THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 18 Agustus 2009

IT CAN'T BE- Chapter 5

Tittle : IT CAN’T BE
Pairing : Akanishi Jin X Kamenashi Kazuya (our lovely AKame <3)
Author : The Three Musketters (Nachan + NPhe + Rie)
Rating : NC-17 for chapter 4, 6, 7 ^^

Chapter 5

“Aku dengar kau sakit?” kata Chiaki tanpa melihat pada Kame, apalagi menyapanya. Wajahnya tanpa ekspresi.
“Yea, aku sedikit tidak enak badan”
“Sokka… tapi sepertinya sekarang kau sudah sehat?”
“Ehm, sudah lebih baik… ah, kapan kau kembali? Aku pikir masih seminggu lagi kau di Yokohama?” Jin cepat mengalihkan bahasan, membuat semuanya jadi lebih ringan. Karena terus terang entah kenapa dia merasakan atmosfir tak enak diantara mereka.
“Aku sengaja pulang karena mendengar kabar kau sakit dari sekretarismu”
“Eh? Aku jadi tidak enak…” Jin mencoba tertawa, dan itu jelas terdengar konyol.
“Tapi rupanya aku tak perlu khawatir, sudah ada yang menggantikan aku disini…” kata Chiaki lagi dan melirik Kame masih dengan pandangan datarnya, hanya untuk Kame rasanya itu seperti pandangan tidak suka. Dia mengamati pakaian yang dipakai Kame, damn… Kame memakai piyama Jin yang kebesaran! Rasanya Kame ingin menghilang saja dari sana, walau logisnya bukan masalah besar kalau laki-laki saling meminjam pakaian. Tapi tatapan Chiaki sangat membuat Kame merasa tidak nyaman, seperti menuduhnya sesuatu.
“Dia… dia Kamenashi, aku sudah saling mengenalkan kalian, bukan?” kata Jin yang menyadari pandangan Chiaki. Lagi-lagi terdengar konyol, dia sebenarnya tak perlu seperti itu, karena hanya jadi membuat suasana diantara mereka semakin tegang.
“Yeah, bahkan sebelum mengenalkannya kau sudah sering menceritakan dia padaku. Aku tak tahu kalau hubungan kalian sedekat itu…” ujar Chiaki yang sangat terdengar menyindir di telinga kedua laki-laki itu. Dammit, gerutu Jin dalam hati.
“Gomen, aku harus kembali ke café” Kame tiba-tiba berkata dan mengalihkan pembicaraan begitu saja. Dia tersenyum biasa dan membungkukkan badannya pada Chiaki sambil melewati perempuan itu. Jin ingin menahannya, tapi bagaimana mungkin? Situasinya sudah tidak enak seperti ini.
Kame cepat-cepat ke kamar Jin, mengambil pakaiannya mengganti piyama Jin yang nyaman dengan bajunya yang kusut. Tanpa banyak berkata pula, dia langsung keluar dari apartement Jin. Sepasang kekasih itu masih di dapur dan hanya mengamati kepergian Kame, walau sebenarnya Jin sangat ingin menahannya. Dia jadi merasa tak enak pada Kame.
“Dia- dia sangat terburu-buru” komentar Jin mencoba mencairkan lagi keadaan.
“Aku tahu” kata Chiaki sambil beranjak dari tempatnya.
“Kau tahu kan kalau dia anak bos ku. Dia tuan muda yang kadang bersikap me—“
“Kau membuat sarapan?” Chiaki memotong perkataan Jin begitu saja, seperti dia memang tidak tertarik dengan apa yang mau dia katakan.
“O iyah itu…”
“Kau membuatkan sarapan untuknya” Chiaki melihat sisa makanan yang untuk terlihat dua orang. “Padahal kau tak pernah membuatkan sekalipun untukku….” Tambahnya sambil tertawa kecil.
Lagi, Jin merasa tersindir. Dia benar-benar merasa seperti seorang suami yang sudah ketahuan selingkuh, tapi dia berusaha menyangkal dan menutupi dengan bersikap biasa.
“Itu hanya makanan siap saji. Aku merasa berhutang budi padanya karena dia sudah merawatku…” Jin ikut tertawa kecil, dipaksakan.
“Dia merawatmu semalaman?”
“Aku tak mau mengganggumu yang pasti sedang sibuk…”
“Kau tahu kalau aku selalu ada waktu untukmu, bukan? Sesibuk apapun aku” Chiaki agak menekankan kalimatnya. Mereka saling memandang, dan Jin pun mengerti kemana arah semua ini. Kekasihnya ini tidak terima dia dirawat oleh Kame, membiarkan Kame menginap, membuatkan sarapan untuk Kame… Chiaki cemburu padanya, pada seorang laki-laki.
“Gomen, aku benar-benar hanya tak mau mengganggumu”
Chiaki menghela nafasnya, “Kalau begitu aku pergi lagi…”
“Eh?? Kau kan baru sampai??”
“Aku belum menyelesaikan pekerjaanku di Yokohama. Aku kembali dua hari lagi” katanya sambil mulai berjalan ke arah pintu. Jin cepat menyusulnya, dan menarik tangannya sebelum dia benar-benar keluar.
“Cepat hubungi aku kalau kau sudah kembali, ok?” katanya dan memberikan kecupan singkat di bibir kekasihnya itu. Dia selalu menggunakan cara ini agar kekasihnya berhenti berpikir yang tidak-tidak.
Chiaki agak tersentuh dengan sikap Jin, bagaimanapun hal seperti ini pasti memberikan efek tertentu untuknya.
“Ok” jawabnya dan mulai berjalan keluar. Dia memang tak pernah sekalipun berpikir yang tidak-tidak atau curiga pada Jin dari sejak pertama kali pacaran dulu. Bahkan disaat mereka sering terpisah, semuanya selalu baik-baik saja. Tapi entah kenapa melihat Kame disana tadi mendadak membuatnya tak tenang. Firasat kah? Chiaki tak mau berpikir jelek, dengan sikap Jin barusan dia ingin yakin kalau kekasihnya itu tak pernah berubah terhadapnya.
***
“Kau pergi tanpa memberitahu apapun padaku…” protesan dingin Koki menyambut Kame begitu dia tiba di café.
“Gomen, aku terburu-buru”
“Bahkan hanya untuk mengirim pesan padaku?”
“Gomen...”
“Aku tak bisa menghubungi ponselmu”
“Ah iya, ponsel ku…” Kame mengecek ponselnya yang sejak kemarin malam setelah dia mendapat telepon dari Jin belum dia lihat lagi. Kame terdiam ketika melihat beberapa panggilan tak terjawab dan beberapa pesan di sana, semuanya dari Koki.
“Kau tak menjawab panggilanku sama sekali” kata Koki lagi terdengar sangat menyalahkan. Kame masih terdiam, dia tak tahu harus menjelaskan dari mana dan seperti apa. “Sebenarnya dimana kau semalam? Di tempat Akanishi, bukan??”
Kame mengangkat wajahnya mencoba memandang Koki.
“Dia…sakit”
“Lalu?”
“Aku membantunya”
“Parah? Sampai kau sama sekali tidak bisa menjawab panggilanku”
“Dia sudah lebih baik” Kame mengalihkan lagi pandangannya dan mulai mengganti bajunya dengan seragam café. Koki mengamatinya, memperhatikan baju Kame yang sangat kusut, sampai matanya melihat yang ganjil di leher Kame…
“Apa yang kau lakukan dengannya disana?”
“Aku sudah bilang kan, kalau aku membantunya… dia hanya tinggal sendiri, dan pacarnya sedang keluar kota jadi--” Kame menghentikan penjelasannya karena tiba-tiba saja dia merasakan tangan Koki sudah menyentuh lehernya. Kame agak mengelak, dia melihat Koki dengan tatapan terkejut. Koki balas menatapnya datar.
“Itu love bite” katanya pelan. Kame menahan nafasnya, reflek menutupi lehernya. “Kau mau mengelak seperti apa lagi?” Koki menantangnya.
Kame terdiam lagi. Kuso… kuso… kutuknya dalam hati. Kenapa dia bisa seceroboh ini!?
“Kame?”
“Kau tidak perlu mencampuri urusanku. Kita sudah sepakat soal itu kan?” akhirnya Kame bisa berkata, menutupi kepanikannya dengan sikap egoisnya.
Dia kembali melanjutkan memakai kemejanya, dan memasang apron. Dia harus segera menghindari pembicaraan ini.
Koki mengikuti Kame yang pergi ke bagian depan café untuk mulai bekerja. Koki benar-benar tak suka dengan ini, dia memang sudah menyetujui tak akan mencampuri urusan Kame lagi, tapi masalah ini tak bisa dia terima begitu saja.
“Kau menyukainya? Dia menyukaimu?” tanya Koki lagi tak memperdulikan sikap Kame yang mulai tak bersahabat dengannya.
“Aku bilang---“ Kame baru akan mengelak dengan kasar, tapi Koki lebih dulu membentaknya.
“STOP THAT!” Kame terpaku mendengarnya, tak menyangka Koki akan membentaknya seperti itu. Sekarang tatapannya lebih berekspresi, dia kesal… emosi… cemburu…?? “Kau pikir kau siapa bisa terus-terusan melarangku untuk peduli padamu!?”
“Kau tak perlu peduli padaku. Kau sempat mengecewakanku kemarin” kata Kame pelan, mencoba menguasai kekagetannya.
“Aku sudah banyak membantumu selama ini, kenapa tidak sedikitpun kau mencoba untuk menghargainya!”
“Hah??”
“Kau tak akan bisa terus bekerja disini dan meninggalkan rumahmu untuk menolak keinginan ayahmu kalau tak ada aku!”
Kame mengerutkan keningnya, tak suka dengan perkataan Koki. Jadi sahabatnya ini mengharapkan imbalan? Sahabatnya ini merasa dia yang telah berjasa untuk semuanya?!! What the heck!
“Aku bisa melakukan semuanya sendirian, Koki”
“Ohya? Karena kau merasa sudah ada orang bernama Akanishi itu? aku yakin dia sangat hebat memperlakukanmu sampai kau mau menyerahkan dirimu seperti itu!”
“APA MAKSUDMU?!” Kame sudah tak bisa menahan dirinya.
“JANGAN BERPURA-PURA LAGI KAMENASHI KAZUYA! KAU BERCINTA DENGANNYA!” Koki balas berteriak dan menudingnya dengan kasar. Kecemburuan terlihat jelas di matanya, wajahnya memerah karena marah. Sekali lagi Kame harus shock, tapi dia tak bisa menyangkal.
“Lalu kenapa?! Apa urusannya denganmu?” Kame memelankan suaranya walau kekesalan masih terdengar disana.
“Kenapa?! Kau menyukainya?!” Koki pun mulai menurunkan nada suaranya.
Kame berdecak tak sabar, dia tak mau menjawab pertanyaan itu, karena dia sendiripun tak mengerti.
“Kamenashi???!!”
“Iya. Aku menyukainya! Kau puas?!” jawab Kame akhirnya. Dia sudah muak, dan dia harus mengakhiri pembicaraan ini.
“Benarkah?” desis Koki seperti tak mau percaya.
“Aku tak akan mau melakukannya kalau itu tidak benar”
“Kau keterlaluan…”
“Hah??”
“Kau tahu perasaanku padamu, bukan?”
“Koki aku tak mau membahas ini!” Kame menyerah juga. Dia melepas lagi apronnya dan keluar dari café masih dengan seragamnya. Dia keluar di waktu yang tepat karena beberapa pengunjung mulai berdatangan, dengan begitu Koki sudah tak bisa menahannya. Dia memang salah sudah keluar di saat jam kerja seperti ini, tapi dia tak mau terus berada disana dengan Koki yang nyaris kalap.
***
“Gomen” Kame mendengar suara Koki disampingnya, setelah hampir setengah jam dia terdiam di bangku taman yang tak jauh dari café. Dia memang butuh menenangkan dirinya sendiri, dan membiarkan Koki sendiri juga. Mereka akan terus bertengkar kalau tadi tak ada salah satu yang mengalah. Kame memang bingung, dia sendiripun tak tahu dengan kondisinya. Ada apa dengannya dan Jin? Apa yang harus dia jelaskan pada Koki? Perlukah dia menjaga perasaan Koki? Bagaimana dengan Chiaki yang membuatnya jadi tak enak perasaan ketika melihatnya? Terlalu banyak yang dipikirkan Kame, semakin banyak selain masalahnya dengan sang ayah yang tak kunjung selesai.
Kame menolehkan wajahnya melihat Koki disana, menundukkan kepalanya.
“Aku tak akan mencampuri urusanmu…tapi kau dengan Akanishi---“ Koki tak melanjutkan perkataannya.
“Lupakan itu” kata Kame dan menghela nafasnya dalam. Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran bangku. Koki melihat padanya, perlahan dia mendekat pada sahabatnya itu, lalu duduk disana tanpa melepaskan pandangannya dari Kame.
“Dia sudah punya pacar, bukan?”
“Hmm”
“Jangan terlalu banyak berharap padanya”
“Aku tahu. Aku sudah jauh lebih mengenalnya dari siapapun”
“Aku menyukaimu”
Diam. Kame tak cepat menyahut setelah perkataan Koki yang tiba-tiba itu. Akhirnya dia memang harus mendengarnya juga.
“Aku berharap padamu” tambah Koki.
Sekali lagi Kame menghela nafasnya. Dia melihat pada Koki yang dari tadi hanya lurus melihat padanya.
“Aku tak akan membiarkanmu berada di posisi yang salah. Dari awal kau dan Akanishi tidak seharusnya melakukan itu. Dia adalah orang kepercayaan ayahmu dan dia sudah memiliki kekasih…”
“Aku tak ada apa-apa dengannya” akhirnya Kame berkata dan entah kenapa dia selalu ingin menyangkal tentang dirinya dan Jin. Semua yang dikatakan Koki sangat benar dan itu hanya semakin membuatnya ingin menyangkal.
“Lalu kenapa kalian bisa lepas control dan---“
“Siapapun bisa seperti itu. Hanya kesalahan kecil”
“Kecil? Bagaimana kalau ayahmu tahu? Bagaimana kalau pacarnya--”
“Kalau ayahku tahu, berarti kau yang memberitahunya” potong Kame cepat.
Sedangkan soal Chiaki, dia juga sedang memikirkan itu. Perasaannya sudah tidak enak sejak tadi pagi Chiaki tiba-tiba datang dan dia merasa tertangkap basah.
“Kame-chan…kenapa kau tidak mencoba membalas perasaanku?” tanya Koki tiba-tiba, terdengar memohon.
“Kau memaksaku, Koki?”
“Aku sudah tak bisa menahan diriku apalagi begitu aku tahu kau dan dia…itu benar-benar membuatku kesal!”
“Ah sudahlah…” Kame tak mau membahasnya. Mendadak, Koki memegang bahunya dan membuat Kame menghadap padanya.
“Kenapa? Bukankah selama ini aku yang dekat denganmu?” Kame terkesiap, dia takut kalau-kalau Koki kalap seperti tadi. “Aku yang banyak membantumu, aku yang sudah menyelamatkanmu…”
“Koki, kau mau menolongku karena kau menyukaiku? Dan ingin aku balik menyukaimu?!” tanya Kame yang langsung membuat Koki merasa tertembak. Dia memang mengharapkan yang tidak-tidak pada Kame selama ini. Perasaan yang dia simpan beberapa lama, karena dia yakin suatu saat akan bisa mengungkapkannya dan dengan mudah Kame pun akan menjadi miliknya. Sayangnya dia salah.
“Aku---“
“Kau membuatku takut” ucap Kame pelan. Koki menatap matanya, tak menyangka dengan yang dikatakan Kame. Orang yang dia sukai, takut padanya?!
“Kame-chan…” Koki mendekatkan wajahnya pada Kame, bermaksud menciumnya, tapi Kame cepat mengelak. Dia melepaskan diri dari Koki, dan berdiri dari duduknya.
“Kita harus kembali ke café”
“Kenapa aku tak boleh menciummu?” tanya Koki yang sudah benar-benar dibatas kesabarannya.
“Aku tak mau” jawab Kame jujur.
“Karena kau menyukai Akanishi…?”
“Aku sudah mengatakannya Koki, jangan mengulang-ulang pertanyaanmu!”
Koki mengepalkan tangannya tanpa sadar. Panas. Dia merasakan panas di sekujr tubuhnya, bukan panas yang menggairahkan seperti saat dia memeluk sahabatnya itu. Ini panas yang mengganggu. Dia sadar, ini cemburu. “Kuso!” gerutu Koki sambil pergi dari sana lebih dulu melewati Kame. Untuk kesekian kali Kame hanya bisa menghela nafasnya.
***
“Kamenashi-kun?” seraut wajah cantik menyapa Kame sore itu saat seperti biasa dia sedang bekerja di café. Koki sedang di dapur menyiapkan sesuatu, dan seorang pegawai lagi sedang sibuk dengan pengunjung lain. Kame yang berdiri di balik counter, melihat wajah cantik Chiaki yang tersenyum manis padanya. Tidak seperti beberapa hari yang lalu saat mereka bertemu di apartement Jin. Ada apa ini? pikir Kame yang langsung curiga.
“Ou, Chiaki-san” dia tetap membalas senyuman perempuan itu.
“Kau ada waktu?”
“Eh?”
“Nanti malam, aku dan Jin mengundangmu makan malam di restoran Italia yang tak jauh dari sini. Kau tahu kan? Yang dekat apartement Jin?”
“Ah, aku tahu…” Kame menganggukkan kepalanya.
“Kami menunggumu disana pukul 7, ok?”
“Ada perayaan sesuatu??” Kame bertanya, penasaran. Kenapa mendadak seperti ini??
“Kau akan tahu nanti, ne? Jya” Chiaki melambaikan tangannya dan pergi dari sana, tanpa menunggu lagi apa yang ingin dikatakan Kame.
Aneh.
Kemarin saja dia tampak dingin, dan sekarang tiba-tiba mengundangnya makan malam, tanpa alasan yang jelas…?
Jin? Kenapa dia tak memberitahunya? Mereka akan berada dalam satu tempat lagi nanti malam, apa semuanya akan baik-baik saja? seperti biasa pikiran Kame selalu dipenuhi kemungkinan-kemungkinan yang belum tentu kepastiannya.

Pukul 7, setelah meminta ijin pada Koki, Kame bisa berada di restoran yang sudah dijanjikan. Dia tak mau ambil pusing dengan sikap dingin Koki lagi.
Kame menghampiri Jin dan Chiaki yang sudah menunggunya di sebuah meja, saat itu Kame pun sadar, mereka tidak hanya berdua. Ada seorang perempuan cantik juga disana. Kursi di sampingnya kosong, otomatis Kame duduk disana.
“Aku senang kau bisa datang” sambut Chiaki. Kame hanya mengangguk sambil tersenyum. Diliriknya Jin sekilas, laki-laki tampan itu tersenyum padanya, dan tatapannya membuat Kame tak bisa berlama-lama melihat.
“Ah ini sahabatku yang baru kembali dari Hawaii…” kata Chiaki saat mereka menunggu pesanan. Dia mengenalkan perempuan di samping Kame. Kame melihat padanya, dan membungkukkan badannya.
“Kamenashi desu” dia agak mengamati perempuan itu. Cantik, dengan rambut panjangnya yang berwarna hitam lurus. Pembawaannya tampak dewasa. Kame akan menyukai perempuan ini kalau saja dia mengenalnya di tempat lain.
“Mizuki Ageha desu” katanya. Ageha, nice name… Kame semakin mencatat poin-poin menarik dari perempuan ini. Dia malah berani membandingkan dalam pikirannya kalau Ageha lebih baik daripada Chiaki.
“Aku rasa kalian sangat cocok” perkataan Chiaki di sela-sela obrolan mereka membuat Kame tersadar. Ini bukan makan malam biasa, bukan acara memperkenalkan teman biasa… ini perjodohan. Chiaki mencoba membuatnya dekat dengan Ageha. Apa Jin juga terlibat disini? Kame melihat pada laki-laki dihadapannya itu, dia tampak normal. Dia masih mencuri-curi pandang padanya dengan tatapan seperti tadi, seperti malam itu… “Iya kan Jin?” Chiaki bertanya pada Jin yang terlalu sibuk mengamati Kame.
“Eh??” Jin melihat pada kekasihnya itu.
“Kamenashi-kun dan Ageha-chan… mereka serasi kan?” Chiaki mengulang perkataannya. Jin melihat pada Kame dan Ageha yang duduk dihadapannya.
“Kamenashi mungkin tidak masuk untuk kriteria laki-laki yang disukai Ageha-chan” jawab Jin seenaknya. Ditambahi dengan tawanya yang memaksa. Kame rasanya ingin memukul kepala laki-laki tampan yang sering bertingkah konyol itu.
“Kamenashi-san…sepertinya bisa menarik banyak perempuan” kata Ageha terbalik dengan yang dikira Jin. Kame tak menyangka dengan pengakuan Ageha. Dia perempuan yang terang-terangan rupanya. Tapi Kame menyesalkan kenapa mereka harus saling mengenal karena pertemuan makan malam ini? sama sekali tak membuat Kame tertarik jadinya. Apalagi kalau dia sampai tahu memang Jin dan kekasihnya itu yang merencanakan semua ini.
“Kalau begitu kalian harus sering bertemu lagi setelah ini” usul Chiaki yang jujur saja membuat Kame tak suka.
“Aku pikir juga begitu…” Ageha menoleh pada Kame dengan senyuman penuh arti di bibirnya. Kame tersadar, dia memang cantik dan semua laki-laki pasti akan tergila-gila padanya. Tapi Kame yang beberapa menit lalu masih berpikir seperti itu juga, sekarang merubah pikirannya. Perempuan ini terlalu berani, mungkin karena dia telah lama di Hawaii, mungkin juga karena lebih tua dari Kame, mungkin juga karena dia memang tipe penggoda. Kame tahu dia kurang nyaman dengan perempuan seperti ini, secantik apapun dia.

To : Jin
Submessage : (none)

ne, aku perlu bicara denganmu setelah ini

Kame mengirim pesan ke ponsel Jin saat mereka masih di tengah makan malam. Dua orang perempuan itu yang menguasai pembahasan disini. Kame dan Jin hanya mengikuti, terlebih lagi Jin terlalu asik dengan pasta favoritnya juga memandangi Kame sepanjang waktu.
Kame melihat senyum Jin ketika dia membaca pesan darinya. Dia mulai mengetik di ponselnya, dan tak lama Kame merasa ponselnya bergetar.

From : Jin
Submessage : (none)

Dengan senang hati, dimana? tempatku?

To : Jin
Submessage : (none)

Apa tidak akan apa-apa?
Chiaki-san?
From : Jin
Submessage : (none)

Mochiron! datang saja nanti ke tempatku.
Kenapa dengan Chiaki? Aku akan mengantarnya pulang setelah ini.

Benar juga, kenapa dengan Chiaki??! Kame jadi merasa mereka memang ada apa-apa dan sekarang sedang melakukan semacam ‘misi rahasia’ di belakang Chiaki…berselingkuh? What the heck!

“Kau bisa mengantarku pulang?” pertanyaan Ageha menyentakkan Kame. Jin melihat padanya, dan Chiaki tersenyum puas.
“Eh? Aku tidak punya kendaraan”
“Dia punya motor besar dan sebuah Porsche, tapi semuanya dia tinggalkan dirumahnya” jawab Jin pula yang langsung mendapat tatapan tajam dari Kame.
“Wow” komentar Ageha.
“Yeah, jadi sekarang aku tidak punya…”
“Kau tidak tinggal dirumahmu?”
“Dia pergi dari rumahnya” lagi-lagi Jin menjawabkan untuknya. “Dia menumpang di tempat temannya dan bekerja di sebuah café, dia tidak ada apa-apanya dibanding Ageha-chan yang berkuliah dan tinggal lama di Hawaii. Makanya tadi aku bilang mungkin dia bukan tipe mu” Jin berkata panjang lebar, membuat Kame semakin menajamkan tatapannya. Chiaki menoleh pada kekasihnya, tak suka dengan pernyataan Jin. Perasaan tak enak itu menghampirinya lagi. Jin seperti sedang mempertahankan Kame.
“Aku sudah menduganya…” kata Ageha tiba-tiba, membuat semuanya terpana. “ Aku suka orang yang mandiri” tambahnya dan tersenyum penuh arti lagi pada Kame. Jelas sekali kalau dia memang tertarik pada Kame.
“Ah…” Kame menganggukkan kepalanya tak tahu harus berkata apa. Jin tak berkomentar, ternyata pertahanannya untuk Kame tak mempan pada perempuan ini.
“Kita naik taksi. Kau mau menemaniku?” tanya Ageha lagi, rupanya belum menyerah.
“Baiklah” jawab Kame, bagaimanapun dia tak mungkin menolak. Jin nyaris tak percaya mendengarnya. Dia cepat mengetik pesan lagi di ponselnya.

From : Jin
Submessage : (none)

HAH???

Pesan yang sangat singkat, tapi Kame mengerti dengan maksudnya. Dia melirik Jin sekilas sebelum membalas pesan itu. Jin memandangnya dengan kening yang berkerut. Kame tersenyum lalu mengirim balasannya.

To : Jin
Submessage : (none)

Aku akan tetap ke tempatmu setelah mengantarnya.
Jya na.

Senyum Jin terulas di bibir seksinya setelah dia membaca balasan dari Kame. Mereka saling memandang dengan pandangan yang hanya dimengerti oleh mereka berdua.
***
Kame menekan bel pintu apartement Jin, memastikan laki-laki itu ada di sana atau tidak, jika tidak dia akan memakai spare key nya. Tapi ternyata tepat sekali saat itu Jin baru keluar dari lift.
“Na!” panggil Jin dan menghampiri Kame yang berdiri di depan pintu apartementnya. “Cepat sekali kau mengantarnya pulang”
“Kau yang lama” Kame melihat jam tangannya. “kalian pasti melakukan ritual-ritual dulu sebelum dia masuk ke rumahnya kan?”
“Ha? Ritual…” Jin tertawa kecil.
“Yeah, berciuman di mobil yang tadinya hanya untuk ciuman selamat malam” Kame menegaskan.
“Kau tahu persis karena kau pernah melakukannya…” Jin malah membalikkan.
“Tentu saja, aku juga sudah berkali-kali berpacaran”
Jin tertawa mendengar perkataan Kame yang terdengar seperti ingin menunjukkan kalau dia juga tidak kalah olehnya.
“Jadi dengan Ageha-chan…???”
“Dia bukan pacarku”
“Calon?”
Kame memandang Jin tajam.
“Kenapa?” Jin sadar dengan tatapan itu.
“Aku tak suka kalian mencoba menjodoh-jodohkanku”
“Hah?”
“Ageha memang cantik, tapi aku tak mau memulai hubungan dengannya karena kalian”
“Aku tak menjodohkanmu”
“Ohya?”
“Itu… itu sebenarnya ide Chiaki” Jin akhirnya mengakui.
“Yappari~” keluh Kame.
“Dia bersemangat sekali saat tahu kau belum punya pacar, dan sahabatnya itu akan pulang ke Tokyo. Menurutnya kalian cocok”
“Kami memang cocok. Dia cantik, dan aku tampan” kata Kame sebal.
Jin tertawa lagi.
“Kau memang tampan” gumamnya, sambil memandang Kame.
“Urusai” gerutu Kame yang mendengar gumaman Jin. Dia merasa sebentar lagi pipinya pasti memerah.
“Ah, ayo kita masuk!” Jin berhenti menggoda Kame begitu sadar dari tadi mereka hanya mengobrol di depan pintu apartementnya.
“Tidak perlu, sepertinya aku tak akan lama”
“Eh??” Jin menghentikan kegiatannya membuka pintu apartementnya.
“Aku hanya mau memberitahumu itu, aku tak suka kalian menjodohkanku, aku bisa mencari perempuan manapun yang aku mau, sendirian” Kame menekankan kata ‘sendirian’ yang dia ucapkan.
“Sou, seharusnya tadi kau jangan mengantarnya pulang”
“Aku tak bisa menolak permintaan perempuan…siapa juga yang bisa?!”
“Jadi itu salahmu kalau dia makin tertarik padamu. Sudah tak ada urusannya denganku dan Chiaki”
“Tapi kalian yang memulainya…”
“Chiaki yang memulainya” Jin mengoreksi.
“Sama saja. Kalian sama saja!”
“Beda. Karena kalau aku pribadi, aku tak mau menjodohkanmu dengan siapapun” Kame jadi terdiam setelah mendengar kata-kata Jin, begitupun Jin. Mereka saling memandang.
“Ke—“
“Jangan bertanya kenapa” Jin cepat memotong perkataan Kame yang belum selesai, membuat Kame terdiam lagi. “Chiaki sepertinya sedang merancang sesuatu juga untuk semakin mendekatkan kalian” tambah Jin lagi.
“Benarkah?”
“Uhm, jadi kalau kau memang tidak suka sebaiknya kau pintar-pintar untuk menolak”
“Aku tahu”
Mereka terdiam lagi beberapa saat, Jin jadi mengamati Kame sampai matanya menangkap sesuatu di leher Kame yang tertutup dengan scarf. Scarf itu agak terbuka jadi Jin bisa melihat di baliknya. Sebuah tanda berwarna merah…
“Kazu, itu---“ Jin menunjuknya reflek. Kame langsung menyadari apa yang dimaksud Jin, dia merapikan scarf nya. “Jelas sekali…”
“Orang bodoh yang sudah membuatnya di tempat yang mudah terlihat” sindir Kame. Jin malah tersenyum lebar, menyadari itu salahnya. “Koki…dia melihatnya” tambah Kame lagi, yang langsung membuat Jin memudarkan senyumannya.
“Oh… lalu??”
“Dia tidak suka”
“Kenapa?”
“Jangan bertanya kenapa” Kame meniru ucapan Jin tadi tapi lebih membuat penekanan dalam nadanya dan sedikit melebarkan matanya juga pada Jin.
“Kazu, kenapa kau tidak cepat pergi saja dari tempatnya?” tanya Jin tiba-tiba. “Setiap kau bersamanya, perasaanku tidak enak”
“Hah??” apa Jin bisa melihatnya? Sikap Koki yang berbeda?
“Yeah, kita kembali ke rumahmu seperti sebelum aku pergi ke LA. Kau melanjutkan kuliahmu, meneruskan perusahaan ayahmu, dan menjadi atasanku” perkataan Jin terdengar serius sekarang, dan Kame ingat sebagian dari kalimat itu. Dulu saat mereka masih di sekolah, mereka pernah punya mimpi seperti itu. Kame akan menjadi penerus ayahnya dan Jin akan terus berada di sisinya, membantunya, menemaninya. Tapi sejak Jin pergi ke LA, Kame tak pernah memikirkan soal mimpi itu lagi. Dia tak pernah berpikir lagi untuk menjadi penerus ayahnya, karena dia memang sempat berpikir kalau Jin mungkin tak akan kembali lagi. Dia tak mau menjalankan perusahaan itu sendirian, tapi ternyata setelah Jin kembali, harga dirinya yang tinggi, keegoisannya yang terlalu berlebihan membuat dia tetap pada pendiriannya untuk tak mau menuruti ayahnya.
“Aku pergi” kata Kame akhirnya setelah selama beberapa detik dia terdiam, hanyut dengan pikirannya. Biasanya dia akan kesal jika mulai membahas hal ini, dan dia akan marah-marah, tapi sekarang rasanya dia ingin pergi saja, menghindar. Jin mengikutinya hingga ke depan lift. Kame baru akan menekan tombol untuk membuka pintu lift, tapi Jin lebih cepat menahannya.
Dia membalikkan tubuh Kame agar menghadapnya, membuat laki-laki yang lebih kecil darinya itu terpojok di tembok disamping pintu lift.
“Kau harus memikirkannya…” wajah dan suara Jin masih seserius tadi. Membuat Kame nyaris tak bisa berkata-kata. “demi kita” Jin menambahkan dan sebelum Kame menyadarinya, bibir mereka telah saling bersentuhan. Kame memejamkan matanya reflek, ciuman Jin sudah sangat familiar untuknya walau sebenarnya berapa kali mereka berciuman masih bisa dihitung dengan jari. Tangan Jin turun ke pinggang Kame saat dirasanya ciuman mereka makin dalam dan Kame seperti akan terjatuh karena meleleh dengan ciumannya. Laki-laki yang lebih muda itu menyimpan kedua tangannya di pundak Jin, menyusup ke leher dan akhirnya menemukan rambut ikal Jin. Yang mana semakin membuat mereka terhanyut. Jin menyukai genggaman tangan Kame di rambutnya, ditambah dengan keluhan lembut yang tertahan dari mulutnya ketika Jin menyelipkan lidahnya diantara ciuman mereka. Amazing. Keduanya setuju kalau masing-masing dari mereka adalah pencium yang hebat.

Beberapa menit kemudian keduanya saling melepaskan diri saat dirasanya oksigen sudah tidak dapat masuk ke paru-paru mereka. Mereka saling memandang dalam jarak yang sangat dekat dan terengah-engah, nafas mereka masih menyatu.
“Aku… harus pergi…” kata Kame, dia segera melepaskan dirinya dari pelukan Jin. Tanpa menunggu jawaban Jin, dia cepat menekan tombol lift lalu masuk setelah pintunya terbuka. Jin masih disana memperhatikannya hingga pintu lift tertutup dan Kame tak terlihat lagi di pandangannya.
***

0 komentar: