THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Rabu, 25 November 2009

Murasaki - part 1

Title : MURASAKI
One-shot
Author : Rie (3-musketters) ^^
Cast : Akanishi Jin; Kamenashi Kazuya; n other fiction characters.
Rating : PG

PART 1

Kazuya’s POV

“Kame! Kame!” suara-suara berisik diluar terdengar seperti memanggil namaku. Aku membuka mataku dengan terpaksa, dan coba mendengarnya dengan seksama. “KAMEEEEEE!!!” itu dia, suara aneh diluar benar-benar memanggil namaku. Aku bangun dari ranjangku dan melirik jam di mejaku sekilas, pukul 2 pagi! Orang diluar sudah pasti orang gila. Aku menggerutu sambil keluar dari kamarku dan menuju pintu depan. Suara teriakan itu belum berhenti dan aku semakin familiar dengan suaranya. Oh, shit.
“Kame-!” orang yang sudah aku duga siapa itu, tak melanjutkan teriakan memalukannya saat aku membuka pintu. Dia tersenyum polos, mukanya memerah, dan caranya berdiri tampak tidak fokus. Tubuhnya agak bersandar pada tembok. Satu kesimpulan yang bisa ku ambil, dia mabuk.
“What the hell, Akanishi! Ini pukul dua pagi dan kau berteriak-teriak di depan apartementku. Apa maumu? Sebaiknya kau cepat masuk ke apartementmu dan tidur!”
“Itu yang aku mau…”
“Lalu?? Kenapa kau harus membangunkanku seperti orang gila!?” aku nyaris kehilangan kesabaranku. Aku tahu persis dia sangat suka sekali alcohol, dan biasanya dia selalu bisa mengatasi mabuknya sendiri.
“Aku tak bisa menemukan kartu apartementku”
“Huh??!” aku memandangnya seperti baru mendapat kabar kalau dia sudah menghilangkan celana dalamnya, sesuatu yang jelas-jelas bukan urusanku. “Dimana tadi kau menyimpannya??”
“Di dompetku”
“Lalu, mana dompetmu?”
“Di dalam saku celanaku” dia menunjuk saku celana jeans yang dipakainya.
“Kenapa tidak kau ambil!!?” aku menatapnya tak percaya. Dia tak pernah sepayah ini sebelumnya.
“Sudah, tapi tanganku tidak muat untuk masuk ke dalam saku celanaku lebih dalam lagi...” dia berusaha menjelaskan, walau pada akhirnya hanya membuatku memutarkan bola mataku. Benar-benar tak bisa dipercaya, aku nyaris saja mendengarkan penjelasan bodoh yang tak seharusnya aku dengarkan.
“Apa yang terjadi pada tanganmu? Tiba-tiba membesar, huh?” aku menyahut dengan kesal dan reflek mengamati tangannya. Aku tahu, mungkin aku sama bodohnya karena aku penasaran apa memang terjadi sesuatu pada tangannya. Jangan-jangan memang membesar karena bengkak atau entahlah. Tapi seperti yang aku duga sebelumnya, tangannya baik-baik saja.
“Ambilkan untukku, Kame” pintanya. Dia sudah beberapa kali memejamkan matanya, dia pasti sudah mengantuk. Gawat kalau sampai dia tertidur disini, siapa yang akan mengangkutnya masuk ke dalam. Aku pasti tak akan sanggup memapah manusia sebesar dia sendirian, dan aku tak tega kalau harus menyeretnya.
Segera aku mengulurkan tanganku, masuk ke dalam saku celana jeansnya. Tidak ada.
“Lebih dalam” kata Jin seperti berbisik di kupingku, padahal hanya karena kami cukup berdekatan saat aku menggeledah saku celananya. Sial sekali aku merinding mendengar suaranya yang sedikit serak dan bernafas berat. Aroma alcohol tercium jelas dari mulutnya. Aku cepat pindah ke saku yang satunya. Sama saja. dompet itu tak ada di celananya. Aku menyimpan kedua tanganku di pinggang dan memandangnya tajam.
“Kau yakin menyimpannya di saku celanamu?”
Dia mengangguk lemah. Tubuhnya semakin merapat ke tembok, matanya hampir setengah tertutup. Yabai.
Aku mendadak ada ide, dengan cepat aku membalikkan badannya membuat dia menghadap ke tembok dan menggeledah saku belakang celananya.
“Kau mau apa Kamenashi??!” dia menepis tanganku dengan sisa-sisa tenaganya. “Jangan coba-coba kau bertindak pervert padaku!”
Sekali lagi aku memutarkan bola mataku dan balas menepis tangannya. Aku menemukan dompet itu di salah satu saku belakang. Sukurlah.
“Lihat!” aku membalikkan dia lagi. “Aku menemukan dompetmu disini”
“Ah…” dia tersenyum lebar. “Thank you” katanya dengan logat eigo nya yang fasih. Aku membalas senyumannya datar, lalu memberikan dompet itu padanya. Dia membawanya dan berjalan dengan sempoyongan ke arah pintu apartement nya yang hanya beberapa meter saja dari pintu apartementku. Aku mengamatinya dulu sebelum masuk kembali ke dalam. Lega sekali aku dan bisa melanjutkan tidurku. Tapi beberapa detik aku mengamati, Jin tampak repot sekali dengan dompetnya. Mabuknya kali ini sangat merepotkan, mungkin dia minum lebih banyak daripada porsi dia biasanya. Aku mengeluh keras saat kulihat Jin menjatuhkan hampir semua isi dompetnya. What the…!!?
“Ne, apa kartunya tidak ada disana?” aku menghampirinya. Aku tak mungkin membiarkannya berdiri berjam-jam disana hanya untuk mengaduk-aduk isi dompetnya. “Kau lupa menaruhnya…” kataku lagi sambil mengambilkan benda-benda yang dia jatuhkan. Beberapa lembar uang, kartu credit dan kartu-kartu kolega, sebuah foto…Aku terdiam sesaat mengamati foto itu. Jin dan seorang perempuan yang aku tahu adalah kekasihnya yang sedang berada di luar negeri. Mungkinkah, keadaan mabuknya yang payah ini ada hubungannya dengan kekasihnya? Aku tak tahu apa menanyakannya sekarang dia akan bisa menjawabnya. Mungkin aku harus menunggu sampai besok.
“Aku tak menemukannya” kata Jin sambil melihat ke arahku dan langsung mengambil benda-benda yang sedang aku pegang tanpa berkomentar apapun. “Aku akan meminta kartu baru pada petugas…”
Aku mengerutkan keningku dan mengambil dompetnya, menggeledahnya dengan benar. Kartu itu ternyata memang terselip, dan itu bukan tempat yang sulit untuk dicari, hanya karena Jin sedang kehilangan daya fokusnya.
“Tidak perlu” aku maju ke depan pintunya, memasukkan kartu dan melihat padanya lagi. “Berapa nomor serimu?” tanyaku. Aku dan Jin memang berteman sejak lama, tapi ada beberapa hal pribadi yang tak kami bagi. Contohnya seperti nomor seri pintu apartement ini. Dia mungkin hanya membaginya pada keluarga dan kekasihnya. Aku juga hanya memberitahu orangtua dan saudaraku, aku tidak punya kekasih.
“840407” jawabnya. Huh? ternyata hanya tanggal lahirnya yang lengkap. Aku bisa langsung mengingatnya dengan mudah.
Pintu terbuka dan aku cepat menyuruhnya masuk. Dia tersenyum lagi.
“Thanks. Aku tidak tahu apa jadinya kalau tidak ada kau”
“Betsuni” sahutku datar. Dia menutup pintunya dan aku kembali lagi ke apartementku. Aku menguap dan menggerakkan badanku yang rasanya jadi pegal-pegal. Pukul 2.45… hampir sejam aku membantu temanku itu. kata-kata terimakasihnya tadi mendadak terdengar lagi di telingaku. Well, dia tak sepayah itu. Aku tahu dia masih bisa menangani dirinya sendiri tanpa aku. Mungkin justru aku…aku yang selalu membutuhkannya.

******
JIN’S POV

“Ohayo” aku menyapa Kazuya yang baru membuka pintu apartementnya dengan wajah mengantuknya dan piyama yang lengkap.
“Akanishi… kau lagi” dia mengeluh pelan. Aku tertawa kecil. Aku tahu kenapa dia seperti itu. Semalam aku antara sadar dan tidak telah menyusahkannya.
“Aku sudah merepotkanmu tadi malam, warui na” kataku dan masuk ke dalam apartementnya tanpa menunggu dia menyuruhku masuk. “Aku membawa kopi dan pancake untuk sarapan” tambahku dan menyimpan bawaanku di meja makannya. Kulihat dia masih berdiri di tempatnya, mengusap-usap wajah dan rambutnya. Kawaii. Aku tahu, temanku yang lebih muda itu memang selalu tampak menggemaskan. Kadang aku tak mengerti kenapa dia selalu menghindar untuk memiliki hubungan serius dengan seorang perempuan. Padahal setahuku banyak yang tergila-gila padanya.
“Aku akan mencuci muka ku dulu” kata Kazuya akhirnya, dan berjalan menuju kamarnya lagi. Aku tersenyum saja.
Setelah kembali, dia menyiapkan dua cangkir kopi yang kubawa dan menyimpan pancake nya di dalam piring.
“Kau sudah baik-baik saja?” tanyanya sebelum menghirup kopinya.
“Seperti yang kau lihat. Aku tak pernah terkapar lama setelah mabuk, Kame. Kau tahu itu” kataku bangga. Dia menghembuskan nafasnya, dan memandangku datar.
“Kau mengerikan sekali tadi malam”
“Eh? Benarkah?”
“Kau nyaris tergelepar di depan pintuku. Aku tak ada ide untuk membawamu masuk. Aku tak tega kalau harus menyeretmu” dia berkata sedatar tatapannya. Aku tertawa.
“Kau tentu saja harus mengangkatku”
“Kau pikir badanmu itu sesuatu yang bisa ku angkat?!” dia menatapku tajam. Aku tertawa lagi. Inilah sesuatu yang selalu aku suka saat bersama Kamenashi Kazuya di situasi yang tidak melibatkan pekerjaan. Dia orang yang bisa membuatku menjadi Akanishi Jin yang sebenarnya, Jin dan Kazuya yang memang sudah bersama sejak sebelas tahun yang lalu dan tak pernah berubah walau pekerjaan diluar menuntut kami melakukan hal yang diluar kebiasaan kami. Imej-imej baru yang sengaja diciptakan tak kami pakai disaat seperti ini. Aku dan Kazuya hanya dua orang teman yang sedang menikmati ketenangan.
“Kau ada masalah?”
“Eh?” aku membuyarkan pikiran-pikiranku. Dan melihat pada mata cokelatnya yang tampak ingin tahu dengan apa yang terjadi padaku. “Tidak” aku menggelengkan kepalaku ragu-ragu.
“Sou ka…aku hanya tak biasa melihat cara mabukmu yang kacau sekali tadi malam”
“Hmm, aku memang terlalu over” aku menganggukkan kepalaku dan berusaha menunjukkan ekspresi biasa.
“Kagawa kah?” tanyanya lagi, menyebut nama kekasihku. Aku melihat padanya, berpikir. Aku takut dia bisa menebak pikiranku. “Akanishi, kau jangan seperti orang yang baru mengenalku kemarin” keluhnya sambil meminum kopinya lagi. Benarkan? Dia bisa menebak pikiranku.
“Uhm…” aku mengangkat bahuku, masih dengan ekspresi biasa yang tadi.
“Doushita?” dia memandangku.
“Aku… aku khawatir padanya” kataku akhirnya. Aku meungkin memang perlu bicara. Setidaknya tentang masalah kekasihku, aku memang tak pernah menutupinya dari Kazuya. Dia masih memandangku, mendengarkan ceritaku. “Kemarin aku mendapat kabar, dia…dia baik-baik saja hanya…” aku tak tahu kenapa aku harus menyampaikannya dengan cara dramatis seperti ini. “Dokter memvonisnya kalau dia tak boleh punya anak” kalimat terakhir ini sangat pahit rasanya di mulutku. Aku berat sekali mengatakannya. Tapi aku masih berusaha dengan ekspresi datar di wajahku. Kazuya menatapku lama, terpaku. Dia mungkin tak percaya dengan yang aku sampaikan.
“Apa…penyakit Kagawa separah itu?”
“Jantung. Kau tahu, orang yang memiliki penyakit itu lebih baik tidak memiliki anak”
“Sou. Tapi bukankah ada operasi transpalasi jantung?”
“Yeah, sepertinya mereka akan mengusahakan itu” aku menganggukkan kepalaku dan meminum tegukan terakhir kopiku. Aku tetap tak yakin. Operasi macam itu sangat beresiko. Tapi memang tak ada salahnya mencoba. “Kau tahu Kame…” kataku lagi dan menahan suaraku sesaat. Dia memandangku lagi. “Aku ingin sekali punya anak jika menikah dengannya nanti”
Kazuya terdiam. Dia mungkin langsung mengerti dengan maksudku. Hal ini yang memang mengganggu pikiranku sejak kemarin hingga aku mabuk separah itu. Aku mencintai Sara dengan sepenuh hatiku, tapi dengan keadaannya sekarang, sisi egoisku mulai merasakan keraguan. Aku perlu seseorang yang bisa membantuku untuk menepis semua keraguan yang bisa merusakkan mimpiku. Aku tak tahu apa Kazuya adalah orang yang tepat, tapi selama dia ada di dekatku, aku tahu aku tak memerlukan siapapun lagi.

*******

Selasa, 25 Agustus 2009

IT CAN'T BE- Chapter 8 (END)

Tittle : IT CAN’T BE
Pairing : Akanishi Jin X Kamenashi Kazuya (our lovely AKame <3)
Author : The Three Musketters (Nachan + NPhe + Rie)
Rating : NC-17 for chapter 4, 6, 7 ^^

Chapter 8

Kame membuka matanya, dan merasakan hangat di pipinya. Dia melihat ke samping ada Jin yang terlelap disana dengan jarinya yang menyentuh pipi Kame. Beberapa detik Kame hanya terdiam mengamati wajah polos Jin yang sedang tertidur. Dia tersenyum sendiri. Perlahan, di pindahkannya tangan Jin dari pipinya, tanpa ingin membangunkan laki-laki itu. Kame mencoba bangun dan seketika rasa sakit menyerang bagian belakang bawah tubuhnya. Sakit yang familiar, karena beberapa waktu yang lalu dia pernah merasakannya. Kame melihat selimut yang menutupi tubuh telanjangnya, dan sekali lagi dia melirik Jin. Mereka melakukannya lagi. Kame bisa mengingat dengan jelas bagaimana semalam mereka bercinta. Ciuman panas Jin yang membuatnya meleleh, sentuhannya, permainannya…Kame merekamnya dengan jelas, Kame bahkan ingat setiap teriakan dan desahan mereka yang saling memanggil nama masing-masing.
Kame menghela nafasnya berat, entah pikiran dari mana tapi Kame bisa merasakan kalau semua yang mereka lakukan semalam adalah untuk terakhir kalinya. Dia mendadak putus asa dan tak ingin membuat dirinya menyesal tak bisa memiliki Jin lagi. Eh? Memangnya selama ini mereka saling memiliki?! Kame tak yakin dengan jawabannya sendiri. Yang dia sadari dengan pasti kalau dia telah jatuh cinta pada laki-laki ini, dan dia pun tahu Jin merasakan hal yang sama. Samar-samar tadi malam dia mendengarnya…pengakuan Jin. Hanya dia terlalu lelah untuk menyahutnya.

Kame mengulurkan tangannya ingin menyentuh kepala Jin, tapi di tengah-tengah dia mengurungkan niatnya. Dia memutuskan untuk bangun dan memakai pakaiannya yang masih berserakan di lantai dapur. Apa dia harus langsung pergi sekarang? Kame berpikir di depan pintu dapur sambil mengamati Jin yang masih tertidur di ruang tengah. Bukankah dia menghindari Jin beberapa hari ini? dan sekarang dia harus kembali pada waktu itu. Karena hanya akan menyakitkannya saja melihat Jin menjauh darinya nanti. Kame harus terbiasa lagi dengan ketidak beradaan Jin seperti saat dia di LA dulu. Tapi…Kame baru akan melangkahkan kakinya menghampiri Jin untuk memeluknya selama dia masih bisa. Mendadak, suara pintu depan yang dibuka membuatnya berhenti dan harus terkejut melihat Chiaki masuk kesana.
Mereka saling melihat beberapa detik, berusaha menutupi keterkejutan masing-masing.
“Chiaki-san…” sapa Kame akhirnya. Tanpa nada tertentu di suaranya. Chiaki tersenyum tipis, dia segera meghampiri Jin yang tertidur dengan kepalanya di sofa. Seperti tak memperdulikan keberadaan Kame, dia berlutut di hadapan Jin yang masih terlelap, dan langsung memberikan ciuman lembut di bibir kekasihnya itu.
Kame hanya terpaku disana memperhatikan mereka seperti orang bodoh, dia sebenarnya ingin cepat pergi, tapi kaki nya seperti membeku disana. Apalagi saat dilihatnya Jin tampak membalas ciuman itu meski dia setengah tertidur.
“Uhmm, ohayo…” gumam Jin disela ciuman mereka, dia mengira Kame yang menciumnya. Walau dia merasakan yang lain di ciuman itu. “Ka—“ Jin baru akan menyebut namanya, ketika dia mendengar sahutan Chiaki yang jelas-jelas suara perempuan. Jin membuka matanya cepat dan melihat wajah cantik Chiaki disana, tersenyum padanya.
“Chiaki…” katanya pelan.
“Ohayo darling~” ulang Chiaki dan menciumnya lagi, kali ini Jin meresponnya pasif. Dia tak menyangka kalau Chiaki akan datang kesana sepagi ini. Jin melihat Kame berdiri tak jauh dari tempat dia dan Chiaki. Dia cepat melepas ciuman mereka, dan mencoba bersikap tenang.
“Kenapa kau datang sepagi ini?”
“Apa aku menginterupsi sesuatu?”
“Eh? Tidak! Yea, kau menginterupsi tidurku” Jin menjawab salah tingkah.
Chiaki tertawa kecil, “Kamenashi-kun saja ada disini sepagi ini, kenapa aku yang kekasihmu sendiri tidak boleh?” kata-kata yang menyindir lagi. Jin baru akan coba menyangkal, tapi Chiaki seperti tak tertarik dengan apapun alasan yang mau dia katakan. “Aku punya kabar baik” katanya. Dia tersenyum senang pada kedua laki-laki itu.
“Kabar baik?” Jin mengulang.
“Yes, orang tua kita setuju kalau kita menikah di LA”
Jin nyaris membelalakan matanya kaget, siapa yang akan menikah di LA!? Kame yang sebenarnya kesal dan lebih kaget mendengarnya, tapi dengan tenang dia mengambil air minum dari lemari es Jin dan malah menghampiri keduanya duduk di sofa yang lain.
“Yokatta na” katanya datar. Chiaki tersenyum lebih lebar.
“Bagaimana denganmu? Sebaiknya cepat menyusul dengan Ageha-chan”
Kame menggelengkan kepalanya, “Kami sudah sepakat tak akan menjalin hubungan”
“Kenapa?” tanya Jin datar, seolah dia benar-benar tak tahu. Chiaki beralih melihat pada kekasihnya itu.
“Kau tahu alasannya Akanishi” sahut Kame tak kalah datar. Dia meminum airnya. Chiaki memandang keduanya dengan tatapan aneh. Lagi-lagi perasaan tidak enak itu.
“Ck, sudahlah. Kita sedang membahas tentang pernikahan kalian, bukan? Ne, Chiaki-san…” Kame tersenyum pada perempuan cantik itu, dan Jin melihat padanya aneh. Atmosfir diantara mereka memang selalu tidak enak sejak pertama kali Chiaki melihat Kame berada di apartement nya. Dan sekarang Jin bisa merasakan, kedua orang ini memaksa untuk saling tersenyum dan mengobrol dengan normal. Jin menghela nafasnya diam-diam, dia seperti terjebak sekarang. “Jadi, kapan kalian akan ke LA?” Kame bertanya lagi memecah keheningan diantara mereka yang tak sadar telah menyelimuti suasana.
“Ah, minggu depan!” Chiaki menjawab dengan semangat.
“EEEHHH??!!” Kame dan Jin hampir berseru bersamaan.
“Kenapa?” Chiaki memandang keduanya pura-pura bingung padahal dia sudah menduga dengan reaksi yang dia lihat dari dua orang laki-laki ini.
“Ap-apa itu tidak terlalu cepat??” tanya Kame yang merasakan jantungnya mendadak berdetak lebih cepat setelah mendengar perkataan Chiaki. Itu berarti hanya tersisa 2 hari, 2 hari saja sebelum Jin akan menghilang lagi dari hidupnya. Jin pun terdiam, sangat kaget. Dia tak tahu kalau Chiaki sudah merencanakan semua ini.
“Chiaki, bukankah itu terlalu cepat? Kenapa kau tidak memberitahuku?”
“Ah Jin, kau bilang kau menyerahkan semuanya padaku. Kenapa? Kau tidak suka?” tanya Chiaki sambil merapatkan duduknya dengan Jin.
“Bukan…bukan tidak suka, hanya saja itu---“
“Hanya saja apa?” Kame menyela mereka tiba-tiba dan membuat pasangan itu melihat pada Kame bersamaan. “Kau tidak mengerti ya Jin? Ah~ ternyata kau memang benar-benar bodoh”
Chiaki tersenyum melihat Kame yang bisa mengerti maksudnya. Sedangkan Jin hanya memandang Kame tanpa mengatakan apapun.
“Chiaki melakukannya karena dia mencintaimu. Dia benar-benar ingin memilikimu” entah keberanian darimana ketika Kame mengatakannya. Dia sudah ikut campur dengan urusan Jin dan kekasihnya, yang sebenarnya adalah hal yang paling tak mau dia lakukan. Kame memandang Chiaki dan tersenyum pada perempuan itu.
“Ah~ kenapa Kamenashi-kun lebih mengerti aku dibanding kau Jin…” Chiaki melihat pada kekasihnya sebal, pura-pura marah.
“Bukan begitu Chiaki---“ Jin menelan ludahnya, dia sudah malas membuat alasan-alasan tak penting lagi. Tapi dia juga tak mungkin mengatakan kalau dia tak mau mengerti hal itu karena ada Kame disana. Sudah cukup dia membuat laki-laki itu tidak nyaman dengan keadaan mereka.
“Hai~ hai~ wakatta” Chiaki tersenyum lalu memegang kedua pipi Jin, dan mulai mendekatkan wajahnya pada wajah kekasihnya itu. Tangan kiri Chiaki menutup kedua mata Jin sedangkan tangan kanannya memegang leher Jin untuk menariknya lebih dekat, menciumnya.
What the hell!? Memuakkan! Kame berteriak-teriak di pikirannya. Dia muak melihat pemandangan di hadapannya. Dengan segera dia mengalihkan pandangannya ke arah lain, dan jendela disana ternyata bisa lebih menarik perhatiannya untuk saat ini.
“Sebaiknya…kalian cepat pergi” kata Kame tiba-tiba dan membuat pasangan itu melepaskan ciuman mereka. Keduanya memandang Kame bingung,. “Yea, sebaiknya kalian cepat pergi dan cepat menikah, setidaknya--” setidaknya kau lebih cepat hilang dari hadapanku, Jin. Kame melanjutkan kalimatnya dalam pikirannya.
“Setidaknya apa Kame?” Jin menatapnya penasaran. Kame memikirkan lanjutan yang lain untuk kalimatnya.
“Setidaknya aku bisa melihatmu bahagia bersama Chiaki-san. Ah sepertinya aku harus pergi, terima kasih untuk semuanya. Jya na” Kame tersenyum dibuat setulus mungkin.
“Ne, Jin… kenapa kau tidak mengantar Kamenashi-kun?”
“Eh?” Kame dan Jin melihat pada Chiaki heran. Aneh sekali Chiaki mengatakan seperti itu, tapi Kame memang sudah mengira sejak awal perempuan itu mencoba baik padanya.
“Kalian kenapa? Sudahlah, cepat antar dia!” Chiaki memilih tak ambil pusing dengan keterkejutan kedua laki-laki itu.

Beberapa saat kemudian, Kame dan Jin telah berada di depan lift. Menunggu pintunya terbuka.
“Kenapa?” Jin membuka pembicaraan.
“Apa maksudmu dengan kenapa? Aku tidak mengerti” Kame menyahut tanpa melihat pada laki-laki disampingnya itu. Dia hanya mengamati pantulan diri mereka di pintu lift.
“Kenapa kau berharap seperti itu? Kau berharap aku bahagia dengan Chiaki? Bagaimana bis---“
Kame dengan menolehkan wajahnya, melihat pada Jin.
“Dengar Jin! kau pikir aku bisa berharap apa?? Berharap kau tetap disini?? Berharap kita terus bersama?? hidup bahagia berdua?! Aku tidak mau mengharapkan yang tidak mungkin!”
“Tak ada yang tidak mungkin, Kazuya”
“Kali ini tidak mungkin. Kau dan Chiaki-san telah jauh lebih dulu menjalin hubungan. Sedangkan aku? Kau dan aku? Apa hubungan kita Jin??!”
Jin menelan ludahnya mendengar perkataan Kame.
“Kau tahu perasaanku kan? Kenapa kita tidak memulai hubungan yang baru?!” Jin mencoba menenangkan dirinya.
“Apa yang aku tahu? Kau tidak pernah mengatakan apapun, Jin. Kita hanya teman kecil yang tiba-tiba bertemu lagi…dan semuanya terjadi begitu saja. Kita tidak berhak memulai, Jin. Kau sudah bersama Chiaki, aku tidak mau memulai dengan menghancurkan hubungan kalian. Karena suatu saat nanti aku juga tidak ingin ada seorangpun yang menghancurkan hubunganku dengan pasanganku” jelas Kame panjang lebar. Dia sebenarnya memang tahu persis denga perasaan Jin padanya, tapi dia tak mungkin mengatakan itu hanya akan semakin mempersulit keadaan.
“Kazu, kau tahu…aku benar-benar bingung dengan perasaanku sekarang” kata Jin yang mulai terdengar putus asa.
“Pertemuan kita sampai disini Jin, takdir yang membawa kita ke jalan ini,. kita bisa berbuat apa? Aku harap kau bisa mengerti, karena aku juga terus mencoba untuk mengerti. Dari awal kau ditakdirkan bersama Chiaki, tapi Tuhan sangat baik Jin, membuat kita sempat bertemu lagi…”
DING!
Lift didepan mereka terbuka, ternyata kosong. Jin hanya menatap Kame.
“Aku tidak pernah menyesal melewatkan sedetikpun bersamamu, Jin” lagi, Jin hanya bisa menatap senyuman Kame, pintu lift mulai tertutup, hingga membuat Kame tak terlihat lagi di pandangannya. Jin masih terdiam beberapa detik menatap dirinya di pantulan pinti lift, mencerna lagi perkataan Kame yang masih terngiang di telinganya. Sampai akhirnya dia berbalik kembali ke apartementnya, kembali pada Chiaki, mulai sekarang akan benar-benar meneruskan hidupnya dengan Chiaki…melanjutkan apa yang seharusnya…
***

Kame mengurung dirinya seharian itu di kamar setelah sehari yang lalu dia bersikap kuat di hadapan Jin dan Chiaki. Besok mereka akan berangkat ke LA. Dan Kame mulai merasakan ada yang tak beres dengan dirinya, dia ternyata memang hanya manusia biasa. Akan terulang lagi hal yang paling Kame benci, ditinggalkan orang yang berarti untuknya. Kenapa waktu itu dia harus kembali kalau hanya untuk meninggalkannya lagi? Dan yang lebih parah sekarang Jin tidak pergi sendiri, ada perempuan yang akan menjadi istrinya. Kemungkinan juga kalau dia tak akan kembali lagi, akan selamanya pergi dari kehidupan Kame.
Perlahan dia menyandarkan kepalanya ke bantal dan menghela nafasnya berat. Dia tidak pergi ke café sejak kemarin karena dia tahu Jin akan mencarinya, dia tak mau bertemu laki-laki itu lagi, dia tak tahu harus berkata apa. Mengatakan selamat tinggal?? Kame menutup matanya dengan tangan kanannya. Dia tak tahu apa itu ide bagus atau hanya akan membuatnya semakin depresi.
Drrrtt…Drrrttt…
Kame mendengar ponselnya bergetar di meja dekat ranjangnya. Dia baru menyalakan ponselnya lagi dan sekarang dia malas melihatnya setelah tadi dia melihat banyak sekali pesan yang ditinggalkan Jin dan Koki, dan sekarang…siapa yang meneleponnya? Kame ragu-ragu melihatnya dan nama Koki yang ternyata muncul disana.
“Ou Koki?” jawabnya tak bersemangat.
“Kame –chan, apa kau baik-baik saja?” Koki terdengar lega karena Kame akhirnya menjawab teleponnya.
“Hm, aku baik-baik saja”
“Akanishi datang kemari dua hari berturut-turut ini hanya ingin menemuimu. Kau…menghindarinya lagi?”
Kame tak menjawab. Dia sudah menduganya.
“Katanya dia mencari ke universitasmu, ke rumahmu, tapi dia tetap tak bisa bertemu denganmu. Kau tahu, dia terlihat kacau”
“Sejak kapan kau jadi peduli padanya, Koki? Bukankah dia sainganmu?” Kame malah mencandai sahabatnya itu.
“Kame-chan~ aku hanya kasihan melihat dia seperti orang yang akan mati besok kalau tak bertemu denganmu. Kenapa? Apa kalian bertengkar lagi?”
“Aku hanya tak mau bertemu dengannya”
“Alasannya?”
Kame terdiam lagi, dia menggigit bibirnya pelan.
“Kame-chan?”
“Dia akan pergi besok” kata Kame akhirnya. Untuk pertama kalinya dia seperti ingin mencurahkan isi hatinya tentang Jin pada Koki. Sebelumnya mereka hanya akan bertengkar kalau membahas Jin.
“Hah? Kemana?”
“LA”
“Eh? Amerika??” Koki tampak terkejut.
“Yea”
“Lalu?”
“Seperti itu…”
“Kau tidak akan mengucapkan perpisahan?”
“Apa aku harus??”
“Demi Tuhan Kame-chan…dia itu bukan hanya orang biasa yang ada di hidupmu, bukan??!”
Lagi, Kame hanya diam, dan itu cukup membuat Koki gemas.
“Aku menunggumu di taman dekat café, sekarang!!” KLIK. Dan Koki mematikan ponselnya. Kame masih bingung, tapi dia cukup sadar dengan perintah Koki tadi. Dengan malas dia beranjak dari ranjangnya dan mengganti pakaiannya. Dia tak mau membuat Koki benar-benar menunggu. Bagaimanapun dia sudah cukup sering merepotkan Koki.

Koki menatap Kame yang nyaris seperti mayat hidup. Wajahnya nampak lesu, lebih banyak diam, tapi beruntung masih bernafas.
“Kau mengerikan” komentar Koki akhirnya setelah mereka hanya terdiam dari tadi sejak Kame tiba. Kame menoleh padanya, tapi masih tak mengatakan apapun. “Kame-chan~”
“Aku baik-baik saja”
“Kalau begitu bersikaplah dengan baik-baik saja. Kau yang baik-baik saja bukan yang seperti ini!”
Kame mengangguk-anggukan kepalanya. Koki semakin gemas, dia meraih Kame ke pelukannya dengan tiba-tiba. Membenamkan wajah Kame di bahunya. “Kalau kau perlu menangis, menangislah. Kalau kau perlu marah, marahlah. Jangan menahan semuanya seperti ini!”
“Aku tak mau menangis” gumam Kame di pelukan Koki.
“Lakukan apapun yang kau mau!”
“Aku selalu kuat di hadapannya”
“Dan sekarang dia sedang tak ada di hadapanmu, kau tak perlu bersikap kuat!” Koki menyentuh rambut Kame dan menepuk punggungnya pelan. Memberinya semangat.
“Kenapa kau jadi seperti mendukungku dengannya, Koki?”
“Hah? Apa aku terlihat seperti itu?” Koki melepaskan pelukannya dan melihat pada Kame.
“Obviously” jawab Kame pendek.
“Ah… aku hanya senang karena akhirnya sainganku itu pergi juga” kata Koki sambil menggaruk kepala plontosnya. Dia tertawa malu.
“Sudah aku duga” kata Kame sambil kembali menjatuhkan tubuhnya di pelukan Kame, membenamkan wajahnya di pundak Koki sekali lagi. Koki agak terkejut, dia pikir Kame akan menjauhinya. Tapi ternyata sekarang Kame memang sedang sangat membutuhkan dukungan, kenyamanan. Dia melingkarkan tangannya di tubuh kecil Kame, menyentuh kepalanya lagi.
“Kau sudah tahu apa yang ingin kau lakukan?”
“Aku akan selalu kuat”
“Meskipun tidak di hadapannya?” tak ada jawaban, beberapa saat semuanya jadi hening, hanya suara angin yang agak memecah suasana. Mereka masih seperti itu, hingga Koki merasakan ada cairan hangat di pundaknya. Dia melepaskan pelukan dan melihat pada Kame yang sudah meneteskan air matanya. Dia membiarkan Kame seperti itu. Akhirnya Kame bisa menunjukkan perasaannya.
“Aku tak akan pernah membuatmu menangis seperti ini Kame…”
“Hanya Akanishi Jin yang bisa membuatku seperti ini” Kame mengangkat wajahnya memandang Koki, dia tersenyum diantara air matanya.
Koki merasa tertampar dengan kalimat itu. Hanya Akanishi Jin yang bisa membuat Kame mengeluarkan air matanya…bisa membuat laki-laki yang disukainya ini merasa berat kehilangan sesuatu yang berarti. Dia sama sekali tak ada apa-apanya. Kame mungkin tak akan menangisinya seperti ini kalau suatu hari dia pergi juga. Dia tidak pantas untuk itu, hanya Akanishi Jin.. Koki menyadari semuanya dengan seketika. Bahkan disaat laki-laki yang dia anggap sebagai saingannya itu telah pergi, Koki tetap tak bisa mendapatkan apapun. Dia sudah kalah telak sejak awal.
***
Setelah seharian bersikap seperti orang yang kehilangan arah, Kame memutuskan untuk mendatangi Jin hari ini, untuk terakhir kali.
“Kazu?” Jin kaget melihat Kame berada di depan pintu apartementnya, setelah seharian kemarin dia tak berhasil menghubunginya dan sudah pasrah akan berpisah dengan Kame begitu saja, ternyata laki-laki tampan ini datang ke hadapannya.
“Sudah mau pergi?” tanya Kame yang melihat Jin membawa koper di tangannya. Sukur dia belum terlambat.
“Uhm” kata Jin sambil menyimpan kopernya ke tembok, lalu dia menghampiri Kame. “Kenapa datang? Aku pikir kau sudah tak mau melihatku lagi”
“Aku hanya mau bilang selamat tinggal… baka!” Kame memukul kepala Jin pelan, sedikit mencandainya agar suasana diantara mereka tidak terlalu murung. Tapi tanpa di duga, Jin menarik tangan Kame dan hampir membuat tak ada jarak diantara mereka. Jin menatap Kame dalam.
“Untuk terakhir kali…” sebelum Kame bertanya apa maksudnya, Jin telah mencium Kame di bibirnya, lembut… hangat… dalam… dan Kame membiarkan Jin melakukan seberapa lama pun yang dia mau. Keduanya berpikir ini kesempatan terakhir, setelah ini mereka tak akan bisa merasakan kelembutan ini, selamanya.
“…Jin??” panggil Kame setelah mereka melepaskan ciuman karena nafas meereka mulai tak beraturan.
“Aku tak mau kehilanganmu, Kazuya”
“Aku juga, Jin. Tapi ini sudah menjadi keputusan kita, kebaikan untuk semua orang. Dan yang terpenting untuk kebaikanmu dan Chiaki, bukankah kau pernah bilang kalau kau ingin punya anak banyak? Haha…kasian sekali Chiaki harus merawat anak-anak juga mengurus suami bodohnya” Kame bercanda lagi. Dia tertawa meledek, tapi siapapun akan tahu kalau itu tawa yang memaksa. Dan Jin tentu saja bisa melihatnya.
“Stop it Kazuya! jangan berakting seolah kau orang yang kuat! Kau menerima semuanya begitu saja??” Jin agak membentaknya dengan tiba-tiba. Membuat Kame harus berhenti memasang wajah cerianya yang palsu.
“Tentu saja tidak! Tapi kita tidak bisa mengubah apapun Jin. Kita memiliki kehidupan masing-masing. Aku punya keluarga dan kehidupanku sendiri, begitu juga kau…dan yang terpenting, kau memiliki Chiaki” lagi, Kame berusaha tersenyum. Jin membenarkan perkataan Kame di benaknya, kebenaran yang membuatnya muak. "Sebaiknya kau bersiap, aku juga harus pergi" kata Kame pula.
“Sampai jumpa Kazuya” kata Jin akhirnya sambil berusaha membalas senyuman Kame dan memegang kepala Kame, menyentuh rambut lembutnya.
“Selamat tinggal” sahut Kame seperti mengoreksi perkataan Jin. Dia membalikkan tubuhnya dan pergi dari sana. Tak mau menunggu hingga Jin yang pergi dari pandangannya, lebih baik dia yang seperti meninggalkan Jin.
Dia sudah siap dengan semuanya, dia akan melanjutkan hidup yang semestinya seperti yang diinginkan ayahnya, dia akan menjadi orang yang bisa membuat ayahnya bangga. Meski tanpa Jin.

Jin terduduk di sofa nya, life must go on…Tomorrow is a new life in a new place… a new day… without him. Tanpa terasa Jin telah meneteskan air matanya. Air mata yang sudah ditahannya sejak lama. Dia pun mengingat satu kalimat yang diucapkan Kame dulu.. “Believe me, there’s a place in my heart belongs to you” setidaknya Jin tahu kalau Kame juga merasakan hal yang sama dengannya. But it can’t be…it just can’t be…
***
O.W.A.R.I

A/N : finally it's done! kelar jg penpik prtama qta \^^/
well, not good enough... qta masi perlu bnyk blajar, lebih kreatip lg,
lebih produktip imajinasinya hahaaa~~
tp sejauh ini qta puas koq. dngn bermacam aral melintang,
ide2 yg mentok, sampe gulung2 ngbaca lg penpik qta yg keitung berani bwt ukuran
pemula... :p qta ngarep ntar2 bs bkin penpik yg lebih mutu dr penpik yg udh bermutu ini XDDD

thx bwt yg udh nyempetin baca..
gomen~ kalo gag memuaskan
gomen juga kalo bkin tmen2 ilpil..
hoho~ but eniwei.. AKAME LOVE ALWAYS IN DA AIR!!

next project, mungkin qta bkal nyoba pairing laen
hehe...
tp tetep AKAME the best couple ever!!

arigachuu minna~
aishitemash X33

-Nachan + NPhe + Rie-
(The Three Musketters)

IT CAN'T BE- Chapter 7

Tittle : IT CAN’T BE
Pairing : Akanishi Jin X Kamenashi Kazuya (our lovely AKame <3)
Author : The Three Musketters (Nachan + NPhe + Rie)
Rating : NC-17 for chapter 4, 6, 7 ^^
A/N: WARNING!! STRONG LANGUAGE! FULL SMUT! 17+! YAOI! Yg gag bisa handle, please stay away yaa~ DON’T FORCE YOURSELF! XD gomen klo ada error, but anyway it’s our inspiration, enjoy! ^^

Chapter 7

Jin tak pernah tahu jadwal kuliah Kame, setiap dia mendatangi café, lagi-lagi Kame selalu tak ada. Dia mendatangi rumahnya pun, Kame selalu sedang tak ada. Benar-benar Kame seperti sengaja menghindar darinya, menjauh, membuat jarak dengannya. Akhirnya Jin memutuskan untuk menunggu Kame di Universitasnya sepanjang hari. Jin yakin dengan cara ini dia pasti bisa menangkap Kame.
Setelah hampir 3 jam Jin menunggu di mobilnya, mengamati setiap mahasiswa yang berlalu-lalang, akhirnya dia melihat orang yang dia cari. Orang yang sudah sejak beberapa minggu lalu sangat ingin dia lihat lagi. Tanpa berpikir panjang, Jin cepat keluar dari mobilnya dan menghampiri Kame yang sudah akan masuk ke mobilnya.
“Kazuya!” Jin memegang tangan Kame. Deg! Jantung Kame berdegup cepat. Suara itu dan sentuhan di tangannya. Kame akui kalau dia sangat merindukannya. Tapi dia tak mau menyerah begitu saja. Dengan cepat dia menepis tangan Jin, dan melihat padanya dingin.
“Apa maumu?”
“Kenapa kau tiba-tiba menghilang…”
“Aku tidak menghilang. Aku sibuk dengan kuliahku. Aku sudah menuruti keinginan ayahku…ini juga kan yang kau mau?” Kame berkata sedingin tatapannya.
“Yeah, aku senang akhirnya kau---“
“Aku harus cepat pulang” Kame memotong kalimat Jin begitu saja, dan bermaksud masuk lagi ke mobilnya. Tapi sekali lagi Jin menahannya.
“Aku rindu padamu. Aku memikirkanmu terus selama ini” dia membuat pengakuan, yang sebenarnya menyentuh Kame, tapi laki-laki keras kepala itu tak mau mengakuinya.
“Sokka.. sebaiknya kau memikirkan Chiaki-san. Kalian akan segera menikah, bukan?”
“Itu…” Jin tak bisa berkata-kata. Kame memandangnya datar.
“Kau membuang waktuku---“ gumam Kame sambil masuk ke dalam mobilnya, tapi tanpa dia duga Jin juga ikut masuk dan memojokkannya hingga dia hampir berbaring di kursi pengemudi itu dengan tubuh Jin yang memerangkapnya. “Jin--- ah, Akanishi…pergi dari sini!” Kame masih sempat meralat panggilannya pada Jin.
“Tidak” Jin menatapnya dalam. Dia serius.
“Hah? Apa maumu?!” Kame berusaha menyingkirkan tubuh Jin, tapi tangan Jin lebih kuat dan membuatnya semakin terpojok. Dia mencoba bangun, membetulkan posisinya, yang akhirnya hanya membuat dia semakin dekat dengan Jin. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti saja. Wajah tampan Jin, mata cokelat yang seksi itu… bibir tipis berwarna kemerahan itu… Bagaimana mungkin Kame bisa melupakannya?!!
Kame mencoba menguasai dirinya untuk tidak menyentuh bibir itu dengan bibirnya, tapi rupanya Jin sangat tahu yang dia inginkan. Tanpa menunggu waktu lama, bibir mereka telah terkunci. Kame hanyut begitu saja, dia membalasnya tanpa ragu-ragu. Dia juga merindukan ciuman ini. bibir mereka bertaut terus, dan saat Kame semakin bersemangat, Jin tiba-tiba melepaskan ciumannya, menatap Kame dengan senyuman puas di bibirnya.
“Aku tahu kau juga merindukanku” gumamnya. Whatever! Teriak Kame dalam hati. Dia memang sudah menjatuhkan gengsinya setelah dia membalas ciuman Jin tadi, apalagi jelas sekali kalau tadi dia sangat bersemangat. Kame sudah tak bisa mengelak lagi. “Kau harus ikut denganku. Jangan menghindariku lagi”
Kame tak menjawab, dia hanya menatap Jin. Pikirannya sudah kacau. Jin menciumnya lagi dan setelah itu dia pun menyerah, dia tak peduli kemana Jin akan membawanya.
***
Kame terpaku di depan kamar Jin, ranjang itu…dia tiba-tiba sangat membencinya. Terbayang lagi saat dia melihat Jin dan Chiaki bermesraan disana, bercinta… Kame menggeleng-gelengkan kepalanya. Saat pertama kemari dan menginap disini dia bisa merasakan aroma Jin disini, semua yang berhubungan dengan Jin terasa disini, semuanya hanya tentang Jin, dan tentunya ranjang itu…tapi sekarang, dia tak merasakan itu lagi. Aroma Jin yang dia suka sudah memudar, ada bau Chiaki…yang dia tak suka.

“Kazuya?” Jin memeluk Kame dengan tiba-tiba dari belakang. Membuat Kame agak terhenyak, tapi kemudian dia merasakan hembusan nafas Jin di samping wajahnya. Aroma alcohol.
Kame membalikkan tubuhnya dan melihat Jin memegang sekaleng bir di tangannya. Dia mengambil kaleng itu lalu meminumnya tanpa memperdulikan protesan Jin yang bercampur heran. Kame mengembalikannya setelah menghabiskan isi kaleng itu. Jin hanya menggerutu tak mengerti, sambil membuang kaleng itu ke tempat sampah. Kame tertawa kecil, wajahnya memerah, efek alkohol.
“Itu kaleng bir terakhirmu?” ulang Kame saat dia mendengar gerutuan Jin tadi. Dia lalu tertawa lebih keras.
“Kau mabuk Kazu” komentar Jin.
“Tidak. Aku hanya minum setengah kaleng saja”
“Tapi wajahmu merah…”
“Bukankah kau suka melihatnya?” Kame tersenyum menggoda sambil mendekati Jin lagi, melingkarkan lengannya di leher laki-laki tampan itu.
“Kau menggodaku”
“Tidak sama sekali”
Jin menyimpan tangannya di pinggang ramping Kame, membuat tubuh mereka makin merapat.
“Sepertinya kita harus ke kamar lebih awal” saran Jin.
“Aku tidak mau”
“Eh?”
“Aku tak mau berada di kamarmu lagi, terutama di ranjang itu…” Kame menggigit bibirnya pelan. Jin mencoba mencerna kata-kata Kame, dan tidak seperti biasanya tiba-tiba saja dia cepat menangkap maksud Kame.
“Aku mengerti. Aku harus mengganti ranjangku” katanya.
“Sou. Jadi sekarang aku akan pulang…” Kame sudah bersiap melepaskan pelukannya, tapi Jin menahannya dengan cepat, membuat dia tak bisa bergerak sesukanya.
“Siapa yang bilang kau akan pulang dengan mudah?” bisik Jin.
“Aku tak mau selama ranjang itu---“
“Masih banyak tempat yang bisa kita pakai” Jin tersenyum nakal.
“Eh?” Kame jadi berhati-hati melihat senyuman itu.
“Dapur? Ruang makan? Kamar mandi?” Jin menyebutkan tempat-tempat yang rasanya membuat Kame merinding ketika membayangkannya. “Yang jelas aku tak suka sofa kecil itu” tambah Jin lagi menunjuk sofa mungilnya satu-satunya. Kame ingat Jin pernah bercerita kalau sofa itu ibunya yang memilihkan.
“Terlalu kecil?” tanya Kame tersenyum lucu.
“Sempit”
“Kau harus diet lagi” kali ini Kame tertawa kecil. Tapi terhenti karena tiba-tiba dirasanya Jin memojokkannya ke tembok di dekat situ.
“Aku memilih tempat yang lebih luas, Kazuya Kamenashi...” bisik Jin lagi, panggilannya yang khas itu membuat jantung Kame berdebar tak menentu.
“Di----sini?” Kame bertanya hati-hati. Hanya memastikan kalau Jin tak mempunyai ide gila seperti itu.
“Why not??” kata Jin dengan bahasa Inggrisnya. Kame terkesiap saat dirasanya Jin memegang salah satu kakinya seperti akan mengangkatnya.
“Jin…”
Jin semakin merapatkan tubuhnya pada Kame, menatap laki-laki itu dalam.
“N-ngg..aku…aku haus. Aku mau minum” elak Kame akhirnya. Jin hanya tersenyum melihat tingkah laki-laki kesukaannya itu. He is so cute.
Kame berjalan ke arah dapur, jantungnya berdegup kencang. Dia bisa merasakan sedikit demi sedikit aliran hawa panas memenuhi tubuhnya.
Shit! Kenapa aku jadi salah tingkah sendiri?! Jin hanya memandangku! Dia sibuk menegaskan pada dirinya sendiri. Kame mengambil sebotol air dingin dari lemari es Jin dan langsung meneguknya tanpa memindahkannya dulu ke gelas, berharap air dingin itu bisa mendinginkan tubuhnya yang mulai panas. Ini semua gara-gara Jin! dia terlalu menggairahkan. Ditambah lagi efek alcohol yang tadi diminumnya. Dia jadi berani melihat Jin dari sisi yang sensual. “damn Jin! he is too hot!” umpatnya sambil menutup pintu lemari es.
.
.
.
“Glad to hear that Kazuya…” senyum manis terulas di bibir laki-laki yang sejak tadi memandangi Kame dari samping meja makan yang tak jauh dari tempatnya berdiri itu.
Tenggorokan Kame tercekat. Damn Jin! kenapa dia bisa berada disana secepat itu!? pipinya memerah saat melihat senyuman Jin.

“Kau ini jorok! Kenapa piring kotornya belum dicuci?! Dasar pemalas!” Kame mengalihkan perhatiannya pada piring kotor Jin yang menumpuk di tempat cuci piring. Dia mulai mencucinya dengan maksud mencari alasan agar suasana tidak menjadi lebih panas. Panas bagi Kame tentunya.
Jin berjalan ke arah Kame, perlahan meyimpan tangannya di pinggul Kame dari belakang. Jantung Kame semakin berdebar kencang merasakan sentuhan Jin di pinggulnya. Dia secepat mungkin menyelesaikan mencuci piring-piring itu.
“Permisi, aku sudah selesai mencuci…”
“Lalu?”
“Biarkan aku lewat”
“Tidak semudah itu Kazuya” ujar Jin nakal, sambil meraba-raba pantat Kame. Muka Kame sudah benar-benar memerah, dia malu tapi dia menikmatinya. “You said that I’m too hot…?” Jin mulai menciumi leher Kame dan tangannya berada di sekitar manhood Kame, tapi belum benar-benar menyentuhnya.
“I-itu…aku hanya---“ belum sempat Kame menyelesaikan kata-katanya, Jin memiringkan dagu Kame agar bibir mereka bertemu, Jin menciumnya perlahan dan basah. Dia menyisipkan lidahnya yang memaksa Kame untuk membuka mulutnya lebih lebar.
“Mmmhhpp” desah Kame disela-sela ciuman mereka, Jin melakukannya berkali-kali, membuat irama yang lama-lama membuat Kame kepayahan menerima ciuman Jin karena tak bisa mengimbanginya.
“Hahh! Hahhh!” Kame berusaha bernafas setelah melepaskan bibirnya dari Jin. “Kau mencoba membunuhku?!” ucap Kame sambil terus mengatur nafasnya. Jin tertawa kecil lalu pelan mendekatkan tubuhnya pada Kame hingga memeluknya erat dari belakang. Kame merasakan sekujur tubuhnya dialiri listrik. Dia dapat merasakan manhood Jin menempel di belakang tubuhnya. Manhood Jin yang mengeras.
“Na~ Kazu, kau bisa merasakanku?” Jin mempererat lingkaran tangannya di pinggul Kame dan meletakkan dagunya di bahu Kame. Laki-laki yang lebih muda itu dapat dengan jelas mendengar suara dan nafas Jin yang sexy tepat di telinganya, dia pun hampir bisa merasakan detak jantung Jin yang menempel di punggungnya. Kame hanya mengangguk, dia merasakan dengan jelas manhood Jin yang menegang, mengharapkan sesuatu.
“I want you” suara serak sexy milik Jin terdengar seperti mantra di telinganya. Perlahan Jin membuka kancing dan resleting jeans Kame yang saat ini hanya terpaku, membiarkan Jin melakukan apapun yang dia inginkan, tubuh Kame benar-benar panas ditambah lagi ketika merasakan boxer nya turun melewati kakinya. Jin membalik tubuh Kame agar menghadapnya. Senyum puas terukir di bibir tipis Jin melihat sosok tegak di bagian bawah tubuh Kame. Wajah Kame seketika memerah seperti udang rebus.
“Be-berhenti memandanginya!” kata Kame setengah berteriak, dia malu. Pandangan Jin terus terang membuatnya risih, sekarang Jin tahu kalau dirinya juga horny.
“Kenapa? Aku menyukainya” Jin mulai memegang perlahan manhood Kame.
“Ngghh” Kame mendesah ketika tangan hangat Jin meremas-remas bagian paling sensitive di tubuhnya itu. Jin melingkarkan tangan kirinya ke pinggang Kame, memiringkan wajahnya dan menjilat leher mulus Kame yang dari tadi begitu menggiurkan terpampang di hadapannya. “J-Jin… Ahh~ nggh~” Kame mengeluh nikmat, merasakan gigitan di lehernya serta pijatan di manhood nya, Kame tak bisa mengingkarinya lagi, dia benar-benar menyukainya. Jin tersenyum melihat reaksi Kame yang menikmati setiap perlakuannya. Dia menurunkan tubuhnya hingga wajahnya sejajar dengan manhood Kame. Mata Kame diam-diam mengikutinya dan dia sudah tak bisa melakukan apapun saat Jin tiba-tiba menciumi manhoodnya, dan menjilat setiap sisinya. “Nggh…aaaahh, Jin-aaah~” tangan Kame reflek meremas rambut Jin, melebarkan sedikit kakinya yang agak gemetar untuk mempermudah Jin melakukan oralnya. Tubuhnya saat ini sudah sangat panas seperti tak lagi digerakkan dengan perintah dari otaknya, nafsu yang mengendalikannya sekarang.
Jin menggigit-gigit manhood Kame, memberinya jilatan basah di setiap bagian. Kame menutup kedua matanya, desahannya semakin keras walau dia sudah berusaha mengurangi dengan menggigit bibirnya. Setiap yang dilakukan Jin disana memberinya kenikmatan yang luar biasa.
Entah sudah berapa lama Jin melakukan oralnya, Kame sudah tak bisa berpikir apapun, mungkin hanya beberapa menit tapi bagi Kame seperti selamanya, seperti tak berujung. Dan dia mulai merasakan kakinya semakin gemetar, nampak tak mampu menahan tubuhnya lagi.
“J-Jin, kau membuat kaki ku lemah” ucap Kame terbata-bata, dengan nafas yang berat. Jin berhenti melakukan aktivitasnya, dia berdiri, memandang wajah Kame yang berkeringat. Kame menjatuhkan tubuhnya ke pelukan Jin, kakinya ternyata memang sudah tak sanggup menahan tubuhnya.
Jin pun memutuskan untuk duduk di lantai dapur itu, melakukan dengan hati-hati sambil membawa Kame yang berada di pelukannya.
“Kau bisa duduk?” tanya Jin agak khawatir. Kame mengangguk. “Good” komentarnya sambil berusaha melepas kaos dan menyingkirkan celana Kame yang tadi stuck di ujung kakinya. Wajah Kame memrah untuk kesekian kalinya, sekarang dia benar-benar nude di hadapan Jin, Kame hanya menunduk malu menyadari Jin saat ini sedang menatap tubuh telanjangnya penuh nafsu.
“Tidak perlu malu, Kazuya” kata Jin meyakinkannya, tangan Jin menyentuh pipi Kame, hingga membuat Kame dengan ragu-ragu melihat padanya, mata mereka bertemu. “Kau itu sexy, yea walau tubuhmu sedikit kurus… tapi itu bukan masalah, kau tetap menggairahkan untukku” tegasnya sambil tersenyum menatap Kame.
Damn Jin! dia benar-benar tahu cara membuatku meleleh, tentunya selain ciumannya yang hebat itu, batin Kame. Kame mengalihkan pandangan ke pakaian Jin yang masih lengkap. Itu tidak adil baginya.
“Jin, bajumu”
“Eh? Ada apa dengan baju ku?”
“Kau mau terus memakainya?” Kame memberikan pandangan keberatan.
“Ah, gomen…gomen!” katanya sambil melepas satu-persatu pakaian di tubuhnya hingga dia juga sama seperti Kame, tanpa sehelai benang pun di tubuhnya.
Kame otomatis merasakan debaran kencang di dadanya melihat pemandangan sexy itu di hadapannya. Jin memang sangat…hot. Tubuhnya benar-benar sempurna, terlebih lagi…his lower part. Kame ingat dulu saat having sex mereka yang pertama, dia tidak jelas melihat tubuh laki-laki tampan itu karena masih malu.
“Selesai mengamatiku? Kau menyukainya?” pertanyaan Jin membuyarkan Kame dari pikirannya dan dia pun tersadar kalau dari tadi dia melihat Jin dengan detil. Kame menundukkan kepalanya lagi, menyembunyikan wajahnya yang masih memerah. Jin tertawa “Arigato Kazu… Ah, tunggu sebentar!” Jin tiba-tiba bangun dan mencari-cari sesuatu di sebuah rak di dapurnya itu. Setelah menemukannya, dia kembali duduk di lantai dengan Kame yang keheranan melihat benda yang dibawa Jin.
“Apa itu?” tanya Kame ingin memastikan.
“Madu” ternyata memang seperti yang dia lihat.
“Untuk apa?”
“Agar kau tidak begitu merasakan sakit”
“E--?” Kame tak jadi bertanya, dia mengerti. Dia jadi malu, kenapa dengan bodohnya dia malah menanyakan itu. Jin dengan cepat mengoleskan madu ke manhood nya yang menegang. Kame jongkok di hadapan Jin, dan Jin memeluknya dengan erat dari belakang. Jin menggesek-gesekkan tubuhnya. “Aaaahhhh~ Jin!!” Kame agak berteriak kesakitan ketika manhood Jin memasukinya. Ini memang bukan yang pertama tapi rasa sakitnya sama saja seperti ketika pertama kali dia merasakannya. Tangan kiri Jin memeluk pinggang Kame sedangkan tangannya yang lain melakukan pumping pada manhood Kame.”ngghh-ahh! Jin-aahh!” Kame tak henti-hentinya bersuara, mendesah dan memanggil-manggil nama Jin. Dia begitu menyukai yang dilakukan Jin pada dirinya, gerakan di bagian belakang tubuhnya. Walau rasa sakit itu masih terasa, dia yakin akan segera hilang dan tergantikan dengan kenikmatan yang pernah dia tahu. Desahan Kame semakin membuat Jin bergairah dan bersemangat. Dia sangat suka bibir sexy Kame meneriakkan namanya dengan suara yang bergetar itu. Jin terus melakukan in-out, tangan kanannya sibuk meremas manhood Kame, yang bermanfaat untuk mengaburkan Kame dari rasa sakitnya. Kame tak berhenti bersuara, berteriak, mendesah, mengerang…menyatu dengan suara Jin juga yang tak terkendali. Mereka menyukai sensasi yang mereka buat ini. Keduanya tak akan saling melepaskan sebelum mencapai akhir yang memuaskan.
“Aah! Jin-aah! Ngghhh…”
Jin semakin bernafsu, dia menghujam keras anal Kame ketika klimaks telah menghampiri mereka. Keduanya saling meneriakkan nama masing-masing, karena mereka mencapainya bersamaan. Jin mengeluarkan manhoodnya dari anal Kame, cum hangat menyembur dari manhood mereka. Jin menarik Kame ke pelukannya, mencium bibirnya lembut. Kame begitu kelelahan, kakinya masih gemetar dan lemas, tapi dia dengan senang hati menyambut ciuman Jin.
“Maaf membuatmu lelah, Kazu” Jin menyeka keringat dari kening Kame, setelah melepaskan ciuman mereka. Jin menyadari kaki Kame yang masih gemetaran, dan dia merasa tak enak.
“Ii yo Jin” Kame tersenyum manis pada laki-laki itu. “Aku menyukainya” tambah Kame pula, sambil membelai pipi Jin.
Jin tersenyum mendengarnya, dia lega karena Kame tak keberatan.
“Na, Kazu… ayo kita membersihkan diri!?” ajaknya. Kame mengangguk. Jin mengangkat tubuh lelah Kame. Reflek, Kame melingkarkan tangannya di leher Jin, dia memandang wajah laki-laki yang entah sejak kapan disadarinya telah membuatnya jatuh cinta itu. Pelan, dia menjilati pipi Jin yang ada di hadapannya, sambil tersenyum usil.
“Kau seperti kucing” komentar Jin, meledeknya, sambil terus berjalan menuju kamar mandi. Kame tertawa kecil, jilatannya pun dengan sengaja menuju sisi bibir Jin, yang dengan cepat Jin menyambar bibir Kame. Mereka berciuman lagi. Lidah mereka bertautan. Keduanya sangat menikmati itu.
Ciuman basah mereka berhenti saat keduanya memasuki kamar mandinya yang cukup luas.
“Shower or bathub?” tanya Jin. Kame diam saja tak berani menjawab dan memandang wajah Jin. Bagian bawahnya saat ini benar-benar sakit, dia tidak akan sanggup kalau berdiri karena kakinya terlalu lemas untuk menahan tubuhnya, sedangkan duduk… itu juga hanya akan membuatnya semakin kesakitan. “Tidak bisa keduanya?”
Kame lagi-lagi tak menjawab, dia malu hanya untuk menganggukkan kepalanya. “Kazu, aku benar-benar minta ma—“ kalimat Jin terpotong dengan ciuman yang mendarat di bibirnya. Kame menciumnya dan mulai berani memandangnya lagi.
“Ii yo” tegas Kame sambil menatap Jin dalam. Meyakinkannya. “Turunkan aku!” pinta Kame pula.
“Eh? Tidak-tidak! Lantainya dingin, Kazuya…” tolak Jin.
“Cepat! Atau aku akan turun sendiri!?” ancam Kame. Dengan terpaksa Jin menurutinya, dia membaringkan Kame di lantai kamar mandinya.
“Apa yang akan kau lakukan, Kazu?” tanya Jin agak khawatir pada laki-laki di bawahnya itu. Kame tak menjawab dan lagi-lagi hanya menciumnya, satu tangan Kame berada di dada Jin yang bidang, membelainya perlahan tapi penuh nafsu, Jin bisa merasakannya. Sentuhan Kame membuat tubuh Jin sedikit demi sedikit kembali memanas, dia melepaskan bibir Kame dan ciumannya berpindah ke leher putih Kame, meninggalkan kiss mark di kulit mulus itu.
“Ngghh” Kame mengeluh pelan. Yabai~ disela-sela pikirannya yang mulai kehilangan kendali itu, dia bisa menyadari kalau ini akan membawa mereka pada ronde kedua. Dia merasakan tubuhnya memanas lagi, menegang lagi…
Jin menurunkan ciumannya ke dada Kame, masih meninggalkan beberapa kiss mark disana. Dinginnya lantai kamar mandi tergantikan oleh rasa hangat dari dua orang yang telah terbakar api nafsu. Tubuh mereka berkeringat, selain karen aktivitas sebelumnya, sekarang pun tubuh mereka kembali memberikan sinyal-sinyal untuk melakukannya lagi. Semuanya hanya karena sebuah ciuman yang simple.
Jin menjilat, memilin nipple Kame dengan lidahnya, satu-persatu.
“Emmhh…Ji-Jin!” Kame hanya bisa mengeluh tiap kali merasakan sensasi nipple nya yang basah di mulut Jin. “J-Jin?? nhhh” Kame berusaha memanggil Jin ditengah desahannya.
“Hmm?” sahut Jin yang masih sibuk dengan nipple sebelah kiri Kame yang pikirnya masih kurang merah.
“Ngghhh… fuck me. Nhhh..”
“Apa?!” Jin mendadak berhenti dan mendongakkan wajahnya melihat pada Kame tak percaya.
“Lakukan lagi Jin” kata Kame, pipinya yang sudah memerah sejak tadi, semakin merona.
“Tidak, tidak… kau sudah kelelahan, Kazu” Jin tak habis pikir dengan keinginan Kame, berdiri saja dia sudah tak sanggup. Walau diakuinya dia senang dengan permintaan Kame. Dia juga sangat menginginkan Kame, setiap jengkal dari tubuhnya sama sekali tak membuatnya bosan. Dia pasti ingin terus merasakannya lagi dan lagi kalau dia memang tak peduli dengan kondisi Kame. Dan rasa kasihan melihat Kame yang kelelahan selalu menjadi tembok batas nafsunya terhadap laki-laki yang dia cintai itu. dia tak tega melihat Kame yang kepayahan seperti itu hanya karena harus melayani nafsunya yang meluap-luap setiap mereka melakukan sex.
“Jin” Kame mulai merajuk. “Lakukan lagi”
Jin menghela nafasnya, dia tak bisa menolak kalau Kame sudah mengeluarkan jurus keras kepalanya.
“Baiklah” kata Jin akhirnya. Kame tersenyum puas.
Jin berpindah ke bawah tubuh Kame, melebarkan kedua kaki laki-laki itu perlahan. Gerakan Jin terhenti ketika dia melihat anal Kame yang memerah. Analnya masih melebar karena aktivitas mereka sebelumnya.
Sudah memerah, pasti sebentar lagi akan berdarah…pikir Jin. Dia tak bisa melukai Kame lebih dari ini, tidak mungkin.
“Kazu, gomen aku tida---“ Jin tercekat melihat Kame yang menangis. Air mata turun dari kedua sudut mata laki-laki tampan kesayangannya itu.
“Jin…aku mohon~” isak Kame yang dia sendiri pun bingung kenapa dia harus menangis seperti itu!? dia hanya tahu kalau hati kecilnya mengatakan, ini akan menjadi yang terakhir kali. Terakhir kali Jin memiliki dirinya seutuhnya, begitupun sebaliknya.
“Nakanaide Kazuya~” Jin menghapus air mata Kame dengan jarinya.
“Jin…”
Akhirnya Jin mengangguk, dia tak tega melihat Kazuya-nya memohon padanya. Lagipula ini juga salahnya yang membuat Kame jadi seperti itu.
“Kazu, katakana padaku kalau kau merasakan sakit”
Kame mengangguk sambil mengelap air di pipinya. Jin mengambil oil massage di lemari peralatan kamar mandinya.
“Aku akan memakaikannya untukmu” Kame menawarkan. Jin memberikan botol oil massage itu pada Kame. Kame menumpahkan sedikit minyak ke tangannya dan mulai memijat manhood Jin, mengoleskannya.
“Mmmmhh ahh” Jin mendesah keras. Sentuhan tangan Kame di disana sangat luar biasa dan dia menikmatinya. Tidak butuh lama untuk membuat manhood Jin kembali menegang. Kame berhenti memijat setelah Jin menyuruhnya untuk berhenti.
“Kazu, aku mulai…” Jin memegang kedua paha Kame dan melebarkannya, lalu mengangkat tubuh bagian belakang Kame agar dia lebih mudah memasukkan manhoodnya.
“Aaaah!! Nggh!! Ngghh!” Kame mendesah setengah berteriak ketika sekali lagi manhood Jin memenuhi analnya. Jin meletakkan satu kaki Kame di bahunya, mempermudah manhoodnya untuk melakukan in-out di anal Kame yang melebar dan licin. “Aaah! Ahhh! Deepe---ah!”
“Nggh-aahh! Kazu—ah!! Ahh!” erangan Jin berbaur dengan teriakan Kame. Di terus melakukan in-out dengan giat. Tubuh Kame mengikuti permainan Jin. Kame menggerakkan pinggulnya, memudahkan kegiatan mereka.
“Aakkkhhh!” dengan sekali hujaman Jin memasukkan seluruh manhoodnya.
“Jin! aaahhhh!!” anal Kame semakin dikoyakkan manhood Jin. “Jin-aku mau kelua---ahh! Ahhhh!!” Kame merasakan dirinya hampir mencapai klimaks.
“Ngghh! Aku juga---ahhh!” Jin mempercepat in-out nya.
“JIIINNN!!!”
“KAZUYA!!!”
Cairan putih keruh menyembur dari manhood Kame, mengenai perut hingga dada Jin. Cum Jin pun keluar dari dalam anal Kame.
Pelan, Jin mengeluarkan manhoodnya yang sudah melunak. Jin bisa melihat cum nya keluar dari anal Kame, cairan putih keruh itu dan ternyata ada beberapa tetes darah ikut keluar dari sana.
Shit! Kutuk Jin dalam hati ketika melihat cairan pekat berwarna merah itu.
“Da-Daijobu ka?” Kame mengangguk pelan, dia merasakan sakit yang luar biasa di bagian belakang bawah tubuhnya. Tapi rasa sakit itu memang sebanding dengan kenikmatan yang diberikan Jin tadi.
“Aku akan membantumu membersihkan diri, setelah itu istirahatlah… kau terlihat sangat lelah” kata Jin. Kame tersenyum lemah, badannya memang lelah, sex keduanya dengan Jin ini benar-benar memforsir tenaganya, tapi dia tak ada masalah dengan itu. Dia sama sekali tak menyesal.
Jin mengangkat tubuh Kame, menyimpannya di pangkuannya. Dengan lembut membasuh setiap sisi tubuh Kame yang saat itu hanya terdiam membiarkan Jin membersihkan dirinya. Bahkan hanya untuk bicara saja, rasanya Kame kelelahan.

Selesai mandi, Jin segera mengambil handuk untuk menutupi tubuh Kame. Sedangkan tubuhnya sendiripun tidak sempat dia beri pakaian. Dia membawa Kame keluar dari kamar mandi, dan membaringkannya di sofa. Kame sudah teridur pulas rupanya, Jin tersenyum memandang wajah manis yang sedang tertidur itu. Dia berlari ke kamarnya untuk berpakaian, lalu mengambil selimut untuk Kame. Dia kembali ke tempat Kame, mengambil di tubuh Kame, menggantinya dengan selimut yang lebih besar dan hangat.
“Kazuya, I love you” ucap Jin sambil mencium Kame pelan, tak ingin membuat laki-laki itu terbangun. “Arigato” katanya lagi, membelai rambut Kame. Jin duduk di lantai, menyandarkan kepalanya di sofa menghadap wajah Kame, satu tangannya membelai pipi Kame lembut, hingga dia pun merasa mengantuk dan ikut tertidur disana.
***
>____<

Selasa, 18 Agustus 2009

IT CAN'T BE- Chapter 6

Tittle : IT CAN’T BE
Pairing : Akanishi Jin X Kamenashi Kazuya (our lovely AKame <3)
Author : The Three Musketters (Nachan + NPhe + Rie)
Rating : NC-17 for chapter 4, 6, 7 ^^

Chapter 6

Ini double date yang ke-3 setelah perkenalan Kame dengan Ageha dan mereka jadi tampak semakin dekat. Ternyata Kame memang tak bisa menolak, meski dia sudah beberapa kali mencobanya . Akhirnya dia hanya sanggup sampai mengulur-ulurnya dan Jin tak mau berurusan kalau misalnya Ageha makin berharap pada Kame. Sekarang mereka berempat lagi berada di restoran pizza, lagi-lagi makanan Italia. Kame tak mengerti kenapa mereka harus menyesuaikan dengan makanan kesukaan Jin saja!?
“Ini untukmu” Ageha memotongkan pizza nya untuk Kame dan menaruhnya di piring Kame. Mereka tampak mesra, Kame tersenyum senang tapi palsu, karena sebenarnya dia tak suka dengan bagian yang dipotongkan Ageha. Bagaimana ini? dia tidak mungkin menolaknya atau tidak memakannya, perempuan itu akan sakit hati.
“Kita tukar” kata Jin tiba-tiba dan menukar piringnya dengan Kame.
“Eh??” Ageha keheranan, begitupun dengan Chiaki yang tak mengerti apa maksud kekasihnya itu. Sedangkan Kame hanya agak terkejut, tak menyangka Jin akan senekat itu.
“Kamenashi sangat membenci tomat” jelas Jin akhirnya.
“Ah, benarkah? Gomen ne~” Ageha cepat meminta maaf pada Kame dan mengganti pizzanya dengan yang bebas tomat. Kame hanya bisa tersenyum dan berterimakasih dalam hati karena Jin sudah menyelamatkannya.
Mereka tak menyadari bagaimana Chiaki memperhatikan Jin dan Kame. Perasaan aneh itu menyergap Chiaki lagi.

Malam itu Chiaki ikut ke apartement Jin selesai makan malam double-date mereka. Jin sebenarnya ingin cepat mengantarkan Chiaki pulang, tapi kekasihnya itu seperti ingin berlama-lama di tempatnya, dan dia tak mungkin menolaknya.
“Apa Kamenashi-kun mengatakan sesuatu padamu?” tanya Chiaki saat mereka duduk berdua di sofa mungil Jin dengan sekaleng bir di tangan mereka.
“Eh??”
“Apa Kamenashi-kun menceritakan soal Ageha-chan?”
“Ehm…dia hanya bilang kalau Ageha-chan sangat cantik”
“Itu pernyataan standar. Apa dia tidak bilang kalau dia menyukai Ageha dan bermaksud menjalin hubungan dengannya?”
Jin menggelengkan kepalanya pelan, dia tak mau berbohong karena Kame pasti akan marah lagi padanya.
“Yappari~” Chiaki mengeluh. “Ageha-chan juga bilang walau Kame orang yang menyenangkan, tapi dia terlalu pasif dan tak pernah membuat gerakan pertama. Dia seperti tidak tertarik pada Ageha-chan…”
“Aku rasa juga begitu”
“Menurutmu kenapa?”
“Mungkin karena Ageha-chan bukan tipe nya…”
“Kenapa tidak? Ageha-chan sangat sempurna, semua laki-laki pasti akan bertekuk lutut di hadapannya”
Jin mengangkat bahunya, “Mungkin tidak untuk Kamenashi”
Chiaki mengamati kekasihnya sesaat. Perasaan aneh nya sejak itu semakin kuat, tapi dia tak begitu yakin dengan maksudnya.
“Apa mungkin…dia tak suka perempuan?” tanyanya hati-hati. Jin nyaris menyemburkan bir yang sedang dia minum.
“Ma—Masaka?!!”
Chiaki mengerutkan keningnya melihat tingkah Jin.
“Mungkin saja kan? Kau tahu partner kerjanya di café itu? sepertinya dia…menyukai Kamenashi-kun”
“Eh? Si botak itu? Ma-mana mungkin!?” Jin mencoba bersikap biasa, meski Chiaki masih bisa melihatnya kalau dia tampak gugup. Perempuan cantik itu mengangkat bahunya dan seolah tak peduli dengan sikap ganjil Jin.
“Kamenashi tentu saja menyukai perempuan” tambah Jin pula. “Hanya saja mungkin Ageha-chan tidak masuk kriterianya…lagipula kenapa kau begitu ingin menjodohkannya, hah?”
“Kau mengerti banyak soal dia, dan dia juga mengerti sekali soal kau” suara Chiaki mendadak serius dan tajam.
“Ah… kami sudah dekat sejak masih di sekolah. Kau juga tahu itu kan”
“Dia membuatku iri”
“Eh?”
Chiaki menghela nafasnya dalam, dan sedikit terdengar mengeluh. Apa dia serisau itu memikirkan Kame??
“Waktu kau sakit dia menginap disini bukan? Dia merawatmu semalaman, dia memakai piyama mu dan…dia juga pasti tidur di ranjangmu”
Jin terpana mendengar perkataan Chiaki, hal itu berpengaruh pada kekasihnya? Chiaki memikirkannya selama ini?! Semua yang dikatakannya benar, bahkan ada yang lebih parah…
“Aku sudah bilang waktu itu aku tak mau mengganggumu…”
“Dan kau juga tahu kalau aku tak pernah merasa terganggu olehmu! Aku kekasihmu selama lima tahun ini dan setelah kau pindah kemari untuk tinggal sendiri, kau tak pernah sekalipun mengajakku tinggal bersama, bahkan hanya untuk memintaku menginap disini!?”
Jin semakin diam mendengar perkataan Chiaki yang seperti curahan hati itu. Dia menyadarinya, selama ini dia memang tak pernah terpikir untuk mengajak Chiaki tinggal bersama, atau hanya memintanya menginap…Jin tahu mereka tidak seperti sepasang kekasih kebanyakan. Tapi setelah bertahun-tahun ini mereka rasanya baik-baik saja. Jin tak tahu kalau Chiaki memendam semuanya.
“Jadi tidak salah kan kalau aku cemburu pada teman kecilmu itu?” kata Chiaki lagi, akhirnya mengatakan yang sejak kemarin dulu dia simpan.
Jin tersenyum gugup, “Bagaimana bisa? Dia…dia itu laki-laki, dan dia hanya teman kecil juga anak bos ku”
“Tentu saja bisa. Laki-laki dan perempuan sama saja kalau kau memang tertarik pada mereka”
“Chiaki…”
“Apa yang mau kau sangkal, Jin?” tantang kekasihnya itu.
“Kau tak perlu cemburu pada siapapun” Jin cepat meyakinkan Chiaki. Dia mendekat dan mengulurkan tangannya untuk membelai rambut Chiaki.
“Apa yang akan kau buktikan?”
“Hah?”
“Apa yang akan kau buktikan agar aku tak perlu cemburu pada siapapun?”
“Se-Semuanya…” Jin menyentuh sisi wajah Chiaki, lembut.
“Kau tahu apa yang belum pernah kita lakukan selama 5 tahun ini?”
“Apa?”
“Bercinta” Chiaki mengatakannya tanpa ragu-ragu, dan tentu saja membuat Jin agak terhenyak. Dia tak menyangka Chiaki akan mengatakan itu dengan sangat terus terang. Mereka memang biasa berciuman dan bermesraan, tapi untuk yang satu itu…keduanya belum pernah membahasnya walau mereka telah sama-sama dewasa. Mungkin mereka baru akan melakukannya setelah menikah nanti... mungkin, kalau mereka memang sampai menikah.
“Sou da” gumam Jin pelan, tanpa melepaskan tangannya dari pipi Chiaki. Kekasihnya itu tiba-tiba tersenyum dan menyentuh tangan Jin yang masih membelai sisi wajahnya. Chiaki membawanya ke arah dadanya, Jin hanya bisa mengikuti, membiarkan Chiaki melakukan apapun yang dia mau. Setelah tangannya tersimpan nyaman di dada Chiaki, perempuan itu membuat tangannya bergerak disana, menekannya… ini sebenarnya bukan hal baru untuk Jin, dia sudah berkali-kali menyentuh dada Chiaki. Setiap mereka berciuman, tangannya pasti bergerak ke sana. Tapi cara Chiaki memperlakukannya sekarang agak berbeda karena ini akan jadi awal dari sesuatu yang tak pernah mereka lakukan sebelumnya. Having sex… no, it’s making love.
Tanpa menunggu banyak waktu lagi, Jin cepat mengambil inisiatif. Dia tak bisa terus-terusan membiarkan Chiaki merangsangnya seperti itu. Dan demi bisa membuat kekasihnya ini tidak cemburu atau curiga lagi pada Kame, Jin menerima sinyal Chiaki, lagipula…dia juga hanya laki-laki biasa yang mudah tergoda. Jin mencium bibir merah Chiaki dengan satu gerakan dan Chiaki menyambutnya dengan senang hati. Sekejap saja ciuman mereka sudah memanas. Gerakan tangan Jin di dada Chiaki semakin intens dan membuat desahan-desahan tertahan dari bibir Chiaki yang masih menyatu dengan bibirnya. Beberapa detik mereka saling melepaskan dulu, mata mereka bertemu, nafas mereka terengah-engah. Nyaris saja Jin tiba-tiba terbayang wajah Kame yang memerah setelah berciuman dengannya, tapi ini bukan Kame, ini kekasihnya. Jin merasakan sentakan di rambutnya, saat Chiaki mencoba melanjutkan ciuman mereka. Genggaman tangan kekasihnya itu kenapa tidak senyaman tangan Kame? Lagi-lagi Jin membandingkannya dengan laki-laki yang harusnya sekarang tak boleh dia ingat-ingat itu. Perlahan mereka semakin merapat, Jin mengangkat kaki Chiaki agar melingkar di pinggangnya. Paha nya yang mulus terekspos karena dia hanya memakai rok yang cukup mini. Sekarang memang saatnya, segera dia akan melihat yang lebih dari ini. Tangan Jin menyentuh paha Chiaki pelan, membuat perempuan itu mendesah lagi, ciuman mereka kembali memanas dan Jin semakin berani untuk memasukkan tangannya ke daerah yang paling penting di tubuh kekasihnya itu, tapi menghentikannya dengan tiba-tiba.
“Kamar…” bisiknya. Dia tahu dirinya sudah siap untuk hal yang lebih begitupun Chiaki, dan melakukannya di sofanya yang mungil ini sama sekali bukan ide bagus. Perlahan Jin bangkit dari sofa, membimbing Chiaki yang masih berada di pelukannya menuju kamarnya, tanpa melepaskan ciuman mereka. Perempuan itu sudah sangat pasrah, bahkan saat Jin merebahkan tubuhnya di ranjang Jin.
Tak sabar, Jin membuka kaos yang dipakainya lalu membuka seluruh pakaian yang dikenakan Chiaki, kekasihnya itu tidak menolak sedikitpun, dia malah tampak menunggu. Untuk pertama kalinya Jin melihat keseluruhan tubuh kekasihnya, mulus, indah, tanpa pertahanan. Dia tak tahu kenapa tidak sejak dulu-dulu dia mencoba ini dengan Chiaki?!
Jin mulai mencium Chiaki lagi dengan kasar, tangannya meraba-raba ke dada Chiaki yang tak terhalang apapun lagi. Perempuan itu sudah sangat terhanyut ke dunia yang baru dibuat Jin, dia sangat menikmati pijatan Jin di dadanya, ciuman panasnya yang terkesan posesif, hingga dia tak mau menunggu lagi. Dengan segera tangannya menuju celana Jin, berusaha membuka celana kekasihnya itu dengan susah payah. Akhirnya Chiaki berhasil membukanya hingga menyisakan boxer yang dipakai Jin, dia tersenyum puas di tengah ciumannya. Jin mulai menurunkan ciumannya beralih ke dada Chiaki.
“Khhh…. Jin…” Chiaki mendesah pelan sambil meremas rambut ikal Jin. Itu membuat Jin makin berani dan nyaris tak bisa mengontrol dirinya, dengan tak sabar Jin membuka boxernya hingga lututnya. Lalu mencium leher Chiaki lagi, dia mulai menyatukan diri mereka berdua.
“Errrgh…Jinnn..” tangan Chiaki memeluk punggung Jin erat, membuat diri kekasihnya itu terkubur lebih dalam ke dirinya.
Dengan cepat Jin melakukan gerakan in and out , bibirnya mencium bibir Chiaki penuh nafsu, tangannya bermain-main dengan dada Chiaki, tak ada satu bagian pun tubuh Chiaki yang dilewatkan Jin. Mereka akhirnya sampai pada klimaks secara bersamaan, Jin cepat mengeluarkan dirinya dari tubuh Chiaki, nafas mereka masih memburu, keringat terlihat menetes di kening kekasihnya itu. Seksi, pikir Jin. Dia mencium kekasihnya itu lembut, Chiaki tampak kelelahan. Dia sudah memejamkan matanya. Jin memakai kembali boxernya dan berbaring di sebelah Chiaki, Chiaki reflek bergerak menghadap Jin, memeluk laki-laki itu dan tertidur disana.
“Oyasumi” Jin bergumam di telinganya, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka berdua. Dan malam ini pun benar-benar berjalan seperti yang tak Jin duga. Untuk pertama kalinya setelah 5 tahun, mereka melakukan ini. Jin tidak tahu apa dia terlalu kasar, apa cukup memuaskan atau… “Damn” gumam Jin tiba-tiba pada dirinya sendiri. Dia baru ingat dia tak memakai pengaman, karena memang tak ada persiapan sama sekali. Diliriknya Chiaki sekilas yang sedang tertidur dengan nyaman di pelukannya. Dia harap semua akan baik-baik saja setelah ini, tak ada lagi kecemburuan pada Kame…ah, Jin mendadak ingat laki-laki itu. Dia sedang apa ya?? Pikir Jin, sambil mengambil ponselnya yang berada di meja kecil dekat ranjangnya. Dia mengetik sebuah pesan untuk Kame.

To : Kazuya
Submessage : (none)

Sudah tidur? Oyasumi. Jangan tidur dekat2 si botak yah…

Jin tertawa sendiri membaca pesan yang sudah dia kirim pada Kame. Beberapa detik kemudian ada balasan

From : Kazuya
Submessage : (none)

Oyasumi. Urusai.. aku tahu.

Jin tertawa lagi membaca balasan dari laki-laki kesayangannya itu. Sejenak dia pun berpikir, kenapa meski baru saja dia melakukan hal yang luar biasa dengan kekasihnya yang sudah dia pacari selama 5 tahun dan sekarang mereka sedang berbaring bersama dengan perempuan cantik itu di pelukannya, tapi pikirannya hanya pada Kame. Hanya Kame yang bisa membuatnya tertawa dengan tulus dan tanpa paksaan. Perasaannya senang karena pesan singkat itu, bukan karena apa yang sudah dia lakukan dengan kekasihnya. Kenapa??? Jin tak menemukan jawabannya hingga dia terlelap dan Kame datang di mimpinya.
***
Pagi sekali dengan penuh semangat Kame datang ke apartement Jin, tanpa memberitahunya lebih dulu, karena dia ingin memberi kejutan. Dia sudah memutuskan sesuatu tadi malam, setelah dia memikirkannya berhari-hari dan mendapat pesan dari Jin tadi malam yang sangat jarang-jarang, membuatnya semakin yakin dengan pilihannya. Dia tahu Jin tak akan meninggalkannya lagi, Jin terlihat bersungguh-sungguh saat memintanya kemablai waktu itu. Pertahanannya yang dulu sangat sulit ditembus mulai melunak. Dia pun tak tahu pasti penyebabnya, apa karena dia merasakan kenyamanan disamping Jin lagi?? Mungkin. Yang jelas sekarang dia ingin memberitahu Jin kabar baik itu.
Kame melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartement Jin yang masih sepi dengan menggunakan spare key nya, dia yakin Jin belum bangun. Ini masih pukul 7, dan Jin bukanlah morning person, semua orang tahu itu. Tapi langkahnya agak tertahan saat dia lihat sepasang sepatu wanita di ruang tengah itu. Sepatu Chiaki, Kame tahu itu. Berarti ada Chiaki disini? Dadanya mendadak berdebar, tegang. Perasaannya yang tadi meluap-luap tak sabar untuk menyampaikan sesuatu pada Jin, jadi tertahan dengan paksa. Perasaannya jadi tak enak. Dia melihat pintu kamar Jin yang terbuka, dan disanalah semua rasa gembira yang dia bawa tadi mendadak menghilang. Dia melihat mereka berciuman, dengan tubuh yang hanya ditutupi selimut. Siapapun pasti tahu apa yang sudah terjadi diantara mereka. Tanpa sadar Kame menjatuhkan spare key yang dipegangnya, cukup menimbulkan sebuah suara yang menyentakkan mereka di pagi yang sepi itu. Jin dan Chiaki menoleh ke arahnya yang mana membuat Kame jadi panic karena dia pun tak bermaksud menjatuhkan kunci itu. Sebenarnya dia ingin cepat pergi dari sana tanpa mereka harus melihatnya, tapi kakinya mendadak terlalu kaku untuk digerakkan. Kuso.
“Kazuya…” gumam Jin nyaris berbisik. Dia kaget sekali melihat Kame tiba-tiba ada disana, lebih parahnya melihat dia dengan keadaan seperti itu. Chiaki mendengar gumaman Jin dengan jelas, panggilan Jin untuk Kame yang biasanya dia dengar ‘Kamenashi’ tapi sekarang terdengar lebih intim.
“Go-Gomen” ucap Kame akhirnya nyaris tak terdengar. Dia terlalu shock. Dengan cepat dia berbalik dan keluar dari apartement Jin.
“Apa dia baik-baik saja?” tanya Chiaki menyentakkan kekagetan Jin.
“Eh?”
“Dia tampak shock, reaksinya terlalu berlebihan untuk melihat sepasang kekasih yang sedang bermesraaan. Dia sudah dewasa, bukan?”
Jin tak menjawab. Dia takut salah bicara. Tentu saja Kame akan shock. Diantara mereka ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Kame pantas kecewa jika melihat hal seperti ini terjadi dihadapannya.
Chiaki memperhatikan kekasihnya dan dia pun mengerti. Dia sudah bisa menangkap semuanya.
***
“Kau sangat tidak ramah seharian ini, Kame-chan” komentar Koki yang melihat sahabatnya tampak uring-uringan sejak tadi pagi, tanpa dia mengerti apa penyebabnya. Yang dia tahu Kame sudah memberitahunya kalau dia akan mulai berkuliah lagi, itu sangat bagus karena akhirnya Kame mau juga menyerah. Apa mungkin memang karena masalah itu? Koki benar-benar tak mengerti.
“Aku memang selalu seperti ini” jawab Kame dingin.
“Kau memang bersikap seperti itu sejak aku menyatakan perasaanku padamu, aku bisa menerimanya kalau kau melakukannya padaku saja. Tapi sekarang kau bersikap begitu di depan pengunjung juga, lama-lama tak ada pengunjung yang mau datang ke café ku lagi” omel Koki panjang lebar. Kame merasa agak tidak enak, dia mengakui kalau hari ini mood nya benar-benar buruk sejak kejadian tadi pagi di apartement Jin…Kame malas mengingatnya! Dia tak sadar jadi membawa-bawanya ke café, dia memang biasa seperti itu pada Koki, tapi benar juga sekarang pengunjungnya jadi ikut terkena.
“Gomen” kata Kame singkat. Tadi dia merasa Koki sedang berperan menjadi bos nya, dan dia tak mau kalau sampai dipecat hanya karena masalah sepele seperti ini.
“Kau ada masalah?”
Kame menggelengkan kepalanya. Dia tak mau membahas apapun apalagi pada Koki. Bisa semakin runyam masalahnya.
“Lalu kenapa----“ pertanyaan Koki menggantung saat ada seseorang yang menyela mereka, itu Chiaki.
Kame terkesiap melihatnya, tak menyangka perempuan itu akan datang kesana.
“Kamenashi-kun, bisa kita bicara sebentar?” pintanya.
“Tentu” Kame baru akan beranjak dari sana, untuk mencari tempat yang nyaman. Tapi Chiaki menahannya.
“Aku tidak lama, kita bicara saja disini sebentar”
“Oh…” Kame tidak jadi meninggalkan counternya. Dan Koki masih ada disana. Chiaki tampak tidak keberatan dengan keberadaan Koki. Perasaan Kame jadi semakin tak enak.
“Aku dan Jin akan bertunangan” kata Chiaki langsung ke pokok permasalahannya. Kame sebenarnya terkejut, tapi dia menutupinya.
“Sokka, yokatta na…”komentar Kame akhirnya.
“Uhn. Aku hanya ingin kau tak banyak mengganggu Jin lagi”
“Dia tak pernah mengganggu pacarmu. Laki-laki itu yang terus datang kemari mengganggu Kame-chan!” sela Koki tiba-tiba, membela Kame.
“Koki!” Kame melihat pada sahabatnya itu agar tak perlu ikut campur.
“Yeah, mungkin begitu. Tapi mulai sekarang, kau tak akan memegang spare key apartementnya lagi” Chiaki mengeluarkan spare key yang tadi pagi dijatuhkan Kame. Koki terpana melihatnya, tak menyangka Kame memiliki spare key apartement Jin. Pantas beberapa waktu yang lalu Kame bisa dengan tenang tidak menginap di tempatnya.
“Aku mengerti” jawab Kame terus mencoba tenang. Perempuan ini menyebalkan, pikirnya. Sama saja dengan perempuan kebanyakan. Sekejap saja penilaiannya yang baik-baik pada Chiaki dulu, luntur sudah. Dan perasaan tidak enaknya pada Chiaki sejak hari itu terjawab sudah. Chiaki memang mengetahui semuanya yang terjadi antara dia dna kekasihnya.
“Baiklah. Hanya itu yang mau aku bicarakan” kata Chiaki lagi, sambil beranjak dari sana. Tanpa menunggu perkataan Kame, dia pergi dengan angkuhnya dari café itu.
“Kame-chan…?” Koki mencoba meyakinkan kalau Kame baik-baik saja.
“Ayo kembali bekerja!” kata Kame seperti tak mendapat efek apapun dari kejadian barusan. Tapi Koki tahu, Kame hanya berakting. Kame menutupi kerisauannya.
***
Sudah berhari-hari sejak kejadian pagi itu, Jin tak pernah mendapat kabar dari Kame lagi. Ponselnya pun sudah tak bisa dia hubungi. Kame seperti akan menghilang lagi dari hidupnya. Benarkah??! Apalagi setelah dia mendapat permintaan dari Chiaki agar mereka segera bertunangan. Jin jelas tak bisa menolak selain itu kedua orang tua mereka pun sudah setuju. Sekarang dia hanya menunggu detik-detik dimana dia harus benar-benar melupakan Kame, bahkan disaat dia belum menyampaikan apapun pada laki-laki itu.

“Kamenashi ha…??” Jin menanyakan Kame saat sore itu seperti biasa dia mendatangi café, dan ini kesekian kalinya Jin tak melihat Kame disana.
“Dia sedang kuliah” jawab Koki yang muncul dari dalam, sebelumnya hanya ada pegawai Koki yang lain yang selalu memberikan penjelasan singkat tentang tidak adanya Kame disana. Tapi sekarang sepertinya Jin bisa banyak bertanya pada sahabat Kame yang sebenarnya tak pernah bisa akur dengannya itu.
“Kuliah?!” Jin mengulangnya dengan terkejut. “Dia tidak memberitahuku…”
Koki mengangkat bahunya, “Mungkin dia tak ingin kau tahu”
“Tidak mungkin…”
“Mungkin saja. Dia sudah tak mau bertemu lagi denganmu”
“Hah?”
“Dia sudah sering pulang kerumahnya lagi, dan dia sedang sibuk dengan kuliahnya. Kau tak perlu mengganggunya lagi”
Jin terkejut mendengarnya. Akhirnya… pikir Jin, dia senang, tapi juga heran karena Kame tidak memberitahunya. Malah dia harus tahu dari orang yang tak dia suka, yang seharusnya tidak terlibat dalam urusan ini.
“Benarkah? Itu bagus…”
“Yeah, jadi sebaiknya kau---“
“Kau tidak ada hak untuk melarangku bertemu dengannya” potong Jin cepat.
“Aku hanya memberitahumu. Dia tak akan mau bertemu denganmu”
“Itu menurutmu”
“Aku sudah memperingatkanmu”
“Aku tak peduli” Mereka saling bertukar tatapan tajam. Masing-masing rasanya ingin saling memukul, tapi mereka menahannya. Disana tempat umum dan banyak orang. Jin memilih untuk pergi dari sana, dia harus bertemu dengan Kame. Apapun yang terjadi.
***

IT CAN'T BE- Chapter 5

Tittle : IT CAN’T BE
Pairing : Akanishi Jin X Kamenashi Kazuya (our lovely AKame <3)
Author : The Three Musketters (Nachan + NPhe + Rie)
Rating : NC-17 for chapter 4, 6, 7 ^^

Chapter 5

“Aku dengar kau sakit?” kata Chiaki tanpa melihat pada Kame, apalagi menyapanya. Wajahnya tanpa ekspresi.
“Yea, aku sedikit tidak enak badan”
“Sokka… tapi sepertinya sekarang kau sudah sehat?”
“Ehm, sudah lebih baik… ah, kapan kau kembali? Aku pikir masih seminggu lagi kau di Yokohama?” Jin cepat mengalihkan bahasan, membuat semuanya jadi lebih ringan. Karena terus terang entah kenapa dia merasakan atmosfir tak enak diantara mereka.
“Aku sengaja pulang karena mendengar kabar kau sakit dari sekretarismu”
“Eh? Aku jadi tidak enak…” Jin mencoba tertawa, dan itu jelas terdengar konyol.
“Tapi rupanya aku tak perlu khawatir, sudah ada yang menggantikan aku disini…” kata Chiaki lagi dan melirik Kame masih dengan pandangan datarnya, hanya untuk Kame rasanya itu seperti pandangan tidak suka. Dia mengamati pakaian yang dipakai Kame, damn… Kame memakai piyama Jin yang kebesaran! Rasanya Kame ingin menghilang saja dari sana, walau logisnya bukan masalah besar kalau laki-laki saling meminjam pakaian. Tapi tatapan Chiaki sangat membuat Kame merasa tidak nyaman, seperti menuduhnya sesuatu.
“Dia… dia Kamenashi, aku sudah saling mengenalkan kalian, bukan?” kata Jin yang menyadari pandangan Chiaki. Lagi-lagi terdengar konyol, dia sebenarnya tak perlu seperti itu, karena hanya jadi membuat suasana diantara mereka semakin tegang.
“Yeah, bahkan sebelum mengenalkannya kau sudah sering menceritakan dia padaku. Aku tak tahu kalau hubungan kalian sedekat itu…” ujar Chiaki yang sangat terdengar menyindir di telinga kedua laki-laki itu. Dammit, gerutu Jin dalam hati.
“Gomen, aku harus kembali ke café” Kame tiba-tiba berkata dan mengalihkan pembicaraan begitu saja. Dia tersenyum biasa dan membungkukkan badannya pada Chiaki sambil melewati perempuan itu. Jin ingin menahannya, tapi bagaimana mungkin? Situasinya sudah tidak enak seperti ini.
Kame cepat-cepat ke kamar Jin, mengambil pakaiannya mengganti piyama Jin yang nyaman dengan bajunya yang kusut. Tanpa banyak berkata pula, dia langsung keluar dari apartement Jin. Sepasang kekasih itu masih di dapur dan hanya mengamati kepergian Kame, walau sebenarnya Jin sangat ingin menahannya. Dia jadi merasa tak enak pada Kame.
“Dia- dia sangat terburu-buru” komentar Jin mencoba mencairkan lagi keadaan.
“Aku tahu” kata Chiaki sambil beranjak dari tempatnya.
“Kau tahu kan kalau dia anak bos ku. Dia tuan muda yang kadang bersikap me—“
“Kau membuat sarapan?” Chiaki memotong perkataan Jin begitu saja, seperti dia memang tidak tertarik dengan apa yang mau dia katakan.
“O iyah itu…”
“Kau membuatkan sarapan untuknya” Chiaki melihat sisa makanan yang untuk terlihat dua orang. “Padahal kau tak pernah membuatkan sekalipun untukku….” Tambahnya sambil tertawa kecil.
Lagi, Jin merasa tersindir. Dia benar-benar merasa seperti seorang suami yang sudah ketahuan selingkuh, tapi dia berusaha menyangkal dan menutupi dengan bersikap biasa.
“Itu hanya makanan siap saji. Aku merasa berhutang budi padanya karena dia sudah merawatku…” Jin ikut tertawa kecil, dipaksakan.
“Dia merawatmu semalaman?”
“Aku tak mau mengganggumu yang pasti sedang sibuk…”
“Kau tahu kalau aku selalu ada waktu untukmu, bukan? Sesibuk apapun aku” Chiaki agak menekankan kalimatnya. Mereka saling memandang, dan Jin pun mengerti kemana arah semua ini. Kekasihnya ini tidak terima dia dirawat oleh Kame, membiarkan Kame menginap, membuatkan sarapan untuk Kame… Chiaki cemburu padanya, pada seorang laki-laki.
“Gomen, aku benar-benar hanya tak mau mengganggumu”
Chiaki menghela nafasnya, “Kalau begitu aku pergi lagi…”
“Eh?? Kau kan baru sampai??”
“Aku belum menyelesaikan pekerjaanku di Yokohama. Aku kembali dua hari lagi” katanya sambil mulai berjalan ke arah pintu. Jin cepat menyusulnya, dan menarik tangannya sebelum dia benar-benar keluar.
“Cepat hubungi aku kalau kau sudah kembali, ok?” katanya dan memberikan kecupan singkat di bibir kekasihnya itu. Dia selalu menggunakan cara ini agar kekasihnya berhenti berpikir yang tidak-tidak.
Chiaki agak tersentuh dengan sikap Jin, bagaimanapun hal seperti ini pasti memberikan efek tertentu untuknya.
“Ok” jawabnya dan mulai berjalan keluar. Dia memang tak pernah sekalipun berpikir yang tidak-tidak atau curiga pada Jin dari sejak pertama kali pacaran dulu. Bahkan disaat mereka sering terpisah, semuanya selalu baik-baik saja. Tapi entah kenapa melihat Kame disana tadi mendadak membuatnya tak tenang. Firasat kah? Chiaki tak mau berpikir jelek, dengan sikap Jin barusan dia ingin yakin kalau kekasihnya itu tak pernah berubah terhadapnya.
***
“Kau pergi tanpa memberitahu apapun padaku…” protesan dingin Koki menyambut Kame begitu dia tiba di café.
“Gomen, aku terburu-buru”
“Bahkan hanya untuk mengirim pesan padaku?”
“Gomen...”
“Aku tak bisa menghubungi ponselmu”
“Ah iya, ponsel ku…” Kame mengecek ponselnya yang sejak kemarin malam setelah dia mendapat telepon dari Jin belum dia lihat lagi. Kame terdiam ketika melihat beberapa panggilan tak terjawab dan beberapa pesan di sana, semuanya dari Koki.
“Kau tak menjawab panggilanku sama sekali” kata Koki lagi terdengar sangat menyalahkan. Kame masih terdiam, dia tak tahu harus menjelaskan dari mana dan seperti apa. “Sebenarnya dimana kau semalam? Di tempat Akanishi, bukan??”
Kame mengangkat wajahnya mencoba memandang Koki.
“Dia…sakit”
“Lalu?”
“Aku membantunya”
“Parah? Sampai kau sama sekali tidak bisa menjawab panggilanku”
“Dia sudah lebih baik” Kame mengalihkan lagi pandangannya dan mulai mengganti bajunya dengan seragam café. Koki mengamatinya, memperhatikan baju Kame yang sangat kusut, sampai matanya melihat yang ganjil di leher Kame…
“Apa yang kau lakukan dengannya disana?”
“Aku sudah bilang kan, kalau aku membantunya… dia hanya tinggal sendiri, dan pacarnya sedang keluar kota jadi--” Kame menghentikan penjelasannya karena tiba-tiba saja dia merasakan tangan Koki sudah menyentuh lehernya. Kame agak mengelak, dia melihat Koki dengan tatapan terkejut. Koki balas menatapnya datar.
“Itu love bite” katanya pelan. Kame menahan nafasnya, reflek menutupi lehernya. “Kau mau mengelak seperti apa lagi?” Koki menantangnya.
Kame terdiam lagi. Kuso… kuso… kutuknya dalam hati. Kenapa dia bisa seceroboh ini!?
“Kame?”
“Kau tidak perlu mencampuri urusanku. Kita sudah sepakat soal itu kan?” akhirnya Kame bisa berkata, menutupi kepanikannya dengan sikap egoisnya.
Dia kembali melanjutkan memakai kemejanya, dan memasang apron. Dia harus segera menghindari pembicaraan ini.
Koki mengikuti Kame yang pergi ke bagian depan café untuk mulai bekerja. Koki benar-benar tak suka dengan ini, dia memang sudah menyetujui tak akan mencampuri urusan Kame lagi, tapi masalah ini tak bisa dia terima begitu saja.
“Kau menyukainya? Dia menyukaimu?” tanya Koki lagi tak memperdulikan sikap Kame yang mulai tak bersahabat dengannya.
“Aku bilang---“ Kame baru akan mengelak dengan kasar, tapi Koki lebih dulu membentaknya.
“STOP THAT!” Kame terpaku mendengarnya, tak menyangka Koki akan membentaknya seperti itu. Sekarang tatapannya lebih berekspresi, dia kesal… emosi… cemburu…?? “Kau pikir kau siapa bisa terus-terusan melarangku untuk peduli padamu!?”
“Kau tak perlu peduli padaku. Kau sempat mengecewakanku kemarin” kata Kame pelan, mencoba menguasai kekagetannya.
“Aku sudah banyak membantumu selama ini, kenapa tidak sedikitpun kau mencoba untuk menghargainya!”
“Hah??”
“Kau tak akan bisa terus bekerja disini dan meninggalkan rumahmu untuk menolak keinginan ayahmu kalau tak ada aku!”
Kame mengerutkan keningnya, tak suka dengan perkataan Koki. Jadi sahabatnya ini mengharapkan imbalan? Sahabatnya ini merasa dia yang telah berjasa untuk semuanya?!! What the heck!
“Aku bisa melakukan semuanya sendirian, Koki”
“Ohya? Karena kau merasa sudah ada orang bernama Akanishi itu? aku yakin dia sangat hebat memperlakukanmu sampai kau mau menyerahkan dirimu seperti itu!”
“APA MAKSUDMU?!” Kame sudah tak bisa menahan dirinya.
“JANGAN BERPURA-PURA LAGI KAMENASHI KAZUYA! KAU BERCINTA DENGANNYA!” Koki balas berteriak dan menudingnya dengan kasar. Kecemburuan terlihat jelas di matanya, wajahnya memerah karena marah. Sekali lagi Kame harus shock, tapi dia tak bisa menyangkal.
“Lalu kenapa?! Apa urusannya denganmu?” Kame memelankan suaranya walau kekesalan masih terdengar disana.
“Kenapa?! Kau menyukainya?!” Koki pun mulai menurunkan nada suaranya.
Kame berdecak tak sabar, dia tak mau menjawab pertanyaan itu, karena dia sendiripun tak mengerti.
“Kamenashi???!!”
“Iya. Aku menyukainya! Kau puas?!” jawab Kame akhirnya. Dia sudah muak, dan dia harus mengakhiri pembicaraan ini.
“Benarkah?” desis Koki seperti tak mau percaya.
“Aku tak akan mau melakukannya kalau itu tidak benar”
“Kau keterlaluan…”
“Hah??”
“Kau tahu perasaanku padamu, bukan?”
“Koki aku tak mau membahas ini!” Kame menyerah juga. Dia melepas lagi apronnya dan keluar dari café masih dengan seragamnya. Dia keluar di waktu yang tepat karena beberapa pengunjung mulai berdatangan, dengan begitu Koki sudah tak bisa menahannya. Dia memang salah sudah keluar di saat jam kerja seperti ini, tapi dia tak mau terus berada disana dengan Koki yang nyaris kalap.
***
“Gomen” Kame mendengar suara Koki disampingnya, setelah hampir setengah jam dia terdiam di bangku taman yang tak jauh dari café. Dia memang butuh menenangkan dirinya sendiri, dan membiarkan Koki sendiri juga. Mereka akan terus bertengkar kalau tadi tak ada salah satu yang mengalah. Kame memang bingung, dia sendiripun tak tahu dengan kondisinya. Ada apa dengannya dan Jin? Apa yang harus dia jelaskan pada Koki? Perlukah dia menjaga perasaan Koki? Bagaimana dengan Chiaki yang membuatnya jadi tak enak perasaan ketika melihatnya? Terlalu banyak yang dipikirkan Kame, semakin banyak selain masalahnya dengan sang ayah yang tak kunjung selesai.
Kame menolehkan wajahnya melihat Koki disana, menundukkan kepalanya.
“Aku tak akan mencampuri urusanmu…tapi kau dengan Akanishi---“ Koki tak melanjutkan perkataannya.
“Lupakan itu” kata Kame dan menghela nafasnya dalam. Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran bangku. Koki melihat padanya, perlahan dia mendekat pada sahabatnya itu, lalu duduk disana tanpa melepaskan pandangannya dari Kame.
“Dia sudah punya pacar, bukan?”
“Hmm”
“Jangan terlalu banyak berharap padanya”
“Aku tahu. Aku sudah jauh lebih mengenalnya dari siapapun”
“Aku menyukaimu”
Diam. Kame tak cepat menyahut setelah perkataan Koki yang tiba-tiba itu. Akhirnya dia memang harus mendengarnya juga.
“Aku berharap padamu” tambah Koki.
Sekali lagi Kame menghela nafasnya. Dia melihat pada Koki yang dari tadi hanya lurus melihat padanya.
“Aku tak akan membiarkanmu berada di posisi yang salah. Dari awal kau dan Akanishi tidak seharusnya melakukan itu. Dia adalah orang kepercayaan ayahmu dan dia sudah memiliki kekasih…”
“Aku tak ada apa-apa dengannya” akhirnya Kame berkata dan entah kenapa dia selalu ingin menyangkal tentang dirinya dan Jin. Semua yang dikatakan Koki sangat benar dan itu hanya semakin membuatnya ingin menyangkal.
“Lalu kenapa kalian bisa lepas control dan---“
“Siapapun bisa seperti itu. Hanya kesalahan kecil”
“Kecil? Bagaimana kalau ayahmu tahu? Bagaimana kalau pacarnya--”
“Kalau ayahku tahu, berarti kau yang memberitahunya” potong Kame cepat.
Sedangkan soal Chiaki, dia juga sedang memikirkan itu. Perasaannya sudah tidak enak sejak tadi pagi Chiaki tiba-tiba datang dan dia merasa tertangkap basah.
“Kame-chan…kenapa kau tidak mencoba membalas perasaanku?” tanya Koki tiba-tiba, terdengar memohon.
“Kau memaksaku, Koki?”
“Aku sudah tak bisa menahan diriku apalagi begitu aku tahu kau dan dia…itu benar-benar membuatku kesal!”
“Ah sudahlah…” Kame tak mau membahasnya. Mendadak, Koki memegang bahunya dan membuat Kame menghadap padanya.
“Kenapa? Bukankah selama ini aku yang dekat denganmu?” Kame terkesiap, dia takut kalau-kalau Koki kalap seperti tadi. “Aku yang banyak membantumu, aku yang sudah menyelamatkanmu…”
“Koki, kau mau menolongku karena kau menyukaiku? Dan ingin aku balik menyukaimu?!” tanya Kame yang langsung membuat Koki merasa tertembak. Dia memang mengharapkan yang tidak-tidak pada Kame selama ini. Perasaan yang dia simpan beberapa lama, karena dia yakin suatu saat akan bisa mengungkapkannya dan dengan mudah Kame pun akan menjadi miliknya. Sayangnya dia salah.
“Aku---“
“Kau membuatku takut” ucap Kame pelan. Koki menatap matanya, tak menyangka dengan yang dikatakan Kame. Orang yang dia sukai, takut padanya?!
“Kame-chan…” Koki mendekatkan wajahnya pada Kame, bermaksud menciumnya, tapi Kame cepat mengelak. Dia melepaskan diri dari Koki, dan berdiri dari duduknya.
“Kita harus kembali ke café”
“Kenapa aku tak boleh menciummu?” tanya Koki yang sudah benar-benar dibatas kesabarannya.
“Aku tak mau” jawab Kame jujur.
“Karena kau menyukai Akanishi…?”
“Aku sudah mengatakannya Koki, jangan mengulang-ulang pertanyaanmu!”
Koki mengepalkan tangannya tanpa sadar. Panas. Dia merasakan panas di sekujr tubuhnya, bukan panas yang menggairahkan seperti saat dia memeluk sahabatnya itu. Ini panas yang mengganggu. Dia sadar, ini cemburu. “Kuso!” gerutu Koki sambil pergi dari sana lebih dulu melewati Kame. Untuk kesekian kali Kame hanya bisa menghela nafasnya.
***
“Kamenashi-kun?” seraut wajah cantik menyapa Kame sore itu saat seperti biasa dia sedang bekerja di café. Koki sedang di dapur menyiapkan sesuatu, dan seorang pegawai lagi sedang sibuk dengan pengunjung lain. Kame yang berdiri di balik counter, melihat wajah cantik Chiaki yang tersenyum manis padanya. Tidak seperti beberapa hari yang lalu saat mereka bertemu di apartement Jin. Ada apa ini? pikir Kame yang langsung curiga.
“Ou, Chiaki-san” dia tetap membalas senyuman perempuan itu.
“Kau ada waktu?”
“Eh?”
“Nanti malam, aku dan Jin mengundangmu makan malam di restoran Italia yang tak jauh dari sini. Kau tahu kan? Yang dekat apartement Jin?”
“Ah, aku tahu…” Kame menganggukkan kepalanya.
“Kami menunggumu disana pukul 7, ok?”
“Ada perayaan sesuatu??” Kame bertanya, penasaran. Kenapa mendadak seperti ini??
“Kau akan tahu nanti, ne? Jya” Chiaki melambaikan tangannya dan pergi dari sana, tanpa menunggu lagi apa yang ingin dikatakan Kame.
Aneh.
Kemarin saja dia tampak dingin, dan sekarang tiba-tiba mengundangnya makan malam, tanpa alasan yang jelas…?
Jin? Kenapa dia tak memberitahunya? Mereka akan berada dalam satu tempat lagi nanti malam, apa semuanya akan baik-baik saja? seperti biasa pikiran Kame selalu dipenuhi kemungkinan-kemungkinan yang belum tentu kepastiannya.

Pukul 7, setelah meminta ijin pada Koki, Kame bisa berada di restoran yang sudah dijanjikan. Dia tak mau ambil pusing dengan sikap dingin Koki lagi.
Kame menghampiri Jin dan Chiaki yang sudah menunggunya di sebuah meja, saat itu Kame pun sadar, mereka tidak hanya berdua. Ada seorang perempuan cantik juga disana. Kursi di sampingnya kosong, otomatis Kame duduk disana.
“Aku senang kau bisa datang” sambut Chiaki. Kame hanya mengangguk sambil tersenyum. Diliriknya Jin sekilas, laki-laki tampan itu tersenyum padanya, dan tatapannya membuat Kame tak bisa berlama-lama melihat.
“Ah ini sahabatku yang baru kembali dari Hawaii…” kata Chiaki saat mereka menunggu pesanan. Dia mengenalkan perempuan di samping Kame. Kame melihat padanya, dan membungkukkan badannya.
“Kamenashi desu” dia agak mengamati perempuan itu. Cantik, dengan rambut panjangnya yang berwarna hitam lurus. Pembawaannya tampak dewasa. Kame akan menyukai perempuan ini kalau saja dia mengenalnya di tempat lain.
“Mizuki Ageha desu” katanya. Ageha, nice name… Kame semakin mencatat poin-poin menarik dari perempuan ini. Dia malah berani membandingkan dalam pikirannya kalau Ageha lebih baik daripada Chiaki.
“Aku rasa kalian sangat cocok” perkataan Chiaki di sela-sela obrolan mereka membuat Kame tersadar. Ini bukan makan malam biasa, bukan acara memperkenalkan teman biasa… ini perjodohan. Chiaki mencoba membuatnya dekat dengan Ageha. Apa Jin juga terlibat disini? Kame melihat pada laki-laki dihadapannya itu, dia tampak normal. Dia masih mencuri-curi pandang padanya dengan tatapan seperti tadi, seperti malam itu… “Iya kan Jin?” Chiaki bertanya pada Jin yang terlalu sibuk mengamati Kame.
“Eh??” Jin melihat pada kekasihnya itu.
“Kamenashi-kun dan Ageha-chan… mereka serasi kan?” Chiaki mengulang perkataannya. Jin melihat pada Kame dan Ageha yang duduk dihadapannya.
“Kamenashi mungkin tidak masuk untuk kriteria laki-laki yang disukai Ageha-chan” jawab Jin seenaknya. Ditambahi dengan tawanya yang memaksa. Kame rasanya ingin memukul kepala laki-laki tampan yang sering bertingkah konyol itu.
“Kamenashi-san…sepertinya bisa menarik banyak perempuan” kata Ageha terbalik dengan yang dikira Jin. Kame tak menyangka dengan pengakuan Ageha. Dia perempuan yang terang-terangan rupanya. Tapi Kame menyesalkan kenapa mereka harus saling mengenal karena pertemuan makan malam ini? sama sekali tak membuat Kame tertarik jadinya. Apalagi kalau dia sampai tahu memang Jin dan kekasihnya itu yang merencanakan semua ini.
“Kalau begitu kalian harus sering bertemu lagi setelah ini” usul Chiaki yang jujur saja membuat Kame tak suka.
“Aku pikir juga begitu…” Ageha menoleh pada Kame dengan senyuman penuh arti di bibirnya. Kame tersadar, dia memang cantik dan semua laki-laki pasti akan tergila-gila padanya. Tapi Kame yang beberapa menit lalu masih berpikir seperti itu juga, sekarang merubah pikirannya. Perempuan ini terlalu berani, mungkin karena dia telah lama di Hawaii, mungkin juga karena lebih tua dari Kame, mungkin juga karena dia memang tipe penggoda. Kame tahu dia kurang nyaman dengan perempuan seperti ini, secantik apapun dia.

To : Jin
Submessage : (none)

ne, aku perlu bicara denganmu setelah ini

Kame mengirim pesan ke ponsel Jin saat mereka masih di tengah makan malam. Dua orang perempuan itu yang menguasai pembahasan disini. Kame dan Jin hanya mengikuti, terlebih lagi Jin terlalu asik dengan pasta favoritnya juga memandangi Kame sepanjang waktu.
Kame melihat senyum Jin ketika dia membaca pesan darinya. Dia mulai mengetik di ponselnya, dan tak lama Kame merasa ponselnya bergetar.

From : Jin
Submessage : (none)

Dengan senang hati, dimana? tempatku?

To : Jin
Submessage : (none)

Apa tidak akan apa-apa?
Chiaki-san?
From : Jin
Submessage : (none)

Mochiron! datang saja nanti ke tempatku.
Kenapa dengan Chiaki? Aku akan mengantarnya pulang setelah ini.

Benar juga, kenapa dengan Chiaki??! Kame jadi merasa mereka memang ada apa-apa dan sekarang sedang melakukan semacam ‘misi rahasia’ di belakang Chiaki…berselingkuh? What the heck!

“Kau bisa mengantarku pulang?” pertanyaan Ageha menyentakkan Kame. Jin melihat padanya, dan Chiaki tersenyum puas.
“Eh? Aku tidak punya kendaraan”
“Dia punya motor besar dan sebuah Porsche, tapi semuanya dia tinggalkan dirumahnya” jawab Jin pula yang langsung mendapat tatapan tajam dari Kame.
“Wow” komentar Ageha.
“Yeah, jadi sekarang aku tidak punya…”
“Kau tidak tinggal dirumahmu?”
“Dia pergi dari rumahnya” lagi-lagi Jin menjawabkan untuknya. “Dia menumpang di tempat temannya dan bekerja di sebuah café, dia tidak ada apa-apanya dibanding Ageha-chan yang berkuliah dan tinggal lama di Hawaii. Makanya tadi aku bilang mungkin dia bukan tipe mu” Jin berkata panjang lebar, membuat Kame semakin menajamkan tatapannya. Chiaki menoleh pada kekasihnya, tak suka dengan pernyataan Jin. Perasaan tak enak itu menghampirinya lagi. Jin seperti sedang mempertahankan Kame.
“Aku sudah menduganya…” kata Ageha tiba-tiba, membuat semuanya terpana. “ Aku suka orang yang mandiri” tambahnya dan tersenyum penuh arti lagi pada Kame. Jelas sekali kalau dia memang tertarik pada Kame.
“Ah…” Kame menganggukkan kepalanya tak tahu harus berkata apa. Jin tak berkomentar, ternyata pertahanannya untuk Kame tak mempan pada perempuan ini.
“Kita naik taksi. Kau mau menemaniku?” tanya Ageha lagi, rupanya belum menyerah.
“Baiklah” jawab Kame, bagaimanapun dia tak mungkin menolak. Jin nyaris tak percaya mendengarnya. Dia cepat mengetik pesan lagi di ponselnya.

From : Jin
Submessage : (none)

HAH???

Pesan yang sangat singkat, tapi Kame mengerti dengan maksudnya. Dia melirik Jin sekilas sebelum membalas pesan itu. Jin memandangnya dengan kening yang berkerut. Kame tersenyum lalu mengirim balasannya.

To : Jin
Submessage : (none)

Aku akan tetap ke tempatmu setelah mengantarnya.
Jya na.

Senyum Jin terulas di bibir seksinya setelah dia membaca balasan dari Kame. Mereka saling memandang dengan pandangan yang hanya dimengerti oleh mereka berdua.
***
Kame menekan bel pintu apartement Jin, memastikan laki-laki itu ada di sana atau tidak, jika tidak dia akan memakai spare key nya. Tapi ternyata tepat sekali saat itu Jin baru keluar dari lift.
“Na!” panggil Jin dan menghampiri Kame yang berdiri di depan pintu apartementnya. “Cepat sekali kau mengantarnya pulang”
“Kau yang lama” Kame melihat jam tangannya. “kalian pasti melakukan ritual-ritual dulu sebelum dia masuk ke rumahnya kan?”
“Ha? Ritual…” Jin tertawa kecil.
“Yeah, berciuman di mobil yang tadinya hanya untuk ciuman selamat malam” Kame menegaskan.
“Kau tahu persis karena kau pernah melakukannya…” Jin malah membalikkan.
“Tentu saja, aku juga sudah berkali-kali berpacaran”
Jin tertawa mendengar perkataan Kame yang terdengar seperti ingin menunjukkan kalau dia juga tidak kalah olehnya.
“Jadi dengan Ageha-chan…???”
“Dia bukan pacarku”
“Calon?”
Kame memandang Jin tajam.
“Kenapa?” Jin sadar dengan tatapan itu.
“Aku tak suka kalian mencoba menjodoh-jodohkanku”
“Hah?”
“Ageha memang cantik, tapi aku tak mau memulai hubungan dengannya karena kalian”
“Aku tak menjodohkanmu”
“Ohya?”
“Itu… itu sebenarnya ide Chiaki” Jin akhirnya mengakui.
“Yappari~” keluh Kame.
“Dia bersemangat sekali saat tahu kau belum punya pacar, dan sahabatnya itu akan pulang ke Tokyo. Menurutnya kalian cocok”
“Kami memang cocok. Dia cantik, dan aku tampan” kata Kame sebal.
Jin tertawa lagi.
“Kau memang tampan” gumamnya, sambil memandang Kame.
“Urusai” gerutu Kame yang mendengar gumaman Jin. Dia merasa sebentar lagi pipinya pasti memerah.
“Ah, ayo kita masuk!” Jin berhenti menggoda Kame begitu sadar dari tadi mereka hanya mengobrol di depan pintu apartementnya.
“Tidak perlu, sepertinya aku tak akan lama”
“Eh??” Jin menghentikan kegiatannya membuka pintu apartementnya.
“Aku hanya mau memberitahumu itu, aku tak suka kalian menjodohkanku, aku bisa mencari perempuan manapun yang aku mau, sendirian” Kame menekankan kata ‘sendirian’ yang dia ucapkan.
“Sou, seharusnya tadi kau jangan mengantarnya pulang”
“Aku tak bisa menolak permintaan perempuan…siapa juga yang bisa?!”
“Jadi itu salahmu kalau dia makin tertarik padamu. Sudah tak ada urusannya denganku dan Chiaki”
“Tapi kalian yang memulainya…”
“Chiaki yang memulainya” Jin mengoreksi.
“Sama saja. Kalian sama saja!”
“Beda. Karena kalau aku pribadi, aku tak mau menjodohkanmu dengan siapapun” Kame jadi terdiam setelah mendengar kata-kata Jin, begitupun Jin. Mereka saling memandang.
“Ke—“
“Jangan bertanya kenapa” Jin cepat memotong perkataan Kame yang belum selesai, membuat Kame terdiam lagi. “Chiaki sepertinya sedang merancang sesuatu juga untuk semakin mendekatkan kalian” tambah Jin lagi.
“Benarkah?”
“Uhm, jadi kalau kau memang tidak suka sebaiknya kau pintar-pintar untuk menolak”
“Aku tahu”
Mereka terdiam lagi beberapa saat, Jin jadi mengamati Kame sampai matanya menangkap sesuatu di leher Kame yang tertutup dengan scarf. Scarf itu agak terbuka jadi Jin bisa melihat di baliknya. Sebuah tanda berwarna merah…
“Kazu, itu---“ Jin menunjuknya reflek. Kame langsung menyadari apa yang dimaksud Jin, dia merapikan scarf nya. “Jelas sekali…”
“Orang bodoh yang sudah membuatnya di tempat yang mudah terlihat” sindir Kame. Jin malah tersenyum lebar, menyadari itu salahnya. “Koki…dia melihatnya” tambah Kame lagi, yang langsung membuat Jin memudarkan senyumannya.
“Oh… lalu??”
“Dia tidak suka”
“Kenapa?”
“Jangan bertanya kenapa” Kame meniru ucapan Jin tadi tapi lebih membuat penekanan dalam nadanya dan sedikit melebarkan matanya juga pada Jin.
“Kazu, kenapa kau tidak cepat pergi saja dari tempatnya?” tanya Jin tiba-tiba. “Setiap kau bersamanya, perasaanku tidak enak”
“Hah??” apa Jin bisa melihatnya? Sikap Koki yang berbeda?
“Yeah, kita kembali ke rumahmu seperti sebelum aku pergi ke LA. Kau melanjutkan kuliahmu, meneruskan perusahaan ayahmu, dan menjadi atasanku” perkataan Jin terdengar serius sekarang, dan Kame ingat sebagian dari kalimat itu. Dulu saat mereka masih di sekolah, mereka pernah punya mimpi seperti itu. Kame akan menjadi penerus ayahnya dan Jin akan terus berada di sisinya, membantunya, menemaninya. Tapi sejak Jin pergi ke LA, Kame tak pernah memikirkan soal mimpi itu lagi. Dia tak pernah berpikir lagi untuk menjadi penerus ayahnya, karena dia memang sempat berpikir kalau Jin mungkin tak akan kembali lagi. Dia tak mau menjalankan perusahaan itu sendirian, tapi ternyata setelah Jin kembali, harga dirinya yang tinggi, keegoisannya yang terlalu berlebihan membuat dia tetap pada pendiriannya untuk tak mau menuruti ayahnya.
“Aku pergi” kata Kame akhirnya setelah selama beberapa detik dia terdiam, hanyut dengan pikirannya. Biasanya dia akan kesal jika mulai membahas hal ini, dan dia akan marah-marah, tapi sekarang rasanya dia ingin pergi saja, menghindar. Jin mengikutinya hingga ke depan lift. Kame baru akan menekan tombol untuk membuka pintu lift, tapi Jin lebih cepat menahannya.
Dia membalikkan tubuh Kame agar menghadapnya, membuat laki-laki yang lebih kecil darinya itu terpojok di tembok disamping pintu lift.
“Kau harus memikirkannya…” wajah dan suara Jin masih seserius tadi. Membuat Kame nyaris tak bisa berkata-kata. “demi kita” Jin menambahkan dan sebelum Kame menyadarinya, bibir mereka telah saling bersentuhan. Kame memejamkan matanya reflek, ciuman Jin sudah sangat familiar untuknya walau sebenarnya berapa kali mereka berciuman masih bisa dihitung dengan jari. Tangan Jin turun ke pinggang Kame saat dirasanya ciuman mereka makin dalam dan Kame seperti akan terjatuh karena meleleh dengan ciumannya. Laki-laki yang lebih muda itu menyimpan kedua tangannya di pundak Jin, menyusup ke leher dan akhirnya menemukan rambut ikal Jin. Yang mana semakin membuat mereka terhanyut. Jin menyukai genggaman tangan Kame di rambutnya, ditambah dengan keluhan lembut yang tertahan dari mulutnya ketika Jin menyelipkan lidahnya diantara ciuman mereka. Amazing. Keduanya setuju kalau masing-masing dari mereka adalah pencium yang hebat.

Beberapa menit kemudian keduanya saling melepaskan diri saat dirasanya oksigen sudah tidak dapat masuk ke paru-paru mereka. Mereka saling memandang dalam jarak yang sangat dekat dan terengah-engah, nafas mereka masih menyatu.
“Aku… harus pergi…” kata Kame, dia segera melepaskan dirinya dari pelukan Jin. Tanpa menunggu jawaban Jin, dia cepat menekan tombol lift lalu masuk setelah pintunya terbuka. Jin masih disana memperhatikannya hingga pintu lift tertutup dan Kame tak terlihat lagi di pandangannya.
***