk ke kamar mandinya dan saat keluar, Kame tampak sudah tertidur. Jin tersenyum, “Oyasumi” katanya sambil keluar dan menutup lagi pintunya.
“Oyasumi” gumam Kame yang ternyata masih terbangun. Dia tersenyum malu pada dirinya sendiri. Damn~
***

0 komentar: