THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 18 Agustus 2009

IT CAN'T BE- Chapter 1

Tittle : IT CAN’T BE
Pairing : Akanishi Jin X Kamenashi Kazuya (our lovely AKame <3)
Author : The Three Musketters (Nachan + NPhe + Rie)
Rating : NC-17 for chapter 4, 6, 7 ^^

Chapter 1

“Coffelatte” Jin menaruh uang nya di counter setelah menyebutkan pesanannya. Kame mengangkat wajahnya merasa hapal dengan suara di hadapannya, dan dia memang tidak salah dengar.
“Yo!” kata Jin lagi sambil tersenyum dan membuat tanda peace yang di gerak-gerakan dengan tangan kanannya. Kame menghela nafasnya, mencoba bersikap tak peduli. “Kau pasti kaget melihatku ada disini selarut ini,ne?”
Kame tak menjawab, dia memang heran kenapa orang ini masih ada disini padahal sudah pukul sebelas lewat. Tapi dia tak mau menanyakannya. Selama Jin memang tak bermaksud menganggu pekerjaannya, mungkin lebih baik kalau Kame tak memulai masalah dengannya.
“Aku tinggal di dekat sini” lanjut Jin lagi, yang terus terang membuat Kame cukup terkejut. Kenapa dia tinggal di dekat sini??! Padahal perusahaan ayahnya jauh dari sana, setidaknya harus naik kereta. Lagipula Kame tahu kalau dia tinggal di rumah yang tak jauh dengan rumah orang tuanya. Kenapa dia pindah kemari? Ingin memata-matai Kame?? Pasti begitu!
Kame baru akan berkata dan memprotesnya, ketika Jin mendahuluinya.
“Pacarku juga tinggal tak jauh dari sini, jadi memudahkanku untuk bertemu dengannya”
“Hah???!” akhirnya seruan yang keluar dari mulut Kame. Dia nyaris tak percaya ternyata Jin mau susah-payah tinggal berjauhan dengan kantornya hanya demi bisa berdekatan dengan kekasihnya?! Dasar orang bodoh! maki Kame dalam hatinya.
“Kenapa? Kau tak perlu sekaget itu.. aku sudah pernah cerita soal Chiaki kan?”
Kame mencoba mengendalikan dirinya. “Iya aku tahu” katanya pendek.
Dia sudah mendengar cerita tentang kekasih Jin itu, seorang wanita cantik yang lebih tua setahun dari Jin. Mereka sudah berpacaran sejak di SMU dulu, berarti sudah hampir 7 tahun. Tapi mereka jarang bertemu karena mereka menjalin hubungan jarak jauh sejak lulus SMU. Chiaki berkuliah di Osaka saat Jin masih di Tokyo, dan begitu dia kembali ke Tokyo, Jin ternyata pergi berkuliah ke LA. Setelah itu Kame tidak tahu lagi, dia malah berpikir mungkin mereka sudah putus, tapi ternyata tidak.
“Aku akan mengenalkanmu padanya nanti. Dari dulu aku selalu tidak sempat mengenalkan kalian” kata Jin sambil menerima coffelatte-nya.
Kame hanya mengangguk, tak mau bereaksi banyak.
“Kame-chan, aku akan pulang duluan. Kau tidak apa-apa menutup café sendirian?” suara Koki yang datang dari belakang menginterupsi mereka.
“Ah, tidak apa-apa Koki, kau pulang saja duluan” sahut Kame, tersenyum pada sahabatnya itu. Jin memperhatikannya, Kame tersenyum pada orang itu sedangkan dari tadi siang dia sama sekali belum diberi senyuman, padahal mereka sudah cukup lama tak bertemu. Jin memang bisa memakluminya, semua itu karena masalah Kame dengan ayahnya. Tapi mau tak mau dia merasa cemburu juga, Kame yang dia kenal sepertinya memang sudah mulai berubah.
“Aku akan menyiapkan makan malam. Kau mau miso atau ramen??” kata Koki lagi, seperti tak memperdulikan keberadaan Jin disana. Dia pernah bertemu Jin sekali saat dulu mengantar Kame ke rumahnya, tapi dari awal mata mereka bertemu saja, sepertinya mereka tak akan pernah menjadi teman baik. Walau keduanya dekat dengan Kame.
“Miso sepertinya enak. Aku akan membeli jus juga nanti”
“Ok, ah… aku mau bir”
“Ok” Kame mengangkat jempolnya mengerti dengan pesanan Koki. Dia sendiri tak begitu suka dengan bir, hanya sekali-sekali saja. Dia kurang bisa bersahabat dengan alcohol dari sejak dia mencobanya di ulang tahunnya yang ke-20. Dia gampang sekali mabuk, dan untungnya waktu itu ada Jin yang menemaninya. Karena itu Jin juga sudah sangat tahu kalau Kame dan alcohol bukanlah pasangan yang cocok.
“Kau tinggal dengan si botak itu?” tanya Jin setelah Koki pergi dari sana.
“Hmm” jawab Kame sambil menyibukkan dirinya membereskan café. Sudah akan pukul 12, dan dia harus menutupnya. “Café nya sudah tutup” kata Kame lagi setelah dia membalikkan tanda OPEN di depan pintu café nya menjadi CLOSED.
“Aku tahu” kata Jin.
“Lalu kenapa kau tidak segera pulang?” tanya Kame pula, sambil mematikan lampu di dapur, dan mengambil tasnya di ruang staff. Dia juga melepas kemeja dan apron yang menjadi seragam wajib disana.
“Hah?? Kau mengusirku??” kata Jin yang baru sadar dengan perkataan Kame.
“Aku sudah mau pulang, kau tak mau aku tinggal disini sendirian bukan??!”
Kame merapikan pakaiannya, sebelum kemudian membawa tasnya dan berjalan keluar sambil mematikan lampu. Jin otomatis mengikutinya. Mereka sudah diluar, hawa dingin tengah malam menyergap tubuh mereka. Jin menghirup coffelattenya yang masih hangat.
“Kau menutup café nya hanya beberapa menit setelah si botak itu pergi. Kenapa tadi dia tak membantumu saja dulu?” komentar Jin, saat mereka mulai berjalan bersama menyusuri trotoar. Jin jadi terus mengikuti Kame.
“Jangan berkata begitu, kau juga tak membantuku tadi” sahut Kame datar.
“Aku pikir kau tak perlu bantuanku. Dari tadi kau mengacuhkanku seperti aku orang bodoh” akhirnya Jin mengatakan yang sejak tadi dia rasakan. Kame agak terhenyak dengan ucapan Jin. Dia juga menyadari itu, dia bertingkah keterlaluan pada temannya ini. Hanya karena seharian ini dia merasa melalui hari yang menyebalkan.
“Gomen” gumam Kame, tanpa mencoba mengatakannya langsung pada Jin.
“Eh???” Jin menoleh pada Kame, dia mendengarnya, tapi dia tak yakin.
“Aku bilang, gomen” kata Kame, berusaha biasa saja. Jin tersenyum puas.
“Ii yo” katanya dan kembali meminum kopi nya.
Kame pun tersenyum diam-diam. Dia jadi malu pada dirinya sendiri. Dia benar-benar kekanakan di usianya yang sudah 22 tahun. Seharusnya dia tak harus jadi marah pada Jin hanya karena dia ada masalah dengan ayahnya. Dia terlalu berpikir kalau Jin akan memaksanya seperti yang dilakukan ayahnya. Padahal selama ini Jin selalu pengertian padanya, selalu mengalah.
“Eh…”
“Apa??” Jin melihat padanya heran, karena Kame tiba-tiba berhenti berjalan.
“Kemana arah tempat tinggalmu?”
“Ah, kesana. Kau mau main ke apartementku?” Jin menunjukkan arah sebaliknya dari arah yang sedang mereka tuju. Dia malah senang karena berpikir Kame mau mengunjungi tempatnya.
“Kau salah jalan, Akanishi” Kame mamandangnya datar. Dia benar-benar tak habis pikir dengan pria ini.
“Eh? Oh, benar juga…” Jin melihat ke sekelilingnya.
“Baka” gumam Kame sambil memegang keningnya sendiri. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sebaiknya kau cepat pergi sana, ini sudah hampir pagi” katanya pula.
“Memangnya dimana tempat tinggalmu dan si botak itu?”
“Namanya Koki… Tanaka Koki” Kame mengoreksi perkataan Jin yang terus-terusan memanggil Koki dengan sebutan ‘si botak’.
“Ah yea, whatever… dimana kalian tinggal?”
“Disana” Kame menunjuk sebuah flat yang tampak sederhana tapi tampak nyaman untuk seorang mahasiswa.
“Hmm, lantai berapa?”
“Dua”
“Nomor?”
“23” Kame cepat melihat pada Jin setelah selesai dengan jawaban yang seperti interogasi itu. “Kau akan memberitahu ayahku lagi?”
“Kau seharusnya jangan khawatirkan aku. Kemarin yang memberitahu tempat kerjamu kan si botak… ah, Hataka.. Nakata… siapalah nama temanmu itu!”
“Tanaka” kata Kame mengoreksi lagi.
“Yea, dia kan yang memberitahu ayahmu? Siapa tahu dia juga sudah memberitahu tempat tinggal kalian” kata Jin lagi. Kame jadi terdiam. Jin benar juga, kemarin Koki yang mengatakan semuanya pada ayahnya. Seharusnya dia berhenti mencurigai Jin.
“Baiklah, aku pulang. Jaa ne” Jin langsung berbalik tanpa menunggu perkataan Kame. Laki-laki yang lebih muda itu hanya melihat Jin yang makin menjauh. Mendadak dia jadi merasa bersalah. Hari ini memang sangat aneh, biasanya dia melewatinya dengan tenang dan biasa tanpa gangguan dari orang-orang ayahnya, tapi sekarang, Jin tiba-tiba ada di sekitarnya lagi seperti saat mereka di sekolah dulu. Kame tak mau mengakuinya kalau dia sebenarnya sangat senang.
***
“Dia memata-mataimu??” kata Koki setelah Kame menceritakan tentang keberadaan Jin disana tadi. Kame mengangkat bahunya.
“Sepertinya bukan…” Kame ingat kalau Jin pindah karena ingin berdekatan dengan kekasihnya.
“Hah? Lalu? Kenapa dia tinggal di dekat-dekat sini??” tanya Koki lagi sebelum membuka kaleng birnya.
“Dia bilang, dia ingin lebih dekat dengan pacarnya”
“Oh, dia sudah punya pacar…” komentar Koki setelah dia meminum birnya.
“Yea, sudah hampir 7 tahun dia dengan perempuan yang sama”
“Sugeee, aku pikir dia sedikit seperti playboy”
“Kau berpikir begitu?”
“Terlihat seperti itu. dia jenis laki-laki yang suka mempermainkan perasaan orang” kata Koki, menebak, tapi seperti men-judge Jin. Kame jadi mengingat-ingat sikap Jin. Selama dia mengenalnya, Jin memang gampang sekali di dekati wanita, gampang sekali berbuat baik pada mereka, hingga banyak yang salah mengira. Mungkin dari sana bisa menjadi alasan kenapa Jin dianggap seorang playboy. Penilaian Koki tak sepenuhnya salah.
“Dia memang disukai gadis-gadis” kata Kame.
“Benarkan? Tapi aku rasa dia tak hanya akan menyakiti gadis-gadis, dia bisa menyakiti siapapun. Jadi sebaiknya kau tidak usah terlalu dekat dengannya”
“Eh? Tapi aku sudah mengenalnya sejak umurku 15 tahun…”
“Kau jangan menaruh hati padanya” Koki tiba-tiba menegaskan.
“HAH??” Kame memandang Koki kaget. Tak menyangka Koki berpikir seperti itu.
“Aku tahu kau mengaguminya. Dia type laki-laki yang ingin kau tiru, tapi aku tak mau dia menyakitimu” kata Koki lagi, seperti tak memperdulikan belalakan Kame yang memandangnya tak percaya.
“Kau ini bicara apa…??” gumam Kame pelan, saat lagi-lagi Koki mengacuhkannya dan mengambil mangkuk bekas mereka makan, ke dapur.
Kame menggelengkan kepalanya, sudahlah… anggap mereka tak pernah membicarakan ini.
“Biar aku yang mencucinya, Koki” kata Kame sambil beranjak dan mendekati Koki yang sudah akan mulai mencuci mangkuk dan gelas kotor mereka. Baru saja Kame memakai sarung tangan untuk mencuci, tiba-tiba saja dia merasakan tangan Koki melingkar di pinggangnya. Tubuhnya merapat di punggungnya, dia bisa merasakan dada Koki yang bidang dan hembusan nafasnya yang mengenai pinggir wajahnya. Kame tak bisa bergerak beberapa saat. Mereka memang sudah sering sekali berpelukan, tapi yang ini rasanya Kame dapat menangkap sesuatu yang lain.
Koki menghirup rambut Kame yang wangi, lalu kembali diam di pinggiran wajah laki-laki yang lebih muda beberapa bulan darinya itu.
“Ini maksudku. Kau mengerti kan??” bisik Koki tiba-tiba, suaranya membuat Kame terkesiap, dia merasakan seperti getaran ke tulang punggung hingga ke seluruh tubuhnya. Jantungnya berdegup, dan darahnya jadi seperti berdesir-desir ketika dia merasakan debaran dada Koki di punggungnya. Geez, doushio?????? Kame tak tahu harus berbuat apa.
Sebelum Kame benar-benar melakukan hal bodoh, seperti tak sadarkan diri atau tertidur disitu, Koki tiba-tiba melepaskan pelukannya. Kame menghembuskan nafasnya lega sekali. Dia tak berani menengok ke belakang, untungnya Koki segera pergi dari sana. Dan dia pun berpikir, inilah maksud Koki?? Maksudnya dia…Kame menggelengkan kepalanya. Pelukan tadi memang terlalu jelas, terlebih debaran di dadanya…Koki seperti ingin membuat Kame tahu tentang debaran di dadanya itu. Ya Tuhan...
***

0 komentar: