THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Rabu, 25 November 2009

Murasaki - part 1

Title : MURASAKI
One-shot
Author : Rie (3-musketters) ^^
Cast : Akanishi Jin; Kamenashi Kazuya; n other fiction characters.
Rating : PG

PART 1

Kazuya’s POV

“Kame! Kame!” suara-suara berisik diluar terdengar seperti memanggil namaku. Aku membuka mataku dengan terpaksa, dan coba mendengarnya dengan seksama. “KAMEEEEEE!!!” itu dia, suara aneh diluar benar-benar memanggil namaku. Aku bangun dari ranjangku dan melirik jam di mejaku sekilas, pukul 2 pagi! Orang diluar sudah pasti orang gila. Aku menggerutu sambil keluar dari kamarku dan menuju pintu depan. Suara teriakan itu belum berhenti dan aku semakin familiar dengan suaranya. Oh, shit.
“Kame-!” orang yang sudah aku duga siapa itu, tak melanjutkan teriakan memalukannya saat aku membuka pintu. Dia tersenyum polos, mukanya memerah, dan caranya berdiri tampak tidak fokus. Tubuhnya agak bersandar pada tembok. Satu kesimpulan yang bisa ku ambil, dia mabuk.
“What the hell, Akanishi! Ini pukul dua pagi dan kau berteriak-teriak di depan apartementku. Apa maumu? Sebaiknya kau cepat masuk ke apartementmu dan tidur!”
“Itu yang aku mau…”
“Lalu?? Kenapa kau harus membangunkanku seperti orang gila!?” aku nyaris kehilangan kesabaranku. Aku tahu persis dia sangat suka sekali alcohol, dan biasanya dia selalu bisa mengatasi mabuknya sendiri.
“Aku tak bisa menemukan kartu apartementku”
“Huh??!” aku memandangnya seperti baru mendapat kabar kalau dia sudah menghilangkan celana dalamnya, sesuatu yang jelas-jelas bukan urusanku. “Dimana tadi kau menyimpannya??”
“Di dompetku”
“Lalu, mana dompetmu?”
“Di dalam saku celanaku” dia menunjuk saku celana jeans yang dipakainya.
“Kenapa tidak kau ambil!!?” aku menatapnya tak percaya. Dia tak pernah sepayah ini sebelumnya.
“Sudah, tapi tanganku tidak muat untuk masuk ke dalam saku celanaku lebih dalam lagi...” dia berusaha menjelaskan, walau pada akhirnya hanya membuatku memutarkan bola mataku. Benar-benar tak bisa dipercaya, aku nyaris saja mendengarkan penjelasan bodoh yang tak seharusnya aku dengarkan.
“Apa yang terjadi pada tanganmu? Tiba-tiba membesar, huh?” aku menyahut dengan kesal dan reflek mengamati tangannya. Aku tahu, mungkin aku sama bodohnya karena aku penasaran apa memang terjadi sesuatu pada tangannya. Jangan-jangan memang membesar karena bengkak atau entahlah. Tapi seperti yang aku duga sebelumnya, tangannya baik-baik saja.
“Ambilkan untukku, Kame” pintanya. Dia sudah beberapa kali memejamkan matanya, dia pasti sudah mengantuk. Gawat kalau sampai dia tertidur disini, siapa yang akan mengangkutnya masuk ke dalam. Aku pasti tak akan sanggup memapah manusia sebesar dia sendirian, dan aku tak tega kalau harus menyeretnya.
Segera aku mengulurkan tanganku, masuk ke dalam saku celana jeansnya. Tidak ada.
“Lebih dalam” kata Jin seperti berbisik di kupingku, padahal hanya karena kami cukup berdekatan saat aku menggeledah saku celananya. Sial sekali aku merinding mendengar suaranya yang sedikit serak dan bernafas berat. Aroma alcohol tercium jelas dari mulutnya. Aku cepat pindah ke saku yang satunya. Sama saja. dompet itu tak ada di celananya. Aku menyimpan kedua tanganku di pinggang dan memandangnya tajam.
“Kau yakin menyimpannya di saku celanamu?”
Dia mengangguk lemah. Tubuhnya semakin merapat ke tembok, matanya hampir setengah tertutup. Yabai.
Aku mendadak ada ide, dengan cepat aku membalikkan badannya membuat dia menghadap ke tembok dan menggeledah saku belakang celananya.
“Kau mau apa Kamenashi??!” dia menepis tanganku dengan sisa-sisa tenaganya. “Jangan coba-coba kau bertindak pervert padaku!”
Sekali lagi aku memutarkan bola mataku dan balas menepis tangannya. Aku menemukan dompet itu di salah satu saku belakang. Sukurlah.
“Lihat!” aku membalikkan dia lagi. “Aku menemukan dompetmu disini”
“Ah…” dia tersenyum lebar. “Thank you” katanya dengan logat eigo nya yang fasih. Aku membalas senyumannya datar, lalu memberikan dompet itu padanya. Dia membawanya dan berjalan dengan sempoyongan ke arah pintu apartement nya yang hanya beberapa meter saja dari pintu apartementku. Aku mengamatinya dulu sebelum masuk kembali ke dalam. Lega sekali aku dan bisa melanjutkan tidurku. Tapi beberapa detik aku mengamati, Jin tampak repot sekali dengan dompetnya. Mabuknya kali ini sangat merepotkan, mungkin dia minum lebih banyak daripada porsi dia biasanya. Aku mengeluh keras saat kulihat Jin menjatuhkan hampir semua isi dompetnya. What the…!!?
“Ne, apa kartunya tidak ada disana?” aku menghampirinya. Aku tak mungkin membiarkannya berdiri berjam-jam disana hanya untuk mengaduk-aduk isi dompetnya. “Kau lupa menaruhnya…” kataku lagi sambil mengambilkan benda-benda yang dia jatuhkan. Beberapa lembar uang, kartu credit dan kartu-kartu kolega, sebuah foto…Aku terdiam sesaat mengamati foto itu. Jin dan seorang perempuan yang aku tahu adalah kekasihnya yang sedang berada di luar negeri. Mungkinkah, keadaan mabuknya yang payah ini ada hubungannya dengan kekasihnya? Aku tak tahu apa menanyakannya sekarang dia akan bisa menjawabnya. Mungkin aku harus menunggu sampai besok.
“Aku tak menemukannya” kata Jin sambil melihat ke arahku dan langsung mengambil benda-benda yang sedang aku pegang tanpa berkomentar apapun. “Aku akan meminta kartu baru pada petugas…”
Aku mengerutkan keningku dan mengambil dompetnya, menggeledahnya dengan benar. Kartu itu ternyata memang terselip, dan itu bukan tempat yang sulit untuk dicari, hanya karena Jin sedang kehilangan daya fokusnya.
“Tidak perlu” aku maju ke depan pintunya, memasukkan kartu dan melihat padanya lagi. “Berapa nomor serimu?” tanyaku. Aku dan Jin memang berteman sejak lama, tapi ada beberapa hal pribadi yang tak kami bagi. Contohnya seperti nomor seri pintu apartement ini. Dia mungkin hanya membaginya pada keluarga dan kekasihnya. Aku juga hanya memberitahu orangtua dan saudaraku, aku tidak punya kekasih.
“840407” jawabnya. Huh? ternyata hanya tanggal lahirnya yang lengkap. Aku bisa langsung mengingatnya dengan mudah.
Pintu terbuka dan aku cepat menyuruhnya masuk. Dia tersenyum lagi.
“Thanks. Aku tidak tahu apa jadinya kalau tidak ada kau”
“Betsuni” sahutku datar. Dia menutup pintunya dan aku kembali lagi ke apartementku. Aku menguap dan menggerakkan badanku yang rasanya jadi pegal-pegal. Pukul 2.45… hampir sejam aku membantu temanku itu. kata-kata terimakasihnya tadi mendadak terdengar lagi di telingaku. Well, dia tak sepayah itu. Aku tahu dia masih bisa menangani dirinya sendiri tanpa aku. Mungkin justru aku…aku yang selalu membutuhkannya.

******
JIN’S POV

“Ohayo” aku menyapa Kazuya yang baru membuka pintu apartementnya dengan wajah mengantuknya dan piyama yang lengkap.
“Akanishi… kau lagi” dia mengeluh pelan. Aku tertawa kecil. Aku tahu kenapa dia seperti itu. Semalam aku antara sadar dan tidak telah menyusahkannya.
“Aku sudah merepotkanmu tadi malam, warui na” kataku dan masuk ke dalam apartementnya tanpa menunggu dia menyuruhku masuk. “Aku membawa kopi dan pancake untuk sarapan” tambahku dan menyimpan bawaanku di meja makannya. Kulihat dia masih berdiri di tempatnya, mengusap-usap wajah dan rambutnya. Kawaii. Aku tahu, temanku yang lebih muda itu memang selalu tampak menggemaskan. Kadang aku tak mengerti kenapa dia selalu menghindar untuk memiliki hubungan serius dengan seorang perempuan. Padahal setahuku banyak yang tergila-gila padanya.
“Aku akan mencuci muka ku dulu” kata Kazuya akhirnya, dan berjalan menuju kamarnya lagi. Aku tersenyum saja.
Setelah kembali, dia menyiapkan dua cangkir kopi yang kubawa dan menyimpan pancake nya di dalam piring.
“Kau sudah baik-baik saja?” tanyanya sebelum menghirup kopinya.
“Seperti yang kau lihat. Aku tak pernah terkapar lama setelah mabuk, Kame. Kau tahu itu” kataku bangga. Dia menghembuskan nafasnya, dan memandangku datar.
“Kau mengerikan sekali tadi malam”
“Eh? Benarkah?”
“Kau nyaris tergelepar di depan pintuku. Aku tak ada ide untuk membawamu masuk. Aku tak tega kalau harus menyeretmu” dia berkata sedatar tatapannya. Aku tertawa.
“Kau tentu saja harus mengangkatku”
“Kau pikir badanmu itu sesuatu yang bisa ku angkat?!” dia menatapku tajam. Aku tertawa lagi. Inilah sesuatu yang selalu aku suka saat bersama Kamenashi Kazuya di situasi yang tidak melibatkan pekerjaan. Dia orang yang bisa membuatku menjadi Akanishi Jin yang sebenarnya, Jin dan Kazuya yang memang sudah bersama sejak sebelas tahun yang lalu dan tak pernah berubah walau pekerjaan diluar menuntut kami melakukan hal yang diluar kebiasaan kami. Imej-imej baru yang sengaja diciptakan tak kami pakai disaat seperti ini. Aku dan Kazuya hanya dua orang teman yang sedang menikmati ketenangan.
“Kau ada masalah?”
“Eh?” aku membuyarkan pikiran-pikiranku. Dan melihat pada mata cokelatnya yang tampak ingin tahu dengan apa yang terjadi padaku. “Tidak” aku menggelengkan kepalaku ragu-ragu.
“Sou ka…aku hanya tak biasa melihat cara mabukmu yang kacau sekali tadi malam”
“Hmm, aku memang terlalu over” aku menganggukkan kepalaku dan berusaha menunjukkan ekspresi biasa.
“Kagawa kah?” tanyanya lagi, menyebut nama kekasihku. Aku melihat padanya, berpikir. Aku takut dia bisa menebak pikiranku. “Akanishi, kau jangan seperti orang yang baru mengenalku kemarin” keluhnya sambil meminum kopinya lagi. Benarkan? Dia bisa menebak pikiranku.
“Uhm…” aku mengangkat bahuku, masih dengan ekspresi biasa yang tadi.
“Doushita?” dia memandangku.
“Aku… aku khawatir padanya” kataku akhirnya. Aku meungkin memang perlu bicara. Setidaknya tentang masalah kekasihku, aku memang tak pernah menutupinya dari Kazuya. Dia masih memandangku, mendengarkan ceritaku. “Kemarin aku mendapat kabar, dia…dia baik-baik saja hanya…” aku tak tahu kenapa aku harus menyampaikannya dengan cara dramatis seperti ini. “Dokter memvonisnya kalau dia tak boleh punya anak” kalimat terakhir ini sangat pahit rasanya di mulutku. Aku berat sekali mengatakannya. Tapi aku masih berusaha dengan ekspresi datar di wajahku. Kazuya menatapku lama, terpaku. Dia mungkin tak percaya dengan yang aku sampaikan.
“Apa…penyakit Kagawa separah itu?”
“Jantung. Kau tahu, orang yang memiliki penyakit itu lebih baik tidak memiliki anak”
“Sou. Tapi bukankah ada operasi transpalasi jantung?”
“Yeah, sepertinya mereka akan mengusahakan itu” aku menganggukkan kepalaku dan meminum tegukan terakhir kopiku. Aku tetap tak yakin. Operasi macam itu sangat beresiko. Tapi memang tak ada salahnya mencoba. “Kau tahu Kame…” kataku lagi dan menahan suaraku sesaat. Dia memandangku lagi. “Aku ingin sekali punya anak jika menikah dengannya nanti”
Kazuya terdiam. Dia mungkin langsung mengerti dengan maksudku. Hal ini yang memang mengganggu pikiranku sejak kemarin hingga aku mabuk separah itu. Aku mencintai Sara dengan sepenuh hatiku, tapi dengan keadaannya sekarang, sisi egoisku mulai merasakan keraguan. Aku perlu seseorang yang bisa membantuku untuk menepis semua keraguan yang bisa merusakkan mimpiku. Aku tak tahu apa Kazuya adalah orang yang tepat, tapi selama dia ada di dekatku, aku tahu aku tak memerlukan siapapun lagi.

*******