THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 18 Agustus 2009

IT CAN'T BE- Chapter 3

Tittle : IT CAN’T BE
Pairing : Akanishi Jin X Kamenashi Kazuya (our lovely AKame <3)
Author : The Three Musketters (Nachan + NPhe + Rie)
Rating : NC-17 for chapter 4, 6, 7 ^^

Chapter 3

Suara jam weker di samping ranjang Jin, membangunkan Kame dari tidur nyenyaknya. Rasanya sudah lama dia tak merasakan tidur senyaman ini, apa mungkin karena dia berada di kamar Jin dengan aroma Jin di sekelilingnya!? Kame hanya tersenyum sendiri dengan pikiran konyolnya. Tangannya meraih weker dan mematikannya, pukul 7 tepat, rupanya Jin harus biasa bangun jam segini. Benar juga, dia harus ke kantor sebelum pukul 9, sedangkan kantornya sekarang cukup jauh dari apartementnya.
Kame turun dari ranjang Jin, dan perlahan jalan keluar. Dilihatnya Jin masih tertidur di sofa, dia terlihat kelelahan. Kame jadi tak tega untuk langsung membangunkannya. Beberapa detik dia berdiri disana, tak tahu apa yang harus dia lakukan, sampai tiba-tiba dia teringat untuk membuatkan Jin sarapan. Setidaknya dia harus berterima kasih karena Jin sudah rela memberikan kamarnya untuk dia tidur tadi malam.
“Aku masih ada waktu 3 jam sebelum pergi ke café, masih lama” gumam Kame. Dia pun mulai melihat-lihat dapur Jin, karena semalam dia tak begitu memperhatikannya. Dapur itu sangat bersih, terlihat sekali kalau Jin jarang memakainya. Kalau hanya untuk menghangatkan makanan saja, microwave nya sudah cukup. Karena itu meski barang-barang disana tampak lengkap, tapi seperti belum pernah disentuh. Kame tersenyum sendiri, si bodoh itu… gumamnya dalam hati. Jujur saja dia juga tak habis pikir kenapa Jin bisa bertahan selama itu dengan Chiaki, padahal seharusnya Jin memang mendapatkan gadis yang bisa segala hal, karena dia cukup manja dan selalu menyusahkan orang. Kame ingat sekali kalau sejak dulu Jin sangat tergantung pada ibunya, mungkin salah ibunya juga yang terlalu memanjakan dia.
Kame melihat-lihat isi lemari es Jin. Dan seperti yang dia duga, orang ini pasti malas mengisi lemari es nya dengan bahan-bahan makanan yang penting. Hanya ada makanan yang tinggal di hangatkan, beberapa bungkus roti, telur, sebotol jus dan berkaleng-kaleng bir juga sebotol champagne dan wine. Kame mengeluh pelan, dia lebih mementingkan alcohol untuk memenuhi lemari es nya… pikir Kame.
“Jadi kalau begini, aku harus berbelanja dulu…” kata Kame lagi pada dirinya sendiri. Dia ingat tadi malam melihat toko 24 jam di dekat apartement Jin ini. Dia pun memutuskan untuk keluar sebentar, setelah membersihkan dirinya.

Pukul 8 kurang, Jin terbangun. Dia mengusap-usap matanya sebentar sebelum akhirnya sadar dia berada di sofa karena semalam ada Kame yang menginap… Ah apa dia sudah bangun?? Pikir Jin, dia bangun dari sana dan menuju kamarnya. Tapi dia kaget karena tak melihat Kame disana. Dia pun melihat ke kamar mandi, tidak ada, di dapur juga tidak ada… apa dia pergi tanpa bilang padaku?! Pikir Jin lagi, tak tahu kenapa tapi rasanya dia mendadak panik. Kenapa dia tak membangunkanku?! Jin melihat ke meja di ruang televisinya, ponsel Kame masih ada disana.
“Hah??!!” Jin bingung. Apa mungkin Kame terburu-buru sampai tak membawa ponselnya?? Apa si botak itu yang menjemputnya???!! Jin benar-benar sudah berpikir seenaknya. Dia mengambil ponsel Kame dan kunci mobilnya, dia memang jarang memakai mobil untuk bepergian, tapi rasanya sekarang dia harus cepat-cepat mencari Kame.
“Kau mau pergi?” tiba-tiba langkah Jin yang sudah terburu-buru, terhenti oleh Kame yang datang dengan kantong belanjaan di tangannya.
“KAZUYA!”
“Hah??! Kau kenapa?” Kame agak kaget dengan seruan Jin, yang tiba-tiba juga memanggil nama depannya. Sudah lama Jin tak memanggilnya seperti itu lagi.
“Kau dari mana??!”
“Aku tadi membeli selai dan susu sebentar, untuk sarapan. Kau tahu Akanishi, kau harus sarapan sebelum berangkat bekerja” kata Kame sok menasehati dan tak mempedulikan sikap aneh Jin tadi. Dia berjalan melewati Jin menuju dapur. “Oh iya, kau mau pergi kemana dengan pakaian seperti itu?” tanya Kame pula menunjuk Jin yang masih dengan piyama nya. “Kau baru bangun kan? Kau pasti belum ke kamar mandi”
“Aku tadi… aku pikir kau pergi tanpa bilang padaku” kata Jin akhirnya. Dia sudah agak tenang dan lega karena pikiran-pikirannya tadi ternyata salah.
“Eh?? Aku masih punya sopan santun, Akanishi…” kata Kame sambil tersenyum, dan Jin membalasnya dengan tertawa kecil.
“Yea, kau benar” katanya dan menyalahkan otaknya yang selalu berpikir berlebihan. “Ah, apa yang mau kau buat??” tanya Jin ketika melihat Kame mengambil sebungkus roti dan telur dari lemari es nya.
“Roti bakar, tidak apa-apa kan??”
“Ii yo” kata Jin sambil mengikuti Kame ke dapur dan melihatnya mulai membakar roti, juga menggoreng telur.
“Ini hanya makanan yang mudah, aku yakin kau sudah sering membuatnya sendiri” kata Kame.
“Tidak juga…” Jin menggelengkan kepalanya.
“Hah??”
“Aku lebih sering membeli di restoran siap saji untuk sarapan sebelum berangkat ke kantor”
Kame menghela nafasnya, lagi-lagi seperti yang sudah dia duga. Laki-laki ini benar-benar sudah seperti laki-laki lajang kantoran kebanyakan, sibuk dan tak sempat mengurus dirinya sendiri.
“Kau sepertinya memang harus cepat menikah, Akanishi…lihat badanmu sekarang, kurus begitu” komentar Kame.
“Eh? Aku kurus??”
Kame mengangguk , dan Jin malah tersenyum senang.
“Yokatta na~ akhirnya aku bisa lebih kurus”
Kame tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, baka…pikirnya.

Beberapa saat kemudian makanan yang dibuat Kame pun selesai, Jin yang sudah membersihkan dirinya sekarang duduk berhadapan dengan Kame di meja makan, dengan berapa lembar roti bakar dan sebuah telur goreng, juga segelas penuh susu hangat di depannya, tapi Jin tak melihat apapun di depan Kame.
“Eh? Mana makananmu?” tanyanya.
“Aku tak biasa makan pagi, kau saja…” kata Kame tenang.
“Apa? Dari tadi kau begitu panjang lebar menasehatiku agar selalu makan pagi, tapi kau sendiri tidak?! Curang sekali!” protes Jin. Kame agak kaget, tak menyangka Jin akan memprotesnya. Dia mengakui kalau tindakannya itu memang tak benar, tapi dia memang tak biasa sarapan sepagi itu.
“Ehm… aku benar tidak apa-apa. Aku biasa makan di café atau sebelum berangkat nanti”
“Sokka… kalau begitu aku juga tak usah makan, aku pergi saja” kata Jin tiba-tiba. Dia melihat jam tangannya, dan mulai beranjak dari sana sambil mengambil jasnya.
“Jangan Jin!” Kame langsung menahannya, dan tak sadar jadi memanggil Jin dengan nama depannya juga. Nama yang sudah lama tak dia sebut. Jin tak jadi pergi dan memandang Kame terkejut. Mereka saling memandang beberapa detik, hari ini keduanya sudah keceplosan memanggil nama masing-masing seperti dulu lagi “Ah, kau… kau tidak boleh tidak sarapan…” kata Kame yang jadi salah tingkah. Jin hanya diam, tak tahu juga harus berkata apa. “Aku sudah susah-susah membuatkannya, kau tak boleh mengacuhkannya begitu saja”
“Tapi aku tak mau makan sendiri…” kata Jin akhirnya. “Aku akan makan kalau kau juga makan”
Kame tak punya pilihan lain, daripada Jin tidak sarapan, dia pun mengiyakan. “Ya sudah… ayo kita makan”
Jin tersenyum puas, dia pun kembali duduk di kursinya. Dia mengambil sebuah roti, memotongnya dengan tangannya, lalu menyodorkannya ke mulut Kame, dan membuat laki-laki yang lebih muda itu agak terhenyak. Tapi dia pun membuka mulutnya dan membiarkan Jin menyuapinya. Mereka saling melempar senyum sambil terus melanjutkan sarapan mereka. Suasana pagi itu terasa lain untuk keduanya, seperti mereka menemukan lagi sesuatu yang sudah lama mereka rindukan.
***
Kame di sambut dengan tatapan dingin Koki hari itu saat dia datang ke café. Kame jelas tahu penyebabnya, pasti karena semalam dia menginap di tempat Jin. Sebenarnya Kame tak mau ambil pusing dengan sikap Koki itu. Dia tak tahu harus menjelaskan apa dan untuk apa. Dia memang tak bisa menyalahkan Koki tentang perasaannya, tapi dia juga tak mau Koki terlalu banyak berharap atau lebih parah sampai berani mengaturnya seolah-olah mereka memang telah ada sesuatu.
“Ohayo” sapa Kame mencoba bersikap biasa.
“Kau tidak diantar?” Koki malah bertanya, suaranya dingin sedingin tatapannya.
“Tadi dia langsung pergi, harus bekerja”
“Oh” kata Koki pendek sambil berjalan ke dalam café dan mulai membereskan keperluan untuk mulai membuka café.
Kame menghela nafasnya, dia sudah siap kalau misalnya Koki akan mengacuhkan dia sepanjang hari ini.
“Apartementnya seperti apa?” tanya Koki tiba-tiba ketika seperti biasa mereka bersantai sambil menunggu pengunjung. Biasanya mereka sarapan bersama, tapi Kame yang sudah kenyang jadi hanya menemani Koki.
“Ehm… apartement biasa”
“Lebih bagus dari tempat tinggalku kan?”
Kame hanya tersenyum menjawabnya. Koki balas tersenyum kecut, senyum pertama yang dia perlihatkan sejak tadi, walau tampak terpaksa.
“Ada berapa kamar?”
“Satu”
“Kalian tidur berdua??”
“Eh??”
“Kau kan tak pernah mau tidur satu ranjang denganku”
“Aku juga tidak tidur satu ranjang dengannya…”
“Oh ya? Jadi kau tidur di sofa juga??”
“Dia yang tidur di sofa…” Kame agak mengerutkan keningnya tak nyaman dengan bahasan aneh ini.
“Sokka… ternyata dia seorang gentleman” komentar Koki.
“Apa maksudnya, Koki??” Kame benar-benar heran kenapa Koki harus membahas ini.
“Aku sudah memperingatkanmu bukan, Kame-chan??” Koki tiba-tiba memandangnya. Matanya menyiratkan hal yang Kame yang tak begitu mengerti, tapi dia tak suka dengan pandangan itu.
“Koki, aku…” Kame baru akan meminta penjelasan yang mudah-mudahan tidak seperti yang dia pikirkan, tapi mendadak sebuah jari mengenai bibirnya yang sudah agak terbuka. Itu jari Koki, mengindikasikan agar dia tak harus mengatakan apapun.
“Aku tahu apa yang ingin kau katakan” kata Koki, dia melepaskan jarinya dari bibir Kame perlahan. Kame merasa dadanya berdebar, seperti waktu itu. Kame baru menyadarinya kalau ini bukan debaran yang nyaman, tidak seperti saat dia bersama Jin. “Dan aku juga tahu kalau sebenarnya kau mengerti maksudku” tambah Koki pula.
Kame memang bisa menangkap maksudnya dari awal, tapi siapa juga yang ingin mempercayai hal seperti itu? Kame jadi menyangkalnya sendiri dan dia tak mau yakin sebelum Koki sendiri yang menjelaskannya.
“Aku tak mengerti” kata Kame akhirnya. Dia hanya ingin agar Koki langsung menjelaskannya dengan benar di hadapannya. Koki memandang Kame beberapa detik, sampai tiba-tiba dia mengangkat jarinya tadi yang menyentuh bibir Kame. Dia mendekatkan jari itu ke bibirnya sendiri, menciumnya. Mau tak mau Kame merasa merinding juga melihat pemandangan di hadapannya. Dia yakin sudah, kalau maksud Koki memang itu, seperti yang selama ini dia kira. Yabai.
“Koki…” desis Kame.
“Kau sudah mengerti??” tanya Koki pelan. Aku tak mau mengerti! jawab Kame dalam hati. “Aku…”
“Ah ada pengunjung! Aku akan melayani mereka, kau selesaikan saja dulu sarapanmu” kata Kame tampak sengaja memotong kalimat yang mau diucapkan Koki. Kame sudah mengira kalau sahabatnya pasti akan menyatakan sesuatu, daripada mendengarnya dan nanti dia bingung, lebih baik Kame tidak mendengarnya. Biar saja…dia tak mau tahu.
***
Malam itu hujan turun cukup deras, Kame baru saja tiba di flat Koki setelah membeli sesuatu untuk makan malam mereka berdua.Koki menunggu di flatnya, karena mereka hanya punya satu buah payung. Kame berhenti sebentar di dekat tangga saat dia melihat seseorang keluar dari tempat Koki. Kame mengenalnya, dia Yoshida-san, anak buah ayahnya… apa yang dia lakukan disini? Mencariku!? Pikir Kame. Perasaannya sedikit tidak enak saat dia lihat Koki mengobrol dengan sopan pada pria itu, dan Yoshida-san memberinya sebuah bungkusan…Kame bersembunyi sebentar hingga Yoshida-san pergi dari sana. Lalu dia baru masuk ke tempat Koki, dia pura-pura tidak melihat apapun. Dia ingin tahu apa Koki akan menceritakannya atau justru akan menyembunyikannya?! Tapi ternyata semua lebih dari yang dia duga.
“Uang apa itu Koki??” tanya Kame langsung, matanya menangkap setumpuk uang di tangan Koki. Itu rupanya bungkusan yang tadi diberikan Yoshida-san…??! Koki tampak panik saat Kame menanyakan itu, dia mungkin tak menyagka Kame mendadak sudah ada disana.
“Ah ini…”
“Kau mendapatkannya dari Yoshida-san? dari ayahku?!” tanya Kame cepat, dia mulai mengerti semuanya. Koki mendapat uang dari ayahnya untuk terus memberi informasi tentang dirinya!? Tega sekali…
Koki memandang Kame, shock. Tak menyangka Kame akan mengetahuinya.
“Ma-maksudku bukan itu, Kame-chan… ini hanya…”
“Apa? Kau jelas-jelas melakukannya kan? Kau seperti menjual informasi tentang aku pada ayahku!? Kau meminta imbalan padanya untuk menjagaku!!?” Kame mulai kalap. Dia tak bisa menahan dirinya lagi.
“Tidak, Kame…”
“Cukup! Aku kecewa padamu, Koki!” Kame menyudahi semuanya. Rasanya dia sudah muak dengan semua ini. Selama ini dia sangat mempercayai Koki, walau dia sudah memberitahu ayahnya tentang tempat kerjanya, Kame sudah memaafkannya. Tapi sekarang rasanya Koki sudah keterlaluan. Padahal Kame sudah mencoba bertahan untuk tetap di dekatnya karena dia tak mau menjauhi Koki setelah Koki menunjukkan perasaannya. Bagaimanapun Koki sahabatnya, orang yang sudah berkali-kali membantunya. Sayangnya sekarang, Kame sudah tak bisa menahan dirinya lagi. Dia sudah merasa cukup. Cukup dengan setiap tindakan ayahnya yang tak mau juga melepaskannya.
Kame keluar dari flat Koki dengan kekesalan yang tak bisa diungkapkan lagi. Koki yang sudah berusaha mencegahnya tak dia perdulikan. Dia keluar tanpa payung, hujan deras langsung membuatnya basah kuyup. Tapi Kame tak peduli, dia terus berjalan tanpa tahu kemana. Dia tersadar telah berada di dekat apartement Jin saat dilihatnya Jin berlari ke arahnya di tengah derasnya hujan.
“Kazuya??!!” panggil Jin, agak berteriak karena suaranya nyaris tertelan suara hujan. “Kau sedang apa disini??!”
“Kau sendiri, kenapa kau berhujan-hujanan??” Kame malah bertanya.
“Aku baru kembali dari kantor”
“Sokka”
“Sudahlah, ayo ke apartementku!” Jin menarik tangan Kame sebelum Kame sempat menolak.

Mereka berada di apartement Jin beberapa saat kemudian. Jin memberi Kame handuk dan membuatkannya secangkir teh hangat. Kame mengusap wajah, dan rambutnya yang sudah basah sekali. Lalu meminum teh yang dibuatkan Jin, perlahan rasa hangat mulai menjalar di seluruh tubuhnya.
“Ada apa?”
Kame menggelengkan kepalanya pelan.
“Jangan bohong…”
Kame terdiam beberapa detik sampai akhirnya dia melihat pada Jin.
“Koki mendapat uang dari ayahku sebagai imbalan” kata Kame akhirnya. Jin mendengarkan Kame dan sudah mengira itu sebelumnya.
“Dia ternyata seperti yang aku duga…”
“Aku benar-benar tak mengerti, kenapa Otousan sampai melakukan ini padaku??!” kata Kame sedikit beremosi.
“Beliau hanya ingin yang terbaik untukmu, Kazu”
“Oh iya? Dengan memaksaku menjadi penerusnya?? Aku tak merasa itu baik untukku, karena aku tak akan bahagia”
“Kau belum mencobanya…”
“Kenapa aku harus mencobanya? Aku tidak tertarik!”
“Setidaknya kau penuhi keinginannya untuk kau berkuliah…”
Kame memandang Jin tajam setelah laki-laki itu selesai dengan kalimatnya. Kame paling tidak suka di atur, apalagi diberitahu soal kuliahnya.
“Aku sudah bilang kau tidak berhak memberitahuku soal itu”
“Itu bukan hal yang buruk bukan? Apa salahnya kau meneruskan perusahaan ayahmu, kau sendiri pun sepertinya tidak tahu apa yang ingin kau lakukan. Kau hanya egois, Kazu. Kau hanya ingin menunjukkan pada ayahmu kalau kau bisa menjalani semuanya tanpa bantuan beliau, iya kan??” kata Jin panjang lebar dan jelas membeberkan kenyataan yang memang dihadapi Kame. Tapi Kame tak mau mengakui itu, dia menyangkalnya.
“Kau terlalu banyak bicara, seperti kau sangat mengerti aku!” bentak Kame.
“Aku memang sangat mengerti seorang Kamenashi Kazuya” kata Jin yakin. Tapi Kame semakin dengan pendiriannya dan keegoisannya. Dia tak mau mengakui semua yang dikatakan Jin, tidak sedikitpun.
“Aku tak mau mendengarkanmu lagi!” kata Kame tiba-tiba. Dia melepaskan handuk Jin, menyimpan teh nya, lalu berjalan keluar dari apartement Jin. Dia sengaja tak mendengar panggilan Jin. Dua kali dia seperti ini, tak mau mendengar perkataan siapapun. Sekarang dia sedang ingin sendiri, memikirkan semuanya sendiri dan tak ingin mendengar pendapat dari manapun. Dia kesal, pada semuanya… dan tampaknya dia juga mulai kesal pada dirinya sendiri.
“Kazuya!” Jin mencoba mengejar Kame, tapi mendadak dia jadi bersin-bersin dan tubuhnya menggigil. “Oh, shit!” gerutunya. Sepertinya dia akan sakit. Dia pun memutuskan untuk tak mengejar Kame, dia tahu tampaknya Kame butuh sendiri.
***

0 komentar: