Tittle : IT CAN’T BE
Pairing : Akanishi Jin X Kamenashi Kazuya (our lovely AKame <3)
Author : The Three Musketters (Nachan + NPhe + Rie)
Rating : NC-17 for chapter 4, 6, 7 ^^
Chapter 8
Kame membuka matanya, dan merasakan hangat di pipinya. Dia melihat ke samping ada Jin yang terlelap disana dengan jarinya yang menyentuh pipi Kame. Beberapa detik Kame hanya terdiam mengamati wajah polos Jin yang sedang tertidur. Dia tersenyum sendiri. Perlahan, di pindahkannya tangan Jin dari pipinya, tanpa ingin membangunkan laki-laki itu. Kame mencoba bangun dan seketika rasa sakit menyerang bagian belakang bawah tubuhnya. Sakit yang familiar, karena beberapa waktu yang lalu dia pernah merasakannya. Kame melihat selimut yang menutupi tubuh telanjangnya, dan sekali lagi dia melirik Jin. Mereka melakukannya lagi. Kame bisa mengingat dengan jelas bagaimana semalam mereka bercinta. Ciuman panas Jin yang membuatnya meleleh, sentuhannya, permainannya…Kame merekamnya dengan jelas, Kame bahkan ingat setiap teriakan dan desahan mereka yang saling memanggil nama masing-masing.
Kame menghela nafasnya berat, entah pikiran dari mana tapi Kame bisa merasakan kalau semua yang mereka lakukan semalam adalah untuk terakhir kalinya. Dia mendadak putus asa dan tak ingin membuat dirinya menyesal tak bisa memiliki Jin lagi. Eh? Memangnya selama ini mereka saling memiliki?! Kame tak yakin dengan jawabannya sendiri. Yang dia sadari dengan pasti kalau dia telah jatuh cinta pada laki-laki ini, dan dia pun tahu Jin merasakan hal yang sama. Samar-samar tadi malam dia mendengarnya…pengakuan Jin. Hanya dia terlalu lelah untuk menyahutnya.
Kame mengulurkan tangannya ingin menyentuh kepala Jin, tapi di tengah-tengah dia mengurungkan niatnya. Dia memutuskan untuk bangun dan memakai pakaiannya yang masih berserakan di lantai dapur. Apa dia harus langsung pergi sekarang? Kame berpikir di depan pintu dapur sambil mengamati Jin yang masih tertidur di ruang tengah. Bukankah dia menghindari Jin beberapa hari ini? dan sekarang dia harus kembali pada waktu itu. Karena hanya akan menyakitkannya saja melihat Jin menjauh darinya nanti. Kame harus terbiasa lagi dengan ketidak beradaan Jin seperti saat dia di LA dulu. Tapi…Kame baru akan melangkahkan kakinya menghampiri Jin untuk memeluknya selama dia masih bisa. Mendadak, suara pintu depan yang dibuka membuatnya berhenti dan harus terkejut melihat Chiaki masuk kesana.
Mereka saling melihat beberapa detik, berusaha menutupi keterkejutan masing-masing.
“Chiaki-san…” sapa Kame akhirnya. Tanpa nada tertentu di suaranya. Chiaki tersenyum tipis, dia segera meghampiri Jin yang tertidur dengan kepalanya di sofa. Seperti tak memperdulikan keberadaan Kame, dia berlutut di hadapan Jin yang masih terlelap, dan langsung memberikan ciuman lembut di bibir kekasihnya itu.
Kame hanya terpaku disana memperhatikan mereka seperti orang bodoh, dia sebenarnya ingin cepat pergi, tapi kaki nya seperti membeku disana. Apalagi saat dilihatnya Jin tampak membalas ciuman itu meski dia setengah tertidur.
“Uhmm, ohayo…” gumam Jin disela ciuman mereka, dia mengira Kame yang menciumnya. Walau dia merasakan yang lain di ciuman itu. “Ka—“ Jin baru akan menyebut namanya, ketika dia mendengar sahutan Chiaki yang jelas-jelas suara perempuan. Jin membuka matanya cepat dan melihat wajah cantik Chiaki disana, tersenyum padanya.
“Chiaki…” katanya pelan.
“Ohayo darling~” ulang Chiaki dan menciumnya lagi, kali ini Jin meresponnya pasif. Dia tak menyangka kalau Chiaki akan datang kesana sepagi ini. Jin melihat Kame berdiri tak jauh dari tempat dia dan Chiaki. Dia cepat melepas ciuman mereka, dan mencoba bersikap tenang.
“Kenapa kau datang sepagi ini?”
“Apa aku menginterupsi sesuatu?”
“Eh? Tidak! Yea, kau menginterupsi tidurku” Jin menjawab salah tingkah.
Chiaki tertawa kecil, “Kamenashi-kun saja ada disini sepagi ini, kenapa aku yang kekasihmu sendiri tidak boleh?” kata-kata yang menyindir lagi. Jin baru akan coba menyangkal, tapi Chiaki seperti tak tertarik dengan apapun alasan yang mau dia katakan. “Aku punya kabar baik” katanya. Dia tersenyum senang pada kedua laki-laki itu.
“Kabar baik?” Jin mengulang.
“Yes, orang tua kita setuju kalau kita menikah di LA”
Jin nyaris membelalakan matanya kaget, siapa yang akan menikah di LA!? Kame yang sebenarnya kesal dan lebih kaget mendengarnya, tapi dengan tenang dia mengambil air minum dari lemari es Jin dan malah menghampiri keduanya duduk di sofa yang lain.
“Yokatta na” katanya datar. Chiaki tersenyum lebih lebar.
“Bagaimana denganmu? Sebaiknya cepat menyusul dengan Ageha-chan”
Kame menggelengkan kepalanya, “Kami sudah sepakat tak akan menjalin hubungan”
“Kenapa?” tanya Jin datar, seolah dia benar-benar tak tahu. Chiaki beralih melihat pada kekasihnya itu.
“Kau tahu alasannya Akanishi” sahut Kame tak kalah datar. Dia meminum airnya. Chiaki memandang keduanya dengan tatapan aneh. Lagi-lagi perasaan tidak enak itu.
“Ck, sudahlah. Kita sedang membahas tentang pernikahan kalian, bukan? Ne, Chiaki-san…” Kame tersenyum pada perempuan cantik itu, dan Jin melihat padanya aneh. Atmosfir diantara mereka memang selalu tidak enak sejak pertama kali Chiaki melihat Kame berada di apartement nya. Dan sekarang Jin bisa merasakan, kedua orang ini memaksa untuk saling tersenyum dan mengobrol dengan normal. Jin menghela nafasnya diam-diam, dia seperti terjebak sekarang. “Jadi, kapan kalian akan ke LA?” Kame bertanya lagi memecah keheningan diantara mereka yang tak sadar telah menyelimuti suasana.
“Ah, minggu depan!” Chiaki menjawab dengan semangat.
“EEEHHH??!!” Kame dan Jin hampir berseru bersamaan.
“Kenapa?” Chiaki memandang keduanya pura-pura bingung padahal dia sudah menduga dengan reaksi yang dia lihat dari dua orang laki-laki ini.
“Ap-apa itu tidak terlalu cepat??” tanya Kame yang merasakan jantungnya mendadak berdetak lebih cepat setelah mendengar perkataan Chiaki. Itu berarti hanya tersisa 2 hari, 2 hari saja sebelum Jin akan menghilang lagi dari hidupnya. Jin pun terdiam, sangat kaget. Dia tak tahu kalau Chiaki sudah merencanakan semua ini.
“Chiaki, bukankah itu terlalu cepat? Kenapa kau tidak memberitahuku?”
“Ah Jin, kau bilang kau menyerahkan semuanya padaku. Kenapa? Kau tidak suka?” tanya Chiaki sambil merapatkan duduknya dengan Jin.
“Bukan…bukan tidak suka, hanya saja itu---“
“Hanya saja apa?” Kame menyela mereka tiba-tiba dan membuat pasangan itu melihat pada Kame bersamaan. “Kau tidak mengerti ya Jin? Ah~ ternyata kau memang benar-benar bodoh”
Chiaki tersenyum melihat Kame yang bisa mengerti maksudnya. Sedangkan Jin hanya memandang Kame tanpa mengatakan apapun.
“Chiaki melakukannya karena dia mencintaimu. Dia benar-benar ingin memilikimu” entah keberanian darimana ketika Kame mengatakannya. Dia sudah ikut campur dengan urusan Jin dan kekasihnya, yang sebenarnya adalah hal yang paling tak mau dia lakukan. Kame memandang Chiaki dan tersenyum pada perempuan itu.
“Ah~ kenapa Kamenashi-kun lebih mengerti aku dibanding kau Jin…” Chiaki melihat pada kekasihnya sebal, pura-pura marah.
“Bukan begitu Chiaki---“ Jin menelan ludahnya, dia sudah malas membuat alasan-alasan tak penting lagi. Tapi dia juga tak mungkin mengatakan kalau dia tak mau mengerti hal itu karena ada Kame disana. Sudah cukup dia membuat laki-laki itu tidak nyaman dengan keadaan mereka.
“Hai~ hai~ wakatta” Chiaki tersenyum lalu memegang kedua pipi Jin, dan mulai mendekatkan wajahnya pada wajah kekasihnya itu. Tangan kiri Chiaki menutup kedua mata Jin sedangkan tangan kanannya memegang leher Jin untuk menariknya lebih dekat, menciumnya.
What the hell!? Memuakkan! Kame berteriak-teriak di pikirannya. Dia muak melihat pemandangan di hadapannya. Dengan segera dia mengalihkan pandangannya ke arah lain, dan jendela disana ternyata bisa lebih menarik perhatiannya untuk saat ini.
“Sebaiknya…kalian cepat pergi” kata Kame tiba-tiba dan membuat pasangan itu melepaskan ciuman mereka. Keduanya memandang Kame bingung,. “Yea, sebaiknya kalian cepat pergi dan cepat menikah, setidaknya--” setidaknya kau lebih cepat hilang dari hadapanku, Jin. Kame melanjutkan kalimatnya dalam pikirannya.
“Setidaknya apa Kame?” Jin menatapnya penasaran. Kame memikirkan lanjutan yang lain untuk kalimatnya.
“Setidaknya aku bisa melihatmu bahagia bersama Chiaki-san. Ah sepertinya aku harus pergi, terima kasih untuk semuanya. Jya na” Kame tersenyum dibuat setulus mungkin.
“Ne, Jin… kenapa kau tidak mengantar Kamenashi-kun?”
“Eh?” Kame dan Jin melihat pada Chiaki heran. Aneh sekali Chiaki mengatakan seperti itu, tapi Kame memang sudah mengira sejak awal perempuan itu mencoba baik padanya.
“Kalian kenapa? Sudahlah, cepat antar dia!” Chiaki memilih tak ambil pusing dengan keterkejutan kedua laki-laki itu.
Beberapa saat kemudian, Kame dan Jin telah berada di depan lift. Menunggu pintunya terbuka.
“Kenapa?” Jin membuka pembicaraan.
“Apa maksudmu dengan kenapa? Aku tidak mengerti” Kame menyahut tanpa melihat pada laki-laki disampingnya itu. Dia hanya mengamati pantulan diri mereka di pintu lift.
“Kenapa kau berharap seperti itu? Kau berharap aku bahagia dengan Chiaki? Bagaimana bis---“
Kame dengan menolehkan wajahnya, melihat pada Jin.
“Dengar Jin! kau pikir aku bisa berharap apa?? Berharap kau tetap disini?? Berharap kita terus bersama?? hidup bahagia berdua?! Aku tidak mau mengharapkan yang tidak mungkin!”
“Tak ada yang tidak mungkin, Kazuya”
“Kali ini tidak mungkin. Kau dan Chiaki-san telah jauh lebih dulu menjalin hubungan. Sedangkan aku? Kau dan aku? Apa hubungan kita Jin??!”
Jin menelan ludahnya mendengar perkataan Kame.
“Kau tahu perasaanku kan? Kenapa kita tidak memulai hubungan yang baru?!” Jin mencoba menenangkan dirinya.
“Apa yang aku tahu? Kau tidak pernah mengatakan apapun, Jin. Kita hanya teman kecil yang tiba-tiba bertemu lagi…dan semuanya terjadi begitu saja. Kita tidak berhak memulai, Jin. Kau sudah bersama Chiaki, aku tidak mau memulai dengan menghancurkan hubungan kalian. Karena suatu saat nanti aku juga tidak ingin ada seorangpun yang menghancurkan hubunganku dengan pasanganku” jelas Kame panjang lebar. Dia sebenarnya memang tahu persis denga perasaan Jin padanya, tapi dia tak mungkin mengatakan itu hanya akan semakin mempersulit keadaan.
“Kazu, kau tahu…aku benar-benar bingung dengan perasaanku sekarang” kata Jin yang mulai terdengar putus asa.
“Pertemuan kita sampai disini Jin, takdir yang membawa kita ke jalan ini,. kita bisa berbuat apa? Aku harap kau bisa mengerti, karena aku juga terus mencoba untuk mengerti. Dari awal kau ditakdirkan bersama Chiaki, tapi Tuhan sangat baik Jin, membuat kita sempat bertemu lagi…”
DING!
Lift didepan mereka terbuka, ternyata kosong. Jin hanya menatap Kame.
“Aku tidak pernah menyesal melewatkan sedetikpun bersamamu, Jin” lagi, Jin hanya bisa menatap senyuman Kame, pintu lift mulai tertutup, hingga membuat Kame tak terlihat lagi di pandangannya. Jin masih terdiam beberapa detik menatap dirinya di pantulan pinti lift, mencerna lagi perkataan Kame yang masih terngiang di telinganya. Sampai akhirnya dia berbalik kembali ke apartementnya, kembali pada Chiaki, mulai sekarang akan benar-benar meneruskan hidupnya dengan Chiaki…melanjutkan apa yang seharusnya…
***
Kame mengurung dirinya seharian itu di kamar setelah sehari yang lalu dia bersikap kuat di hadapan Jin dan Chiaki. Besok mereka akan berangkat ke LA. Dan Kame mulai merasakan ada yang tak beres dengan dirinya, dia ternyata memang hanya manusia biasa. Akan terulang lagi hal yang paling Kame benci, ditinggalkan orang yang berarti untuknya. Kenapa waktu itu dia harus kembali kalau hanya untuk meninggalkannya lagi? Dan yang lebih parah sekarang Jin tidak pergi sendiri, ada perempuan yang akan menjadi istrinya. Kemungkinan juga kalau dia tak akan kembali lagi, akan selamanya pergi dari kehidupan Kame.
Perlahan dia menyandarkan kepalanya ke bantal dan menghela nafasnya berat. Dia tidak pergi ke café sejak kemarin karena dia tahu Jin akan mencarinya, dia tak mau bertemu laki-laki itu lagi, dia tak tahu harus berkata apa. Mengatakan selamat tinggal?? Kame menutup matanya dengan tangan kanannya. Dia tak tahu apa itu ide bagus atau hanya akan membuatnya semakin depresi.
Drrrtt…Drrrttt…
Kame mendengar ponselnya bergetar di meja dekat ranjangnya. Dia baru menyalakan ponselnya lagi dan sekarang dia malas melihatnya setelah tadi dia melihat banyak sekali pesan yang ditinggalkan Jin dan Koki, dan sekarang…siapa yang meneleponnya? Kame ragu-ragu melihatnya dan nama Koki yang ternyata muncul disana.
“Ou Koki?” jawabnya tak bersemangat.
“Kame –chan, apa kau baik-baik saja?” Koki terdengar lega karena Kame akhirnya menjawab teleponnya.
“Hm, aku baik-baik saja”
“Akanishi datang kemari dua hari berturut-turut ini hanya ingin menemuimu. Kau…menghindarinya lagi?”
Kame tak menjawab. Dia sudah menduganya.
“Katanya dia mencari ke universitasmu, ke rumahmu, tapi dia tetap tak bisa bertemu denganmu. Kau tahu, dia terlihat kacau”
“Sejak kapan kau jadi peduli padanya, Koki? Bukankah dia sainganmu?” Kame malah mencandai sahabatnya itu.
“Kame-chan~ aku hanya kasihan melihat dia seperti orang yang akan mati besok kalau tak bertemu denganmu. Kenapa? Apa kalian bertengkar lagi?”
“Aku hanya tak mau bertemu dengannya”
“Alasannya?”
Kame terdiam lagi, dia menggigit bibirnya pelan.
“Kame-chan?”
“Dia akan pergi besok” kata Kame akhirnya. Untuk pertama kalinya dia seperti ingin mencurahkan isi hatinya tentang Jin pada Koki. Sebelumnya mereka hanya akan bertengkar kalau membahas Jin.
“Hah? Kemana?”
“LA”
“Eh? Amerika??” Koki tampak terkejut.
“Yea”
“Lalu?”
“Seperti itu…”
“Kau tidak akan mengucapkan perpisahan?”
“Apa aku harus??”
“Demi Tuhan Kame-chan…dia itu bukan hanya orang biasa yang ada di hidupmu, bukan??!”
Lagi, Kame hanya diam, dan itu cukup membuat Koki gemas.
“Aku menunggumu di taman dekat café, sekarang!!” KLIK. Dan Koki mematikan ponselnya. Kame masih bingung, tapi dia cukup sadar dengan perintah Koki tadi. Dengan malas dia beranjak dari ranjangnya dan mengganti pakaiannya. Dia tak mau membuat Koki benar-benar menunggu. Bagaimanapun dia sudah cukup sering merepotkan Koki.
Koki menatap Kame yang nyaris seperti mayat hidup. Wajahnya nampak lesu, lebih banyak diam, tapi beruntung masih bernafas.
“Kau mengerikan” komentar Koki akhirnya setelah mereka hanya terdiam dari tadi sejak Kame tiba. Kame menoleh padanya, tapi masih tak mengatakan apapun. “Kame-chan~”
“Aku baik-baik saja”
“Kalau begitu bersikaplah dengan baik-baik saja. Kau yang baik-baik saja bukan yang seperti ini!”
Kame mengangguk-anggukan kepalanya. Koki semakin gemas, dia meraih Kame ke pelukannya dengan tiba-tiba. Membenamkan wajah Kame di bahunya. “Kalau kau perlu menangis, menangislah. Kalau kau perlu marah, marahlah. Jangan menahan semuanya seperti ini!”
“Aku tak mau menangis” gumam Kame di pelukan Koki.
“Lakukan apapun yang kau mau!”
“Aku selalu kuat di hadapannya”
“Dan sekarang dia sedang tak ada di hadapanmu, kau tak perlu bersikap kuat!” Koki menyentuh rambut Kame dan menepuk punggungnya pelan. Memberinya semangat.
“Kenapa kau jadi seperti mendukungku dengannya, Koki?”
“Hah? Apa aku terlihat seperti itu?” Koki melepaskan pelukannya dan melihat pada Kame.
“Obviously” jawab Kame pendek.
“Ah… aku hanya senang karena akhirnya sainganku itu pergi juga” kata Koki sambil menggaruk kepala plontosnya. Dia tertawa malu.
“Sudah aku duga” kata Kame sambil kembali menjatuhkan tubuhnya di pelukan Kame, membenamkan wajahnya di pundak Koki sekali lagi. Koki agak terkejut, dia pikir Kame akan menjauhinya. Tapi ternyata sekarang Kame memang sedang sangat membutuhkan dukungan, kenyamanan. Dia melingkarkan tangannya di tubuh kecil Kame, menyentuh kepalanya lagi.
“Kau sudah tahu apa yang ingin kau lakukan?”
“Aku akan selalu kuat”
“Meskipun tidak di hadapannya?” tak ada jawaban, beberapa saat semuanya jadi hening, hanya suara angin yang agak memecah suasana. Mereka masih seperti itu, hingga Koki merasakan ada cairan hangat di pundaknya. Dia melepaskan pelukan dan melihat pada Kame yang sudah meneteskan air matanya. Dia membiarkan Kame seperti itu. Akhirnya Kame bisa menunjukkan perasaannya.
“Aku tak akan pernah membuatmu menangis seperti ini Kame…”
“Hanya Akanishi Jin yang bisa membuatku seperti ini” Kame mengangkat wajahnya memandang Koki, dia tersenyum diantara air matanya.
Koki merasa tertampar dengan kalimat itu. Hanya Akanishi Jin yang bisa membuat Kame mengeluarkan air matanya…bisa membuat laki-laki yang disukainya ini merasa berat kehilangan sesuatu yang berarti. Dia sama sekali tak ada apa-apanya. Kame mungkin tak akan menangisinya seperti ini kalau suatu hari dia pergi juga. Dia tidak pantas untuk itu, hanya Akanishi Jin.. Koki menyadari semuanya dengan seketika. Bahkan disaat laki-laki yang dia anggap sebagai saingannya itu telah pergi, Koki tetap tak bisa mendapatkan apapun. Dia sudah kalah telak sejak awal.
***
Setelah seharian bersikap seperti orang yang kehilangan arah, Kame memutuskan untuk mendatangi Jin hari ini, untuk terakhir kali.
“Kazu?” Jin kaget melihat Kame berada di depan pintu apartementnya, setelah seharian kemarin dia tak berhasil menghubunginya dan sudah pasrah akan berpisah dengan Kame begitu saja, ternyata laki-laki tampan ini datang ke hadapannya.
“Sudah mau pergi?” tanya Kame yang melihat Jin membawa koper di tangannya. Sukur dia belum terlambat.
“Uhm” kata Jin sambil menyimpan kopernya ke tembok, lalu dia menghampiri Kame. “Kenapa datang? Aku pikir kau sudah tak mau melihatku lagi”
“Aku hanya mau bilang selamat tinggal… baka!” Kame memukul kepala Jin pelan, sedikit mencandainya agar suasana diantara mereka tidak terlalu murung. Tapi tanpa di duga, Jin menarik tangan Kame dan hampir membuat tak ada jarak diantara mereka. Jin menatap Kame dalam.
“Untuk terakhir kali…” sebelum Kame bertanya apa maksudnya, Jin telah mencium Kame di bibirnya, lembut… hangat… dalam… dan Kame membiarkan Jin melakukan seberapa lama pun yang dia mau. Keduanya berpikir ini kesempatan terakhir, setelah ini mereka tak akan bisa merasakan kelembutan ini, selamanya.
“…Jin??” panggil Kame setelah mereka melepaskan ciuman karena nafas meereka mulai tak beraturan.
“Aku tak mau kehilanganmu, Kazuya”
“Aku juga, Jin. Tapi ini sudah menjadi keputusan kita, kebaikan untuk semua orang. Dan yang terpenting untuk kebaikanmu dan Chiaki, bukankah kau pernah bilang kalau kau ingin punya anak banyak? Haha…kasian sekali Chiaki harus merawat anak-anak juga mengurus suami bodohnya” Kame bercanda lagi. Dia tertawa meledek, tapi siapapun akan tahu kalau itu tawa yang memaksa. Dan Jin tentu saja bisa melihatnya.
“Stop it Kazuya! jangan berakting seolah kau orang yang kuat! Kau menerima semuanya begitu saja??” Jin agak membentaknya dengan tiba-tiba. Membuat Kame harus berhenti memasang wajah cerianya yang palsu.
“Tentu saja tidak! Tapi kita tidak bisa mengubah apapun Jin. Kita memiliki kehidupan masing-masing. Aku punya keluarga dan kehidupanku sendiri, begitu juga kau…dan yang terpenting, kau memiliki Chiaki” lagi, Kame berusaha tersenyum. Jin membenarkan perkataan Kame di benaknya, kebenaran yang membuatnya muak. "Sebaiknya kau bersiap, aku juga harus pergi" kata Kame pula.
“Sampai jumpa Kazuya” kata Jin akhirnya sambil berusaha membalas senyuman Kame dan memegang kepala Kame, menyentuh rambut lembutnya.
“Selamat tinggal” sahut Kame seperti mengoreksi perkataan Jin. Dia membalikkan tubuhnya dan pergi dari sana. Tak mau menunggu hingga Jin yang pergi dari pandangannya, lebih baik dia yang seperti meninggalkan Jin.
Dia sudah siap dengan semuanya, dia akan melanjutkan hidup yang semestinya seperti yang diinginkan ayahnya, dia akan menjadi orang yang bisa membuat ayahnya bangga. Meski tanpa Jin.
Jin terduduk di sofa nya, life must go on…Tomorrow is a new life in a new place… a new day… without him. Tanpa terasa Jin telah meneteskan air matanya. Air mata yang sudah ditahannya sejak lama. Dia pun mengingat satu kalimat yang diucapkan Kame dulu.. “Believe me, there’s a place in my heart belongs to you” setidaknya Jin tahu kalau Kame juga merasakan hal yang sama dengannya. But it can’t be…it just can’t be…
***
O.W.A.R.I
A/N : finally it's done! kelar jg penpik prtama qta \^^/
well, not good enough... qta masi perlu bnyk blajar, lebih kreatip lg,
lebih produktip imajinasinya hahaaa~~
tp sejauh ini qta puas koq. dngn bermacam aral melintang,
ide2 yg mentok, sampe gulung2 ngbaca lg penpik qta yg keitung berani bwt ukuran
pemula... :p qta ngarep ntar2 bs bkin penpik yg lebih mutu dr penpik yg udh bermutu ini XDDD
thx bwt yg udh nyempetin baca..
gomen~ kalo gag memuaskan
gomen juga kalo bkin tmen2 ilpil..
hoho~ but eniwei.. AKAME LOVE ALWAYS IN DA AIR!!
next project, mungkin qta bkal nyoba pairing laen
hehe...
tp tetep AKAME the best couple ever!!
arigachuu minna~
aishitemash X33
-Nachan + NPhe + Rie-
(The Three Musketters)
Selasa, 25 Agustus 2009
IT CAN'T BE- Chapter 8 (END)
Diposting oleh 3-Musketters di 22.01
Label: akame, fanfic, multichapter, three musketters
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar